Opini

Pandemi dan Perubahan Perilaku II

Oleh : luska - Senin, 22/02/2021 10:20 WIB

Penulis :  Linda Darmajan, Dosen Sosiologi FISIP UI

Opini, INDONEWS.ID - Pandemi dan Perubahan Perilaku II, Lalu bagaimana di Indonesia? Selama ini, berita-berita dari Indonesia yang saya ikuti dari waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan. Perilaku sosial di ruang publik biasa saja, ada yang cemas, takut, tidak berani keluar rumah, namun banyak yang menghadapinya dengan “gaya santai’ seolah tidak perlu pembatasan, apalagi mengubah perilaku. 

Singkatnya, di Indonesia saya merasa semua serba tidak pasti. Tidak ada yang dapat menjamin keamanan dan keselamatan selain diri sendiri dengan risiko yang tinggi. Tentu inilah model kehidupan yang harus dihadapi bila saya kembali  ke tanah air.

Dan saya harus pulang! Tidak mungkin saya berlama-lama sebagai visitor, meski kebijakan imigrasi Tanggal 26 Januari dini hari lalu, saya terbang pulang ke Indonesia melalui Singapura.

Ada informasi yang baru diketahui dalam perjalanan, yaitu bahwa saya harus mengisi aplikasi eHAC Indonesia (Indonesia Health Alert Card), formulir yang perlu diisi dari Kementerian Kesehatan RI. Baru di bandara juga, dari teman pelajar Indonesia yang pulang, saya mengetahui bahwa sejak kedatangan, kami perlu dikarantina selama lima hari bagi warga asing maupun warga Indonesia. 

Di Jakarta telah disediakan daftar hotel yang ikut  program karantina dan tidak ada informasi di hotel mana kami akan ditempatkan. Bahkan setelah pengambilan bagasi, kami diatur berdasarkan penerbangan yang digunakan, dan sudah ditentukan hotel tertentu namun tidak berdasarkan nama penumpang. 

Kepasrahan dan keikhlasan menjalankan ini semua  adalah situasi pertama yang dihadapi. Pengaturan dan penjagaan dari bandara sampai ke hotel dibawah pengawasan tentara berbaju loreng. Setelah pengambilan bagasi, kami menuju bus yang telah disediakan.

Anak saya yang tadinya akan menjemput berpapasan di luar. Sempat berpelukan kangen, tetapi juga bingung tidak tahu seperti apa sistem karantina. 

Sejak awal kedatangan tidak diperoleh informasi yang pasti apa yang akan dilakukan terhadap kami yang baru pulang ke tanah air. Padahal karena penerbangan transit, tentu penumpang dapat berasal dari berbagai negara, terbukti ada rombongan tenaga kerja Indonesia dari Arab Saudi dan Dubai.

Menunggu penumpang lain di bus cukup  lama, ruang tertutup, tanpa jarak meskipun menggunakan masker sesuai protokol 3 M itu. Awal perjalanan ke karantina sudah menimbulkan kecemasan akan proses penularan. Sekali lagi pasrah membantu kita untuk tidak stress berkelanjutan.

Sebab bahkan di NZ yang ketat pengaturan fasilitas  karantinanya, juga tidak dijamin tidak akan terkontaminasi. 

Kondisi yang ketat inipun masih ada risiko tertular dari rombongan baru yang dikarantina di tempat yang sama. Terakhir ada warga NZ yang baru datang dari Spanyol melalui Belanda. Ia ditest negatif, keluar dari karantina negatif, tetapi beberapa hari kemudian positif dengan strain Afrika Selatan, mutasi virus Covid yang baru. 

Kasus ini membuat heboh Kementerian Kesehatan  NZ dan terjadi dua hari sebelum saya pulang.  Pemerintah NZ menelusuri secara komprehensif jenis virus, kontak yang dilakukan setelah dari karantina dan lain-lain demi menyelamatkan warga lainnya. 

Kesimpulan terakhir kemungkinan besar tertular justru di tempat karantina. Waktu itu saya pun membayangkan, bagaimana nanti di Indonesia, ya? Kini saya mengalaminya sendiri. 

Tentara yang menyambut kami di hotel terasa kurang siap dan tidak mempertimbangkan lama penerbangan yang telah kami lewati. Apalagi soal perbedaan cuaca dan waktu. Hal seperti itu tidak mereka pertimbangkan sama sekali.

Kami diminta menunggu di restoran, minum teh atau kopi hangat. Menunggu beberapa jam diberi kotak makan siang dan akhirnya dibagi nomor kamar dengan antri di front desk. Berbagai pertanyaan kami ajukan, dan barulah kami mendapat informasi bahwa setelah di kamar makan pagi-siang dan malam diantar langsung ke kamar. Di depan kamar tersedia kursi, tempat menaruh makanan. 

Kamar cukup luas dan ada dapur kecil lengkap  dengan microwave, ruang tamu, dan meja kerja. Mulai muncul rasa aman, mulai buka masker dan  menenangkan diri, mempercayakan pada pemerintah bahwa kami akan diberi pelayanan terbaik dan teraman (ala Indonesia). 

Karantina akan berakhir empat hari lagi, ketika saya  menulis pengalaman dan refleksi ini. Informasi  selanjutnya belum diperoleh kapan dan bagaimana test akan dilakukan, apakah kami harus turun atau test dilakukan di kamar masing-masing? Hal menarik lainnya, ternyata hotel masih boleh menerima tamu yang bukan karantina. Wah!

Tampaknya jelas, Indonesia masih harus belajar  banyak soal perubahan perilaku sosial semua warganya untuk memerangi Covid-19 sehingga dapat memberi rasa aman dari penularannya!

Artikel Terkait