Bisnis

Sri Mulyani Bandingkan Rasio Utang RI Lebih Kecil dari AS, Ekonom INDEF: Perbandingan Itu Tidak Apple to Apple

Oleh : very - Rabu, 17/02/2021 21:41 WIB

Utang Pemerintah Indonesia. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, INDONEWS.ID – Hingga akhir Desember 2020, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 38,68%. Total utangnya sendiri sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun hingga Desember 2020. Walau demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menilai angka tersebut menunjukkan Indonesia masih relatif cukup hati-hati.

"Kita perkirakan (utang Indonesia) akan mendekati 40% dari PDB namun sekali lagi Indonesia masih relatif dalam posisi yang cukup hati-hati atau prudent," kata Sri Mulyani dilansir dari Antara, Selasa (16/2/2021).

Ia juga membandingkan rasio utang pemerintah di negara-negara lain terhadap PDB yang masih lebih besar daripada Indonesia. Mulai dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Prancis, Jerman, China, dan India. Tak lupa juga dengan negara-negara di ASEAN Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura.

Menurut Sri Mulyani, pemerintah mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan kebijakan, sehingga kontraksi ekonominya cukup moderat. Lalu, defisit APBN 2020 6,09% jauh lebih kecil dibandingkan negara lain yang di atas 10% seperti AS yang mendekati 15%, dan Prancis 10,8%.

"Ini artinya apa? Negara-negara ini hanya dalam satu tahun utang negaranya melonjak lebih dari 10%, sementara Indonesia tetap bisa terjaga di kisaran 6%," jelasnya.

Menanggapi hal itu, Ekonom dari Institutefor Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, angka utang pemerintah sudah hampir lampu merah apabila dilihat dari kemampuan bayar utang atau debt service ratio (DSR).

"Kriteria utang terhadap PDB juga perlu diperdalam dengan indikator DSR, di mana DSR tier I Indonesia terus naik melebihi 25%, padahal negara seperti Filipina cuma 9.7%, Thailand 8% dan Meksiko 12.3%. Dengan melihat perbandingan DSR maka bisa dikatakan utang sudah jadi beban dan kemampuan bayar berkurang. Ini bisa dikatakan lampu kuning sudah hampir lampu merah," kata Bhima seperti dikutip detikcom.

Di sisi lain, menurutnya rasio utang pemerintah terhadap PDB tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara maju seperti AS, Prancis, Jerman, Singapura, dan sebagainya.

"Ini ibarat mobil esemka dibandingkan dengan pesawat airbus ya jadi tidak apple to apple. Apalagi posisi Indonesia turun kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah. Indonesia cocoknya dibandingkan dengan sesama negara berkembang," ujar Bhima.

Bhima menilai, dari porsi utang pemerintah lebih besar dialokasikan untuk belanja pegawai dan belanja barang. Hal itu menurutnya akan menurunkan produktivitas.

"Kalau beban utang terus meningkat, sementara belanja di sektor produktifnya kalah dengan belanja birokrasi seperti belanja pegawai dan belanja barang maka kasian pemerintahan ke depan karena harus cari penerimaan lebih besar dan terbitkan utang baru. Utang yang bertambah namun produktivitas turun namanya kasih beban ke generasi masa depan, generasi milenial dan generasi Z," urainya.

Terpisah, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, posisi utang pemerintah juga harus dilihat dari beban bunga.

"Memang rasio utang pemerintah terhadap PDB di bawah banyak negara maju. Tapi utang pemerintah juga dilihat berapa rasio beban bunga. Menurut IMF yang baik adalah maksimal 10% dari pendapatan negara. Rasio beban bunga utang Indonesia sudah 19,2% dari pendapatan negara (termasuk PNBP) pada 2020. Kalau dari penerimaan pajak, rasio beban bunga utang sudah capai sekitar 25%," kata Anthony.

Saat ini, ia menilai beban bunga dari utang pemerintah sudah sangat besar. "Jadi berdasarkan tambahan tolak ukur ini, maka utang pemerintah Indonesia sudah sangat tinggi sekali. Meskipun rasio utang terhadap PDB masih di bawah 60%," ujarnya.

Sebelumnya, ekonom senior Rizal Ramli juga menyatakan bahwa kondisi utang pemerintah sudah berada di lampu merah. Ia mengatakan, sejumlah indikator ekonomi telah merosot.

