Nasional

Pernyataan Refly Terkait "Presiden Kader Partai" Lebih Bernuansa Politik Praktis

Oleh : very - Selasa, 01/09/2020 12:01 WIB

Dosen Universitas Pelita Harapan (UPH), yang juga Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner, Emrus Sihombing. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Menarik menyimak pandangan Refly Harun (RH) di beberapa media online belakangan. RH menilai bahwa seorang presiden terpilih terus tidak pantas dianggap sebagai kader dan petugas partai. Menurut RH, presiden terpilih sudah milik seluruh rakyat.

Pakar Komunikasi dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, padangan RH tersebut tidak memiliki landasan konsep apalagi teori yang kuat. “Karena itu,  pendapat tersebut lebih bernuansa politik praktis untuk tujuan men-downgrade sosok tertentu di ruang publik,” ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (1/9). 

Sebab, kata Emrus, pendapat RH tersebut melihat fenomena sosial, misalnya posisi presiden, secara parsial, lenear, dan mekanistis.

“Menurut saya, RH sedang menggunakan ‘kacamata kuda’ untuk motif politik tertentu. Ketika seseorang jadi presiden, merujuk pemikiran RH, presiden seolah berada di ruang ‘isolasi’ status sosial tertentu. Padahal setiap orang, tak  terkecuali presiden dan RH sekalipun, memiliki multi status dan multi peran di tengah masyarakat,” ujarnya.

Ketika seseorang melakukan peran sesuai statusnya,  maka akan terjadi keteraturan sosial. Sebaliknya, ketika orang berperilaku tidak sejalan dengan posisi sosialnya, maka akan terjadi kekacauan sosial. Misalnya, ketika seseorang berstatus bagian dari pemerintah, lalu memberikan kritik di ruang publik, yang harusnya disampaikan di teritorial privat pemerintah, maka akan menimbulkan ketidakstabilan opini publik.

Ambil saja contoh pada diri RH. Ketika dia menjadi komisaris di salah satu BUMN, kata Emrus, ia juga memiliki status sebagai kritikus sosial.

Artinya, pada saat melakukan peran kritik terhadap pemerintah misalnya, status sosialnya sebagai seorang kritikus sosial. Hanya saja kadang kurang pas dengan status lain yang disandang pada saat yang sama.

Ketika dia melakukan fungsi pengawasan formal di salah satu perusahaan BUMN, pada saat itu statusnya sebagai komisaris.

“Jadi, setiap manusia di manapun selalu memiliki multi status dan multi peran. Itu hukum aksioma sosial. Dengan demikian, seorang presiden bisa saja tetap sebagai kader sebuah partai. Seorang kader bisa ditugaskan mengurus partai, menjadi legislator maupun pemimpin eksekutif (presiden). Jadi tidak ada yang aneh dari aspek sosiologi,” ujar Direktur Eksekutif EmrusCorner tersebut.

Bila publik tidak kritis terhadap pandangan HR, masyarakat bisa terbius dan tergiring seolah presiden subordinat dari partai atau pimpinan partai. Padahal,  tidak demikian.

“Oleh karena itu,  saya menyarankan kepada publik agar lebih kritis menelaha pandangan para elit. Yang pasti isi pesan para elit tidak ada di ruang hampa, sarat framing, ada agenda, ada makna tersurat dan tersirat serta memilik maksud tertentu. Inilah saya sebut sebagai upaya elit malakukan manipulasi persepsi publik. Hati-hati terhadap kemasan dan produksi pesan yang dilakukan oleh para aktor sosial,” ujarnya.

“Ada ungkapan di masyarakat Batak yang bisa menjadi dasar kita lebih hati-hati kepada para elit yaitu ‘Namalo nampuna hata,  naoto tu panggadisan’. Artinya para elit yang memiliki pandangan, rakyat bawah yang `terjual`,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait