Bisnis

Guru Besar Ekonomi IPB: Ini Skenario Terbaik dan Terburuk Pertumbuhan Ekonomi 2021

Oleh : very - Rabu, 06/01/2021 20:01 WIB

Prof Didin S. Damanhuri. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID – Pandemi Virus Corona masih terus saja menghantui bangsa Indonesia maupun bangsa-bangsa di dunia di tahun baru 2021. Karena itu, sejumlah estimasi pertumbuhan ekonomi masih terus memperhitungkan dampak dari penangangan pandemi tersebut.

Guru Besar Ekonomi Politik FEM Institut Pertanian Bogor (IPB) Didin S. Damanhuri mengatakan dari estimasi model ekonomi yang ditemukannya, skenario pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2021 menunjukkan skenario terbaik maupun terburuk.   

“Dari hasil estimasi model ekonomi yang saya ditemukan yaitu bahwa skenario pertumbuhan ekonomi tahun 2021 dengan best scenario sebesar 2,41 persen dan worst scenario sebesar 1,29 persen,” ujarnya kepada Indonews.id, di Jakarta, Rabu (6/1). 

Di satu sisi, katanya, anggaran untuk penanganan kesehatan pada tahun 2021 mengalami penurunan. Karena itu alokasi anggaran untuk vaksin dengan jumlah yang besar belum tercermin dalam pos stimulus kesehatan di tahun 2021. 

Sementara itu, kondisi fiskal dan moneter sudah mengalami kontraksi sebelum pandemi Covid-19. “Tekanan ini kemudian ditambah dengan adanya pandemi sehingga berdampak pada semakin rapuhnya fundamental ekonomi Indonesia,” ujar Ketua Dewan Pakar BS (Brain Society) Center itu.

Karena itu, katanya, beban utang Pemerintah juga akan semakin berat. Hal itu bukan saja untuk pembiayaan stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), tapi belanja-belanja yang sifatnya rutin seperti belanja pegawai, belanja barang dan belanja pembayaran bunga utang. Situasi ini tentu berdampak pada stabilitas ekonomi dalam jangka panjang. 

Namun demikian, katanya, upaya berbagi beban (burden sharing) dengan Bank Indonesia memang patut diapresiasi. Hal itu merupakan suatu kemajuan dibanding koordinasi kebijakan sebelum pandemi. Namun tentang bagaimana caranya, masih perlu perhitungan yang lebih cermat dan hati-hati.

“Tidak tertutup kemungkinan risiko fiskal, termasuk risiko utang, akan ‘mengeret’ risiko moneter dan perbankan,” ujarnya.

Seperti diketahui, pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan pada tahun 2021 sebesar Rp 169,7 triliun. Anggaran ini turun dari anggaran tahun 2020 sebesar Rp 212,5 triliun.

Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menilai bahwa alokasi anggaran ini menunjukkan tidak adanya komitmen pemerintah dalam menangani masalah kesehatan. Padahal, pandemi virus corona atau Covid-19 belum berakhir.

"Jadi kesehatan memang nomor dua, tidak ada komitmen," katanya Faisal dalam diskusi pakar Health Outlook 2021, Jumat (18/12).

Faisal membandingkan kenaikan belanja infrastruktur dari Rp 281,1 triliun menjadi Rp 414 triliun. Angka ini dua kali lipat dari anggaran kesehatan.

Rendahnya anggaran kesehatan negara tersebut, katanya, membebani kantong masyarakat. Sebab, pengeluaran untuk kesehatan masyarakat menjadi tinggi. Di Indonesia, kata Faisal, pengeluaran masyarakat 35 persen atau sekitar sepertiga dari total pengeluaranya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan, anggaran kesehatan tahun 2021 memang turun dibandingkan dengan anggaran tahun 2020.

Sebab, pada tahun 2020 ini, anggaran sebagian untuk belanja sekali jadi seperti peningkatan kapasitas rumah sakit hingga penyediaan tes swab. Proyeksinya, belanja kesehatan juga akan menurun.

Meski begitu, Sri Mulyani mengatakan, jumlahnya jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2019 yang hanya Rp 113,6 triliun.

Dia mengatakan, anggaran kesehatan pada 2021 adalah sebesar 6,2% dari APBN 2020, atau lebih tinggi dari kewajiban yang tercantum dalam UU Kesehatan yang diamanatkan 5% dari APBN.

Sri Mulyani mengatakan, anggaran kesehatan tahun 2021 tetap difokuskan untuk penanganan pandemi, termasuk program vaksinasi. (Very)

Artikel Terkait