Nasional

Langkah Konkrit Gapensi Jatim Atasi Ketimpangan antara Kontraktor Besar Vs Kecil

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 20/09/2020 17:30 WIB

Ketua Umum BPD Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Jawa Timur H. Agus Gendroyono, ST., MT (Foto: Collage/Ist)

Surabaya, INDONEWS.ID - Ada banyak pekerjaaan rumah yang harus dituntaskan pemerintah dan masyarakat yang bergerak di bidang jasa kontruksi. Poin paling krusial adalah pemerataan proyek yang lebih adil kepada lebih dari 140 ribu kontraktor, sambil mengurangi ketimpangan domimasi rekanan yang ada di Jawa dan luar Jawa.

"Kondisi yang terjadi hari ini menunjukan gambar piramida terbalik. Sekitar 1% dari kontraktor kualifikasi besar menikmati 85% proyek yang ada di seluruh tanah air. Kondisi semakin diperparah oleh jurang antara kontraktor Jawa dan Non-Jawa. Bahkan banyak proyek besar di luar Jawa dimenangkan oleh kontraktor dari Jawa," kata Ketua Umum BPD Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Jawa Timur H. Agus Gendroyono, ST., MT, Minggu (20/9/20).

Agus menyadari bahwa sistem yang ada sekarang ini masih memenangkan kontraktor yang berdasar pada harga termurah sebagai cara terbaik untuk mencegah biaya proyek semakin membengkak dan tanpa kendali. Namun, tambahnya, harus ada cara lain untuk melakukan pemerataan.

"Sebab dominasi kontraktor besar masih itu dan itu saja, belum memberikan ruang kepada rekanan kecil dan menengah untuk transfer tehnologi, manajerial dan SDM. Sehingga kesempatan pemerataan belum terasa dan tercipta bagi pelaku usaha dimana proyek tersebut berada," tegas Agus.

Agus yang berasal dari keluarga sederhana mengakui bahwa sistem yang ada sekarang menyebabkan ia harus merangkak dari bawah untuk mewujudkan impian menjadi seorang kontraktor Indonesia. Anak seorang supir bus ini harus berkelana ke berbagai kota untuk mencicipi sekolah maupun mencari pekerjaan.

Hanya untuk SMA saja, ia harus pindah beberapa kali, dari Bojonegoro ke Batam dan kembali ke Bojonegoro lagi. Sedangkan sebagai kontraktor ia memulainya dari Gresik.

"Saya memegang prinsip, mencari pengalaman dan pendidikan harus sejalan. Selama 15 tahun, saya memulai dengan proyek yang hanya puluhan juta sampai mendapatkan proyek bernilai ratusan miliar," ungkap Agus mengisahkan.

Dengan pengalaman dan pergulatan yang dimulai dari bawah, Agus Gendroyono menyadari sengkarut ekonomi yang disebabkan karena kita terlena oleh pemujaan terhadap egoisme dan kerakusan.

"Mengutip sebuah artikel Yudi Latief yang mengkhawatirkan bahwa betapa kita semua terjebak pada status quo yang mengukuhkan kemapanan, tanpa bisa kembali kepada upaya pemerataan dan keadilan," beber Agus.

Melihat kondisi ini, Agus Gendroyono beranggapan bahwa masalah yang dihadapi oleh bangsa ini terkait keberadaan para kontraktor kecil ini bukan hanya menjadi pekerjaan rumah pemerintah saja, melain kita semua.

"Untuk itu, Gapensi Jatim menawarkan solusi jangka pendek dan jangka panjang. Saya berharap lembaga yang kini sedang dibentuk pemerintah yaitu LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) dapat memainkan peranan penting untuk mewujudkan mimpi ini," harap Agus.

Dengan judul: `Mau dibawa ke mana Industri Konstruksi Nasional Kita`, Agus Gendroyono lantas memetakan kondisi jasa kontruksi saat ini dan arah yang dianggap terbaik untuk masa depan.

Lebih lanjut Agus pun memulai menggambarkan apa yang ia maksud dengan piramida terbalik kontrator saat ini. Kontraktor besar yang jumlahnya 1632 perusahan, ungkap Agus menjelaskan, hanya 1%. Sementara kontraktor menengah sekitar 19 ribu perusahan atau 14%, sedangkan kecil ada sekitar 116 ribu atau 85%.

"Padahal, proyek besar senilai 357 Triliun dilaksanakan oleh kontraktor kualifikasi besar saja, sisanya yang 63,1 T digarap oleh kontraktor menengah dan kecil," beber Agus.

"Bisa dibayangkan ketimpangan ini. Padahal porsi ini bisa dilakukan dengan lebih adil kalau ada komitmen antara pemerintah bersama LPJK nanti untuk mengkaji ulang segmentasi pasar dan skala usaha bagi penyedia," tambah Agus.

Menurut Agus, optimalisasi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) harus segera dilakukan dengan mengintegrasikan tender berbasis kinerja penyedia terhadap semua stakeholder serta integrasi rantai pasok ber-SNI, peralatan kerja yang efisien dan berstandar tinggi keselamatan, dan lain sebagainya.

Tahap ini, lanjut Agus, harus dimulai dengan memanfaatkan semua data elektronik setiap individu maupun badan usaha. Dengan demikian tidak ada data yang mubazir atau harus disiapkan berulang kali setiap tender dilakukan, bahkan dengan pokja yang sama.

"E-KTP, NPWP, NIB dan lain-lain sudah memiliki sumber data elektronik yang bisa menyederhanakan berbagai ketentuan. Keberadaanya sudah bisa jadi indikator telusur, dengan tanpa harus menyajikan data berulang yang sering kali jadi hambatan pemenuhan data administratif bagi kontraktor kecil," pungkas Agus.

Agus menuturkan, sistem lelang yang terinteggrasi merupakan jawaban atas penyederhanaan di atas, sekaligus mampu melibatkan kontraktor yang lebih luas dari seluruh tanah air. Ini adalah akar masalah untuk memulai tahap berikutnya dalam mejembatani jurang antara kontraktor besar dan kecil, maupun kontraktor di Jawa dan Luar Jawa.

Dengan data elektronik yang mencantumkan pengalalaman kerja, kemampuan keuangan, kepemilikan peralatan dan SDM bersertifikat, akan bisa memacu pemerintah dan LPJK nanti untuk merampingkan piramida, dengan memberikan kesempatan dan kewajiban bagi kualifikasi kecil dan menengah.

"Bagaimana yang kecil bisa jadi menengah, dan yang menengah bisa naik kelas menjadi besar. Memang hal ini perlu dirumuskan bersama sehingga mendapat logaritma yang adil dan bertanggungjawab agar pemerataan dan keadilan bisa terwujud," tukas Agus.

Lebih lanjut Agus mengaku sepakat dengan harapan bahwa akselarasi proyek-proyek strategis nasional yang ada di daerah menjadi cara ampuh untuk mempercepat pemulihan ekonomi di masa pandemi. Apalagi kalau kemitraan proyek besar dengan penyedia lokal sudah menjadi kewajiban bagi siapapun yang mengerjakan.

Presiden sendiri, lanjut Agus, sudah memerintahkan bahwa proyek strategis nasional di daerah harus membuka lapangan kerja; baik untuk tenaga kerja, maupun dunia usaha termasuk di dalamnya jasa kontruksi.

"Ke depan proyek-proyek nasional, proyek daerah sampai ke proyek terkecil di tingkat desa dapat dilaksanakan dengan transparan, akuntable tapi juga adil dn merata," tutup Agus.

Artikel Terkait