Nasional

Demi Tegaknya Hukum, TPDI Minta KPK Abaikan Panggilan Komnas HAM

Oleh : very - Selasa, 15/06/2021 14:50 WIB

Pegawai KPK yang tidak lolos TWS saat mendatangi Komnas HAM di Jalan Latuharhari, Jakarta. (Foto: Beritasatu.com)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), telah mengirim surat panggilan kedua dan menjadwalkan akan memeriksa Pimpinan KPK, pada Selasa, 15 Juni 2021. Surat itu beragendakan meminta penjelasan Pimpinan KPK terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang berujung pada pemecatan beberapa anggota KPK yang dinyatakan tidak lulus tes tersebut.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan, surat panggilan kedua dari Komnas HAM terhadap Pimpinan KPK tersebut merupakan pertanda bahwa Komnas HAM mengabaikan UU No. 39 Tahun 1999, Tentang HAM.

“Surat tersebut juga menunjukkan bahwa Komnas HAM telah mempolitisasi kasus Penonaktifan 75 Pegawai KPK karena tidak lulus TWK yang diselenggarakan oleh BKN, sembari memberi panggung kepada kelompok kepentingan yang hendak menggoreng isu HAM,” ujar Petrus yang juga anggota Advokat Peradi ini melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (15/6).

Padahal TWK itu adalah instrumen untuk melaksanakan UU No. 5 Tahun 2014 Tentang ASN, sesuai amanat UU No. 19 Tahun 2019, Tentang KPK, amanatkan bahwa Pegawai KPK adalah ASN, yang diangkat menurut UU No. 5 Tahun 2014, Tentang ASN dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Petrus mengatakan bahwa pimpinan KPK harus menegaskan bahwa Komnas HAM tidak berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Pimpinan KPK. Pasalnya, materi kasus yang dipersoalkan adalah tentang sengketa kepegawaian yang masuk dalam rumpun kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara/PTUN dan di sana terdapat upaya hukum.

Komnas HAM, kata Petrus, seharusnya sudah dapat memastikan bahwa apa yang menjadi obyek pengaduan 75 Pegawai KPK itu bukan pelanggaran HAM; pengaduan dimaksud didasarkan pada adanya itikad buruk, terdapat upaya hukum yang efektif berupa Gugatan, Banding, Kasasi dan PK; dan saat ini upaya hukum itu sedang berjalan di MK.

“Dengan demikian, upaya Komnas HAM tidak henti-hentinya memanggil Pimpinan KPK dan mengadakan Konferensi Pers terus-menerus, hal itu sebagai politicking dan berpotensi merintangi tugas KPK menegakan hukum untuk memberantas korupsi dan itu berarti Komnas HAM juga terjebak dalam tindak pidana korupsi,” ujarnya.

Tidak kurang dari Koalisi Guru Besar dibentuk untuk memperkuat aksi publisitas 75 Pegawai KPK Nonaktif. Karena secara hukum upaya ke Komnas HAM tersebut bukanlah upaya hukum dan tidak akan mendapatkan kepastian hukum, kecuali tekanan opini publik di atas panggung yang tepat dan panggung itu adalah Komnas HAM.

 

Terjebak Menjadi Alat Perjuangan Kelompok

Petrus mengatakan bahwa Komnas HAM tampaknya ditunggangi oleh kepentingan kelompok lain yang ingin mendiskreditkan Pemerintah dan DPR terkait revisi UU KPK dan pembersihan dalam tubuh KPK terkait pelaksanaan UU No. 19 Tahun 2019 Tentang KPK, melalui momentum TWK Pegawai KPK.

Penunggangan terhadap Komnas HAM itu karena Komnas HAM tidak memiliki  UU Tentang Hukum Acara dan tidak dapat memberikan kepastian hukum, sehingga dengan mudah diperalat, ditarik ke kiri, dan ke kanan, untuk aksi publisitas, setidak-tidaknya konferensi pers tiap hari pada isu yang sama yang didaur ulang.

Petrus mengatakan bahwa Komnas HAM sudah terjebak menjadi alat perjuangan kelompok. Dan kelompok itu diduga kuat merupakan kelompok residu politik gerakan #2019 Ganti Presiden#, sebagaimana dalam berbagai narasi kelompok ini mencoba mendesak PresidenJokowi, masuk dalam konflik murahan ini.

“Jika upaya 75 Pegawai KPK ini ditolerir, maka potensi kegaduhan politik yang meluas dapat terjadi. Dimana kelompok lain yang selama ini tidak lolos TWK akan dieksploitasi menjadi sebuah kekuatan perlawanan terhadap pemerintah, meminta perlakuan yang sama agar lulus test, termasuk yang kalah di Pilprespun minta dilantik jadi Presiden dengan alasan ada praktek Pemilu melanggar HAM,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait