Nasional

Naskah Akhir UU Cipta Kerja Berubah, Ini Tanggapan Kritis Jimly Asshiddiqie

Oleh : Mancik - Selasa, 13/10/2020 21:01 WIB

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie.(Foto:Kompas.com)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU kini menuai polemik di masyarakat. Akademisi lintas kampus, mahasiswa dan buruh, memberi kritik terhadap dua masalah utama yakni mekanisme pembentukan UU dan materi  dalam UU Cipta Kerja.

Menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, pengesahan RUU di DPR harus menyertakan naskah resmi yang akan disahkan menjadi UU. Pentingnya naskah akhir tersebut karena pengesahan di DPR sifatnya materil sementara pengesahan oleh presiden sifanya administratif.

"Soal naskah RUU yang disahkan di DPR, bukan soal jumlah halaman tapi yang penting teks naskah resmi yang standar dan resmi disahkan harus ada dan riel. Pengesahan di DPR bersifat materiel, sedangkan pengesahan oleh Presiden bersifat administratif atau formil," kata Jimly melalui keterangan tertulis kepada Indonews.id di Jakarta, Senin, (13/10/2020)

Guru Besar Hukum Tata Negara ini kemudian menjelaskan, keberadaan materi UU merupakan sesuatu yang sangat penting. Pengambilan keputusan di tingkat paripurna DPR menandakan nashkah UU itu telah final.

Karena itu, menurutnya, tidak ada lagi upaya perbaikan setelah proses paripurna di Parlemen. Tahapan setelah paripurna di DPR, UU tersebut diserahkan kepada presiden untuk ditandatangani dan sahkan.

"Artinya sepanjang menyangkut materinya, naskah UU itu sudah final dengan pengesahan di sidang paripurna DPR terakhir. Setelah tidak boleh lagi ada perubahan substantif, karena dalam waktu paling lambat 30 hari, meskipun presiden tidak mengesahkan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 20 ayat (5) UUD45, RUU yang sudah dapat persetujuan bersama itu sah menjadi UU," ungkapnya.

Adapun praktik pembentukan Undang-Undang di dunia, jelas Jilmy, tidak pernah ada perubahan materi setelah pengesahan. Perbaikan dapat dilakukan hanya bersifat koreksi atas clerical error atau speling saja.

"Maka, setelah disahkan sebagai tanda persetujan bersama, materinya tidak boleh berubah lagi. Dalam praktik di dunia, yang dianggap boleh berubah hanya koreksi atas clerical error atau speling saja," jelas Jimly.

Draf RUU Cipta Kerja Berubah-Ubah hingga Menjadi UU

Untuk diketahui, adanya kritik publik terhadap UU Cipta Kerja, salah satunya karena draf yang sering berubah. Ada berbagai macam versi dengan jumlah halaman yang berbedap-beda.

Setidaknya ada empat versi yang beredar terkait dengan draf RUU Cipta Kerja. Versi pertama 1028 halaman, kedua 905 halaman, ketiga 1035 halaman, dan terakhir hingga 13 Oktober menjadi 812 halaman.

Seperti dilansir Kompas.com, Wakil Pimpinan Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi menjelaskan, adanya perubahan jumlah halaman terhadap UU Cipta Kerja karena perubahan format penulisan. Jumlah halaman yang bertambah tidak mengubah materi yang ada dalam UU.

"Kami sudah sampaikan, kami minta waktu bahwa Baleg dikasih kesempatan untuk me-review lagi, takut-takut ada yang salah titik, salah huruf, salah kata, atau salah koma. Kalau substansi tidak bisa kami ubah karena sudah keputusan," jelasnya.*

 

Artikel Terkait