“Dalam tahun keenam ini, bahkan sudah sebelum Covid-19 sebetulnya sudah ada indikator ekonomi RI merosot, atau sejak satu setengah tahun yang lalu. Kami berkali-kali katakan awas, lampu kuning atau lampu merah, karena buat bayar bunga utang aja pakai utang,” ujar Rizal.

Rizal Ramli juga menjelaskan kondisi ekonomi pada saat dirinya menjadi Menko Ekuin pada era pemerintahan KH Abdurrahman Wahid, atau Gusdur.

“Tax ratio kita termasuk paling rendah, jaman saya Menko Ekonomi tahun 2000, tax ratio itu 11,5 %, hari ini 2019 10 % dan karena Covid 8 %,” ungkapnya.

Rizal juga menyindir soal utang pemerintah yang semakin hari semakin membengkak. “Kalau soal utang, gak ada Covid, utang kita juga sudah besar kok. Dan hari ini, utang pemerintah yang besar termasuk BUMN utang swastanya lebih kecil, meski memang, saya gak bisa salahkan Pak Jokowi juga,” kata Rizal.

Mantan anggota tim panel penasihat ekonomi PBB ini mengatakan kondisi ekonomi kita saat ini mirip seperti petinju yang sudah kena jab lawan.

“Nah orang kalau utangnya banyak mirip seperti petinju, kena jap. Misalnya saja Sinar Mas gak bisa bayar 13 miliar dolar,  akhirnya krisis, hari ini udah ada japnya yaitu 44 perusahaan keuangan non bank ,asuransi gagal bayar 500 triliun inilah japnya,” jelasnya.

Menurutnya, tak banyak yang bisa dilakukan oleh tim ekonomi saat ini. Hal inilah juga yang menyebabkan kondisi ekonomi RI semakin terpuruk.

“Banyak yang gak paham kalau utang sudah terlalu banyak, maka untuk membayar bunganya harus minjam, yang kedua sertiap kali pemerintah menerbitkan SUN, dana publik likuiditas publik kesedot, karena bunga sun lebih mahal dari deposito, dan kemudian dijamin 100 % padahal kalau ditaro dibank yang dijamin hanya 2 miliar per nasabah, per bank, tapi beli sun 1 triliun dijamim, apa yang terjadi, setiap kali pemerintah menerbitkan sun, seteprtiga dari likiusitad kesedot untuk beli sun,” ungkapnya.

Mantan Menko Kemaritiman ini menyebutkan bahwa wajar saja dengan skema tersebut ekonomi RI tersendat. “Apa dampaknya, pertumbuhan kredit tahun lalu hanya 6%, kalau ekonomi kita hanya 15,8 %, hari ini sampai Oktober hanya 3% itulah yang memukul daya beli, bukan hanya regulasi, bagaimana mau hidup kalau uang yang beredar pertambahan kreditnya hanya 3% belum lagi alokasi untuk usaha kecil hanya 17 % dari 3 % itu. Dibawah gak ada likuiditas inilah yang memukul mengapa ekonomi RI merosot, regulasi penting, birokrat kita brengsek, kerja memeras pengusaha, tapi itu nanti kita benahin,” ujarnya.

 

Bisa Dihukum

Pada kesempatan itu, Rizal juga menganalogikan skema peminjaman utang yang kerap dilakukan oleh tim ekonomi pemerintah. “Banyak yang gak ngerti, mengapa Menteri Keuangan ‘terbalik’ mendapat hadiah. Simpel kok, misalnya bung Johhny Plate pasang plang, kasih pinjaman uang dengan bunga 15%, trus saya datang Pak Johnny saya mau pinjam uang dengan bunga 17% selama 10 tahun. Pak Johnny pastih kasih saya hadiah, ajak main golf dan lain-lain. Saya gak habis pikir, ini sangat simpel sekali. Tidak ada Menteri Keuangan lain yang dapat hadiah, karena mereka pelit-pelit, mereka datang ke bank dan kasih bunga lebih kecil, itu yang dilakukan menteri keuangan Singapura, Jepang dan China,” ujarnya.

Menurut Rizal Ramli, dengan pinjaman berbunga besar akan berdampak besar terhadap kondisi ekonomi RI. “Dampaknya besar, kalau selisih bunga 2% minjam 10 miliar dolar, tambahan bunganya tambah sepertiganya, yang bayar akhirnya rakyat kita. Ini tindakan kriminal, dan ini kalau di negara lain ini bisa dihukum,” ujarnya. (Very)

 

 

Artikel Terkait