Nasional

Hancurkan Demokrasi Bukan dengan "Kudeta Tengah Malam", Tetapi dengan Selubung Legal Formal

Oleh : very - Jum'at, 04/06/2021 19:40 WIB

webinar bertajuk “Integritas, Pelemahan KKP dan Negara Hukum Indonesia” pada Selasa (1/6). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID – Saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti berada di ujung tanduk akibat adanya pelemahan terus-menerus. Pelemahan pemberantasan korupsi terjadi beruntun dan sistematik. Revisi UU KPK, pemilihan pimpinan KPK bermasalah, test wawasan kebangsaan yang justru melecehkan perempuan dan nilai luhur kebangsaan, apalagi jika berniat menyingkirkan pegawai berintegritas.

Inilah ironi demokrasi. Kekuasaan dengan mudahnya berlindung di balik formalisme hokum yang selalu gencar melakukan stigmatisasi. Bukankah, pelemahan KPK ini justru memperburuk masa depan bangsa dan peradaban kemanusiaan?

Guru Besar Sekolah Tigggi Filsafat Driyarkara (STF Driyarkara) Karlina Supelli mengatakan, terjadinya gejala kemunduran demokrasi di Indonesia telah diintrodusir oleh para ilmuwan sosial politik global. Mereka menjelaskan bahwa di masa sekarang, terjadi pergeseran metode penghancuran demokrasi, tidak lagi melalui kudeta tengah malam, tetapi dengan mengikis secara perlahan demokrasi dengan menggunakan selubung legal formal.

“Dengan menerbitkan Undang-undang dan tidak mudah dikenali publik bahwa telah terjadi pelemahan demokrasi,” ujarnya dalam acara webinar bertajuk “Integritas, Pelemahan KKP dan Negara Hukum Indonesia” pada Selasa (1/6).

Webinar yang merupakan kerja sama antara Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Constitutional and Administrative Law Society (CALS) itu didahului oleh pengantar diskusi oleh Peneliti LP3ES dan Dosen FH UNAIR, Herlambang P. Wiratraman, dengan narasumber Dosen Sekolah Tigggi Filsafat Driyarkara, Karlina Supelli, Ketua Umum YLBHI, Asfinawati, dan Pegawai KPK Novariza. Sementara itu moderator adalah Peneliti LP3ES dan Dosen FH Universitas Brawijaya, Milda Istiqomah.

Karlina mengatakan bahwa di Indonesia terjadi apa yang disebut oleh Meitzner dengan istilah “inovasi otoritarian”, yaitu gejala pelemahan demokrasi tanpa menghancurkan demokrasi secara keseluruhan. “Tetapi dilakukan dengan nominal, dipermukaan, namun institusi-intitusi pendukung demokrasi digerogoti secara perlahan, salah satunya adalah KPK,” ujarnya.  

Dia mengungkapkan terjadi pola strategi pelemahan yang dilakukan dengan tiga cara. Pertama, pelemahan civial society melalui polarisaisi politik identitas, agama, dan lain-lain, sehingga masyarakat sipil terbelah.

Warga yang membela KPK dituding sebagai pembela Taliban, merusak nalar publik seolah tindakan pemecatan 75 pegawai KPK adalah langkah yang benar, isu-isu NKRI, Pancasila, atau terjadi civil society capture dimana pihak kritis disingkirkan dengan diberi labelisasi tertentu sebagai musuh, yang berkibat pada pembatasan hak hal sipil.

Hal itu terjadi juga dengan pembubaran ormas tanpa mekanisme pengadilan.

Kedua, terjadi pelemahan terhadap media, kebebasan media, dan ancaman terhadap jurnalis dan situs media.

Ketiga, terjadi pelemahan institusi, integiritas institusi dan integritas publik. Padahal, adanya institusi adalah karena adanya hak dasar sebagai manusia. Kualitas hidup warga sangat bergantung pada pelayanan institusi yang melaksanakan tugas pelayanan masyarakat.

 

Pertanyakan Integritas Kepala Negara

Sementara itu, dalam pengantar diskusinya Herlambang P Wiratraman menyatakan kasus pemecatan 75 pegawai KPK bukan pada soal lulus test atau tidak. Tetapi pelaksanaan Test Wawasan Kebangsaan (TWK) itu yang sedari awal sudah menjadi persoalan yang harus dicermati.

“Persoalan sebenarnya adalah menyangkut desain politik hukum di Indonesia terhadap proses pelemahan lembaga anti rasuah seperti KPK. Fakta sesungguhnya desain politik hukum yang terjadi bukanlah desain penguatan lembaga KPK, namun telah terjadi proses pelemahan KPK secara sistematis,” ujarnya.

Isu yang harus dicermati, katanya, bukan melulu pada test TWK, namun terjadinya pertaruhan integritas dan pelemahan sendi-sendi negara hukum.

Herlambang mengatakan bahwa fakta-fakta pelemahan sendi-sendi hukum terasa semakin menguat di masa pemerintahan Jokowi. Terjadi serangan balik ketika KPK menangani kasus-kasus besar dan mempunyai konteks ekonomi politik yang kuat. “Pelemahan kepada KPK adalah penanda serius dari terjadinya pelemahan KPK dan sendi negara hukum,” ujarnya.

Publik saat ini bertanya-tanya mengapa pimpinan KPK sampai begitu beraninya melawan perintah Presiden RI dan kepala negara terkesan mendiamkan. Ataukah, kata Herlambang, persoalannya memang terletak pada integritas kepala negara padahal presiden mempunyai wewenang konstitusional untuk tegaknya hukum dan keadilan. “Sayangnya, hal itu tidak cukup dilakukan,” ujarnya.

Karena itu, yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang dirusak adalah integritas ihwal kepimpinan ataukah sistem politik hukum ketatanegaraan yang rusak terlebih dulu. Terjadi penegasan pada karakter liberal demokrasi, atau terjadinya democracy setback dan seterusnya.

Segala kekisruhan itu adalah penanda paling serius dari terjadinya kemunduran demokrasi dan kemerosotan luar biasa dari kebebasan sipil, terjadinya pembodohan versus kecerdasan dan pejuangan akal sehat.

“Penolakan publik terhadap pemecatan 75 pegawai KPK adalah perjuangan akal sehat nalar publik melawan tindak pembodohan yang dilakukan oleh aktor-aktor yang mengatasnamakan negara, atau formalisme birokrasi versus diskursus penegakan hukum,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait