Nasional

Dalam Pembangunan Bercorak Kapitalistik, Negara Sering Tidak Berpihak pada Masyarakat Adat

Oleh : very - Minggu, 14/02/2021 17:10 WIB

Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) mengadakan diskusi virtual dengan topik “Jalan Panjang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat”, pada sabtu (13/02 2021). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) mengadakan diskusi virtual dengan topik “Jalan Panjang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat”, pada sabtu (13/02 2021).

Diskusi ini bekerja sama dengan Forum Pemuda Kalimantan Tengah (Forpeka). Adapun yang menjadi narasumber dalam diskusi ini yakni, Erasmus Cahyadi selaku  Deputi Sekjend Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk urusan politik, Yanedi Jagau, Direktur Borneo Institute, dan Efendi Buhing dari Komunitas Adat Laman Kinipan, Lamandau, Kalimantan tengah. 

Diskusi ini diawali dengan sambutan dari Alboin Samosir selaku Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI.

Dalam sambutan Alboin menyampaikan, “diskusi ini lahir dari rasa keprihatinan terkait eksistensi masyarakat adat hari ini. Serangakain kejadian yang dialami oleh masyarakat adat menunjukkan ketidakberpihakan negara terhadap mereka, bahkan eksistensi mereka cenderung dianggap sebagai batu sandungan dalam pembangunan yang berpola liberal dan kapitalistik sehingga tak heran sering sekali terjadi kriminalisasi, perampasan wilayah adat, dan tindakan represif dari aparat.”

Erasmus Cahyadi mengatakan, salah satu yang menjadi akar masalah masyarakat adat di Indonesia adalah politik hukum kita.

Dia mengatakan, memang Undang-Undang Dasar mengakui masyarakat adat tetapi tafsir dari hukum tersebut dilakukan secara teknokratis dan politis. “Itulah sebabnya banyak sekali undang-undang di bawah UUD membuat tafsiran yang berbeda-beda tentang masyarakat adat. Dalam hal pembuktian masyarakat adat diberikan beban yang sangat berat dikarenakan kewenangan untuk mengakui itu di luar otorita masyarakat adat,” ujarnya.

Sementara itu Yanedi Jagau menyampaikan, masyarakat adat hari ini mengalami museumnisasi. Keberadaan mereka hanya diperhatikan hanya saat-saat tertentu semisal menyambut tamu, acara-acara tertentu yang sifatnya seremonial belaka.

Menurutnya, kompleksitas masyakarat dihadapkan pada tiga tantangan yakni, transformasi dari dalam masyarakat adat, penyesuaian kelola masyarakat adat yang terpengaruhi situasi dan kondisi eksternal, dan mengelola interaksi antara masyarakat adat dengan negara.

“Sering sekali pelemahan terhadap masyarakat adat itu dilakukan dengan memecah belah sesama mereka dengan janji perusahan, lapangan kerja, dan lain sebagainya,” ujarnya.

Efendi Buhing dalam diskusi ini menyampaikan pengalaman dan perjuangannya dalam mempertahankan wilayah adatnya. Dimulai dari tahun 2012 hingga puncaknya pada 2018 saat pemetaan wilayah adat. Sejak saat itu juga mereka mengalami kesulitan terutama saat berhadapan dengan perusahaan yang saat itu melakukan penebangan pohon.

“Dalam mempertahankan wilayah adatnya kami tetap melakukan penolakan-penolakan namun tetap mereka tidak peduli tetap melakukan land grabbing. Saat ini kehidupan kami sangat terusik baik secara pribadi maupun komunal,” ujarnya.

Efendi juga menambahkan, “Kami hanya minta diakui bahwa wilayah adat ini wilah adat kami. Bahwa kampung ini kampung kami. Kami tidak akan pernah takut memperjuangkannya. Kami tidak akan menghianati bangsa saya, bangsa dayak. Saya tidak akan menghianati kampung saya.” 

 

NKRI Tanpa Masyarakat Adat

Diskusi tersebut juga dihadiri Abdon Nababan, tokoh masyarakat adat Indonesia. Beliau merupakan Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal AMAN.

Abdon Nababan menyampaikan, negara punya kewajiban untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat. Masyarakat Adat itu masih hidup dan tidak bertentangan dengan NKRI, justru NKRI tanpa masyarakat adat bukanlah NKRI.

Permasalahan masyarakat adat, katanya, bukanlah permasalahan konstitusi melainkan permasalahan politik. Ada banyak regulasi yang dilahirkan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Persoalannya adalah perlu memastikan ada kekuatan dari masyarakat sipil, mahasiswa, dan dari masyarakat adat sendiri.

Ada beberapa catatan terkait diskusi ini. Di antaranya tentang peran Organisasi mahasiswa seperti PMKRI agar mampu mendorong perubahan melalui konsolidasi dan komunikasi politik ke para pemangku kebijakan; membuka kembali ruang-ruang diskusi masyarakat adat agar menjadi wacana publik; dan isu masyarakat adat harus menjadi isu strategis nasional yang urgen untuk diperjuangkan karena kita adalah bagian integral dari masyarakat adat.

Diskusi ini dipandu Novia Adventy Juran. Dalam kata penutupnya ia mengatakan pentingnya para pemangku jabatan untuk mendengarkan masyarakat adat agar dapat mengolah dan memberikan kepastian kepada masyarakat adat secara keseluruhan.

“Bukan hanya mendeklarasikan tidak adanya hutan adat namun, lebih daripada realitas eksistensi masyarakat adat dan hutan adat menjadi sebuah kajian dan perhatian bersama,” pungkasnya. (Very)

         

Artikel Terkait