Perjalanan PDI Perjuangan dalam Catatan Daniel Dhakidae

Oleh : Mancik - Kamis, 11/03/2021 12:15 WIB

Daniel Dhakidae.(Foto:Istimewa)

Oleh: Daniel Dhakidae

INDONEWS.ID - Apa Artinya Tahun 1920-an

Itulah tahun ketika pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda mencapai puncak tertinggi. Ekspor mencapai angka tertinggi. Semuanya adalah hasil dari strategi pembangunan colonial yang lebih terkenal dengan nama “Etische Politiek, Politik Balas Budi Belanda. Namun, semua menjadi babak-belur dengan malese dunia tahun 1929.

Pertumbuhan tinggi tidak berarti rakyat makmur karena perbedaan pendapatan semakin nyata. Rakyat semakin miskin, kaum kapitalis semakin kaya. Semuanya bisa dibaca dalam tulisan Bung Karno pada tahun2 itu, 1926-1930-an.

Ketika PNI didirikan Bung Karno tahun 1927, PNI berada di tengah situasi di atas. Apa Artinya Tahun 1920-an. PNI berada di tengah situasi yang begitu memburuk sehingga tidak mungkin lain daripada menghasilkan suatu “ideologi” yaitu mengejar suatu ide politik tinggi dalam hubungan dengan suatu organisasi yang sedang diusahakan didirikan dengan suatu metodologi anti-colonial yang keras.
Politik tinggi: mengejar keadilan, social justice, dan semuanya diekspresikan dalam suatu istilah yang mengejutkan yaitu “Marhaenisme”– tidak pernah terdengar istilah itu sebelumnya.

Metodologi perjuangan anti-colonial: menolak modal Belanda beroperasi di Indonesia. Membentuk organisasi yaitu PNI; nama ini kedengaran sekarang seperti biasa-biasa saja, namun tidak biasa. Partai sebuah nama biasa.

“Nasional” tidak biasa karena nama itu berisikan suatu yang “anticolonial”, s“Indonesia” edangkan Belanda sedang membangun Hindia Belanda. juga tidak biasa. “Indonesia” mengandung konsep anti karena kalau mau yang biasa harus dipakai Nederlandsch Indie.

Dengan demikian kita lihat bahwa ketika PNI didirikan terjadi penarikan ”garis batas” antara yang di sana, Belanda, dan yang di sini, rakyat jelata.

Belanda jelas tidak mungkin melupakan konteks itu. Pemberontakan PKI baru setahun lalu, 1926. Semua aktivisnya sudah di-Digul-kan. Apa Artinya Tahun 1920-an

PNI akirnya dibubarkan Belanda tahun 1930. Bung Karno diadili dengan meningggalkan suatu pidato historis “Indonisie klaagt aan”, Indonesia menggugat, suatu analisis kolonialisme, imperialisme yang tetap relevan sampai hari ini.

Ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia 1942, semua partai yang dibangun masa Belanda dibubarkan. Dengan begitu Indonesia berada pada “titik nol” bila dilihat dari sisi partai dan kepartaian. Jepang membangun dengan dukungan Bung Karno dan Bung Hatta organisasi yang sama sekali baru yang tidak menjadi topik pembicaraan sekarang.

Masa Kemerdekaan

Kita lewatkan saja masa Jepang, karena sama sekali tidak penting bagi perkembangan Partai Politik yang sama sekali tidak diminati Jepang.

Dengan “Maklumat X”, 1946, partai2 diberi kesempatan dibentuk perdana Menteri Sjahrir. Akan tetapi masa ini pun kita lewatkan saja karena tidak menunjukkan konstelasi kekuatan sesungguhnya kepartaian.

Kita meloncat ke 1955, ketika pemilihan umum pertama dilaksanakan dan partai2 menunjukkan konstelasi kekuatan sesungguhnya, dengan dominasi 4 partai utama yaitu PNI (57 kursi parlemen, 8.434.653 suara , Masyumi, (57 kursi, 7.903. 886) NU, 6.955.141, 45 kursi, PKI, 6.179.914 suara, 39 kursi.

