Opini

UNI EROPA DAN "BRUSSELS EFFECT"

Oleh : luska - Senin, 05/07/2021 06:11 WIB

Oleh: Yuri O. Thamrin

Dunia kini bercorak multipolar: Amerika Serikat (AS) tetap negara terkuat, sementara China dan Rusia adalah dua negara adidaya lainnya. Tiongkok menjadi penantang AS sebagai "nomor 1", sedang Rusia punya beberapa pilihan: beraliansi dengan China, dengan AS atau netral (Mearsheimer, 2018). 

Dalam konstelasi kekuatan dunia saat ini, dimanakah posisi Uni Eropa (UE)? Apakah UE tidak lagi perlu diperhitungkan?

Secara kekuatan militer, UE memang tidak sebanding dengan AS, China dan Rusia. Namun, kekuatan UE justru terletak pada  "Brussel Effect" -- yakni kemampuannya meregulasi pasar global secara unilateral  (Anu Bradford, 2020). Kekuatan UE tidak terletak pada "hard power" tetapi "regulatory power."

PASAR UNGGULAN

Pasar Tunggal Eropa besar dan kaya --- ditopang oleh kekuatan ekonomi UE sebesar US$ 17 trilyun, 450 juta konsumen dengan pendapatan per capita tinggi sekitar US$ 40 ribu. Sejatinya, tidak ada perusahaan global yang dapat mengabaikan pasar Eropa. Untuk itu, mereka menyesuaikan diri dengan regulasi UE.

Ambil contoh ekonomi digital: berbagai perusahaan Amerika yg berpengaruh (seperti Microsoft, Google, Apple dan Facebook) mengikuti standar UE yg dikenal sebagai "EU GDPR" (European Union General Data Protection Regulation)--- tidak hanya untuk pengguna layanan mereka di Eropa tapi juga di seluruh dunia. 

Sementara itu, Youtube, Tweeter dan Facebook menggunakan definisi "hate speech" versi UE dan bukan versi AS atas dasar "the First Amendment" pada Konstitusi Amerika.

Selain berbagai perusahaan AS, pengaruh "Brussels Effect" dirasakan pula oleh banyak pihak lainnya di berbagai belahan dunia. Sebagai contoh, UE menentukan bagaimana panen kayu secara lestari di lakukan di Indonesia (yakni berdasarkan SVLK dan lisensi FLEGT); UE juga menentukan jenis pestisida yg dapat digunakan para petani biji coklat (cocoa) di Afrika; juga jenis bahan kimia bagi produk "mainan anak" (toys) yg diekspor perusahaan-perusahaan Jepang ke UE; juga berbagai peralatan (equipments) pada pabrik-pabrik produk susu China yang berdagang dengan UE; serta besaran privasi pengguna internet di kawasan Amerika Latin. Semua fakta ini  menunjukkan penetrasi regulasi UE memang sangat ampuh di pasar global. 

PERAN PERUSAHAAN GLOBAL 

Walaupun relatif tinggi dan demanding, standar UE ternyata lebih disukai berbagai perusahaan global dari pada mereka harus menggunakan beragam standar --- karena perbedaan ketentuan hukum di berbagai negara ---yang tentunya akan lebih costly.

Perusahaan-perusahaan itu kemudian menerapkan standar dan regulasi UE  ke dalam proses produksi dan operasi mereka di seluruh dunia. Dengan demikian, UE sangat diuntungkan karena tinggal mengatur pasarnya sendiri secara unilateral dan kemudian regulasi-regulasi UE diaplikasikan ke seluruh dunia oleh berbagai perusahaan global, demi kepentingan bisnis mereka sendiri. 

Pertanyaannya, mengapa hanya ada "Brussels Effect"? Kenapa tidak terdengar "Beijing Effect" atau "Washington Effect," padahal AS dan Tiongkok pun miliki pasar yang besar?

Jawabnya adalah karena "market size" harus dilengkapi pula dengan faktor "regulatory capacity." Artinya, walau punya pasar besar, Tiongkok ternyata belum miliki kemampuan dan kecanggihan hukum seperti institusi-institusi legal dan para lawyers UE. Sementara itu, AS walaupun miliki kapasitas hukum secanggih UE, namun AS justru mendorong deregulasi pada pasar domestiknya sejak awal 1990 (Anu Bradford, 2020)

RETHINKING "POWER"

Kekuatan militer (hard power) merupakan elemen penting dalam realitas politik internasional. AS, China dan Rusia adalah pemilik "hard power" terbesar di dunia. Namun, kekuatan militer cenderung "mahal" dan juga berbahaya penggunaannya.

Sementara itu, UE memiliki "Brussels Effect" yang bersumber dari "regulatory power" untuk men-shape pasar global. Kekuatan jenis ini "murah" ongkosnya, mudah penggunaannya dan juga sulit dikalahkan. 

Pihak asing mana pun jelas tidak boleh campur tangan urusan UE menerapkan regulasi atas pasar domestiknya sendiri. Negara-nagara itu pun tidak mungkin larang perusahaan-perusahaan global untuk menerima, mematuhi dan bahkan menyebar-luaskan berbagai regulasi dan standar UE ke pasar global.

ARAH KE DEPAN

UE memiliki ambisi besar untuk mengurangi hingga 50% emisi carbon dioxida pada 2030 dan menjadi "carbon neutral" pada 2050.

Dalam perspektif itu, UE mengembangkan "Carbon Border Adjustment Mechanism" yang mulai tahun 2023 akan dioperasionalisasikan melalui penerapan "Carbon Border Tax."  

"Brussels Effect" tampaknya diarahkan untuk dorong produk-produk non-EU di pasar Eropa agar lebih ramah lingkungan dan agar negara-negara non-EU dapat meningkatkan level ambisi mereka dalam memerangi "global warming."

Artikel Terkait