Nasional

Ansy Lema Minta Hentikan Kebijakan Impor Pangan Hortikultura di Kementerian Pertanian

Oleh : Mancik - Rabu, 18/11/2020 11:30 WIB

Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Yohanis Fransiskus Lema.(Foto:Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema mengkritik keras kebijakan impor pangan hortikultura. Impor hortikutura sangat bertentangan dengan paradigma kedaulatan pangan di Indonesia.

Menurutnya, kebijakan impor pangan memiliki dampak buruk terhadap petani Indonesia. Karena itu, Ansy mendesak Kementerian Pertanian terutama Direktorat Jendral Hortikultura untuk segera mengikis dan menghentikan ketergantungan pada impor dengan menggenjot produksi hortikultura dalam negeri.

"Pertanyaannya adalah apakah kita mau keluar sebagai negara dengan kedaulatan penuh, ataukah hanya sebagai negara yang cukup dengan ketahanan pangan saja? Jika berorientasi pada kedaulatan, maka kita harus benar-benar membangun mekanisme pengembangan hortikultura yang jelas. Misalnya, produk-produk hortikultura apa saja yang bisa kita dorong sebagai komoditi utama untuk mengikis ketergantungan pada impor,” kata Ansy kepada media di Jakarta, Rabu (18/11/2020).

Adapun data Direktorat Jendral Hortikultura November 2020 melaporkan, Indonesia mengalami defisit komoditi bawang putih sebesar 532,534 ton, bawang Bombay 128,349 ton, jeruk 82,808 ton, lengkeng 44,737 ton dan anggur 34,477 ton pada 2021.

Ini menegaskan, Indonesia akan mengimpor produk hortikultura lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Data BPS menunjukkan, impor buah Indonesia berkembang sangat pesat. Tahun 2015, impor buah mencapai 666 Juta USD. Angka ini melonjak naik hingga 1.486 Juta USD pada 2019.

Menanggapi data impor tersebut, Ansy yang kini tergabung dalam Panja Ekspor dan Impor Produk Hirtikultura Komisi IV DPR RI menegaskan, komoditas impor bukan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Sumber utama mestinya berasal dari produksi dalam negeri dan cadangan nasional. Impor hanya dilakukan sebagai alternatif yang bersifat komplementer. Maka, fokus penyediaan atau pemenuhan kebutuhan nasional harus bersandar pada produksi dalam negeri.

Impor berlebihan memukul harga produk hortikultura dalam negeri yang berakibat membunuh produksi dalam negeri. Sebagai negara agraris, Indonesia seharusnya lepas dari ketergantungan impor.

"Kebijakan impor jangan sampai membunuh produksi dalam negeri, sebab itu berarti membunuh petani kita. Tanpa petani yang berdaulat dan sejahtera, masa depan bangsa terancam. Ironis bila Indonesia sebagai negara agraris, secara sistematis dikondisikan untuk bergantung pada impor pangan,” ujar Ansy.

Saat ini, penerbitan RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura) dan Surat Persetujuan Impor (SPI) mendapat sorotan publik, karena diduga sarat praktik korupsi dan kolusi.Laporan investigatif sebuah majalah nasional baru-baru ini menguak praktik kolusif Pengaturan Kuota Impor buah di Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan oleh politisi dan birokrat.

Data Dirjen Hortikultura juga mencatat pada tahun 2018 terdapat 30 perusahaan yang tidak lunas tanam dan produksi, lalu di tahun 2019 terdapat 39 perusahaan. Itu berarti, masih banyak perusahaan tidak mematuhi persyaratan RIPH.

"Carut marut RIPH dan praktik kolusif impor mestinya menjadi momentum untuk bangkit dari ketergantungan impor. Sambil menindak tegas para pelaku korupsi dan kolusi pangan, kita harus mengubah mindset pembangunan pertanian kita, dari ketahanan ke arah kemandirian, bahkan kedaulatan pangan. Tinggalkan impor, fokus produksi hortikultura dalam negeri. Kajian dari akademisi dan praktisi pertanian menyebutkan, jika diusahakan dengan serius, Indonesia bisa menjadi juara beberapa komoditas hortikultura," tambahnya.

Ansy menganjurkan Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) duduk bersama Komisi IV DPR RI, petani hortikultura dan pengusaha/industri hortikultura untuk menyatukan visi dan komitmen untuk mendorong peningkatan produksi hortikultura dalam negeri.

Secara khusus, wakil rakyat asal Provinsi NTT itu mendesak Direktorat Jendral Hortikultura Kementan untuk segera mendorong peningkatan produksi hortikultura yang bisa menjadi komoditas utama subsitusi impor melalui skema pilot project.

"Kita harus membuat pilot project. Hendak menanam produk apa, di mana akan ditanam, bibit/benihnya seperti apa, apakah lahannya berstatus aman, intervensi kebijakan apa yang harus dilakukan, serta berapa anggaran yang dibutuhkan. Untuk itu, dibutuhkan grand design pengembangan hortikultura yang komprehensif berdasarkan data objektif, pemetaan yang akurat dan kerja teknokratis yang konsisten," tutupnya.*

Artikel Terkait