Dengan begitu kita lihat konstelasi kekuatan dibagi rata-- 2 partai nasionalis, PNI, 22 persen dan PKI, 16 persen, 2 partai agama, Masjumi, 21 persen dan NU, 18 persen.

Semuanya ditambah lagi dengan partai-partai kecil/gurem, Partai2 Kristen, Katolik dan Protestan, 5 persen; dari 2 partai Islam, 4 persen; 2 partai non agama, PSI dan IPKI, 4 persen. (ini semua diambil berdasarkan 10 besar pemenang Pemilu 1955)
Ini semua menjadi asset kekuatan politik hasil pemilu, dan menjadi parlemen pertama hasil pemilu, yang kelak dibubarkan Presiden Soekarno.

Ketika parlemen pertama hasil pemilu dibubarkan, dibentuk DPRS; waktu itulah suatu unsur baru dalam DPR(S) masuk yaitu unsur fungsional dan untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia tentara masuk ke dalam DPR(S), Dewan Perwakilan Rakjat Sementara, yang bukan hasil pemilu.

Kelak diresmikan dengan masuknya SEKBER golongan Karya; inilah yang menjadi inti dari politik Indonesia masa kemerdekaan.
Untuk mempersingkat waktu kita loncat ke masa Orde Baru dan melihat bagaimana kehidupan partai berlangsung.

Masa Oode  Baru

HASIL Pemilu 1971, dengan intinya 10 besar: GOLKAR, 63 persen,236 kursi; 34.348.673 suara; NU 19 persen, 10.213.650 suara, 58 kursi; Parmusi, 5 persen, 24 kursi; PNI, 3.793.266, 7 persen, 22 kursi; DUA partai Kristen, Protestan dan Katolik, 10 kursi; 2 persen. Partai gurem Islam, PSII dan PERTI, 14 kursi; partai gurem non agama, IPKI dan MURBA: 3 kursi. (ini semua berdasarkan 10 besar hasil pemilu 1971.

Kita lihat bahwa ada perubahan drastic. Muncul suatu unsur baru GOLKAR dengan kemenangan besar, 63 persen, mayoritas mutlak, land-slide victory. Gabungan semua unsur lain, agama dan non-agama hanya membentuk 37 persen yang secara teoritis kalah dalam setiap pemungutan suara dalam segala kebijakan. PNI menjadi partai gurem.

Dengan kenyataan seperti di atas Orde Baru bisa menjalankan kebijakan apa pun dan mendapatkan dukungan parlemen dengan suara meyakinkan.

Kebijakan yang menjadi topik kita adalah fusi partai-partai. Dengan kemenangan sebesar itu Orde Baru sama sekali tidak perlu mengadakan fusi. Apa pun yang mereka mau pasti jalan. Pertanyaan mengapa fusi?

Salah satu jawaban yang bisa diberikan adalah menghapuskan mitos, ideologi, identitas, historisitas, maka dasar keberadaannya hilang.

1. Dengan menjadi Parmusi partai legendaris Masyumi sudah kehilangan identitas, historisitas, dan dengan itu mitosnya;
2. NU meski tidak menang besar akan tetapi sebagai urut kedua akan tetap menjadi soal bagi Orde Baru.
3. PNI yang paling menakutkan Orde Baru, meski sudah menjadi partai gurem, no. 4, dan hanya menguasasi 7 persen kekuatan DPR. IDENTITAS yang selalu dikaikan dengan Bung Karno sangatlah menakutkan; historisitas sebagai partai revolusioner sama efeknya; dan terutama mitos yang ada di baliknya sebagai partai demi social justice, partai kaum Marhaen dan Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan di Indonesia memang sangat menakutkan.

Karena itu fusi partai-partai adalah to be or not to be bagi Orde Baru. Baru pertanyaannya atas dasar apa peleburan itu diatur.
GOLKAR sudah pasti menjadi partai “pembangunan”

Kalau begitu semua partai di bawahnya harus menganut “ideologi” sama yaitu pembangunan. Karena itu dibentuklah Partai Persatuan Pembangunan, PPP, yang menampung semua partai Islam; kedua dibentuklah Partai Demokrasi Indonesia, PDI yang menampung semua partai gurem lain non-Islam. Dengan nama itu diharapkan PNI hilang dari sejarah.
Di mana Partai Katolik dan Parkindo melebur?

Pada awalnya keduanya dimasukkan ke dalam kategori partai “kerohanian”. Dengan demikian logisnya masuk ke dalam PPP; namun opsi itu ditolak. Akhirnya keduanya dileburkan ke dalam PDI.

Dengan demikian dalam semua pemilihan umum berikutnya hanya tiga kelompok itu yang berpartisipasi dalam pemilu: satu, GOLKAR yang bukan partai; kedua, PPP, partai dengan orientasi Islam; dan ketiga PDI yang menampung semua yang lain dengan PNI sebagai kekuatan sentral.

Dengan demikian tercapailah apa yang diinginkan Orde Baru: pertama, hilang semua identitas asli; dan terjadi simplifikasi partai2.
Semuanya ditunjukkan dalam Pemilu 1977 betapa simplifikasi itu berhasil: GOLKAR, 62 persen, 232 kursi; PPP, 29 persen, 99 kursi; PDI, 9 persen, 29 kursi.

Namun, PDI dengan lambang kepala banteng merah, masih mengganggu Orde Baru. Akhirnya ada usaha sistematik menggugurkan simbolisme itu.

Dua versi PDI masuk ke dalam sejarah baru: PDI, Suryadi, dan PDIPerjuangan Megawati Soekarnoputri dan dalam pemilu PDI hilang dari lanskap politik kepartaian dan hanya PDI-Perjuangan yang terus hidup dan memenangkan pemilu 1999.
PDI-Suryadi yang dalam istilah teknisnya ”out-voted” dalam Pemilu. Dalam pemilu 1999 hanya mendapat 2 kursi dan praktis hilang.

MASA POST-ORDE BARU

DENGAN kemenangan meyakinkan dalam Pemilu pasca-kejatuhan Orde Baru PDI-P sejak 2015 membangun kembali identitas, historisitas, dan mitos, dan ideologi yaitu kembali kepada Soekarnoisme.

Dengan demikian apa yang dihancurkan Orde Baru dihidupkan kembali PDIP.

Mengapa 4 hal di atas-- identitas, historisitas, mythos dan ideologi penting?

Tidak mungkin terlalu berpanjang lebar tentang itu. Akan tetapi perlu diberikan beberapa paham singkat:
Kita mulai dengan yang paling membingungkan yaitu mitos. Mitos bukan dongeng; mitos adalah pengetahuan instinctive yang mengajarkan kita tentang social order, konstitusi, dan malah awal dari perkembangan hukum itu sendiri.

Semuanya ini paling jelas dalam pidato 1 Juni 1945 oleh Bung Karno. Bagaimana membayangkan social and political order dalam bentuk republic, sesuatu yang sama sekali belum ada. Baru ada dalam bayangan Tan Malaka dan disebut eksplisit oleh Bung Karno dalam pidato lahirnya Pancasila. Selanjutnya mitos bertransformasi menjadi konstitusi, dan dasar dari semua perkembangan hukum.

Tanpa mitos tidak ada ideologi.

Satu Juni menjadi titik paling menentukan bagi terciptanya suatu state’s ideology yang terus hidup sampai hari ini. PDIP tidak mungkin hidup tanpa hari kelahiran Pancasila tersebut.

Ketika mitos melebur ke dalam ideologi—kebangsaan dan keadilan-- maka itulah hari historis, yang tetap menghidupkan historitas PDIP.

Semuanya membentuk identitas PDIP yang tidak bisa dihilangkan oleh fusi partai-partai. Tanpa 4 hal di atas—mitos, ideologi, historisitas, dan identitas– tidak ada partai yang mampu bertahan dari fusi/peleburan paksa Orde Baru.

*)Tulisan ini dibuat Daniel Dhakidae pada Webinar Balitpus PDI Perjuangan bertema: "Refleksi Konstruksi Historis PDI Perjuangan: Dari PNI 1927 Ke PDI 1973 Ke PDI Perjuangan` pada Rabu, 10 Maret 2021.*

Artikel Terkait