Opini

Pelajaran dari Jakarta

Oleh : luska - Minggu, 01/08/2021 13:21 WIB

Oleh : Djohermansyah Djohan (Guru Besar IPDN, Dirjen Otda Kemendagri 2010-2014, dan Presiden Institut Otda)

Pemda bisa efektif melaksanakan kebijakan bila kepala pemerintahannya "smart", menggunakan pendekatan "collaborative governance", dan yang tidak kalah pentingnya pemerintahan bawahannya bersifat administratif (bukan otonom). 

Jakarta telah membuktikannya. Kasus paling anyar Gubernur Anies R. Baswedan mampu mempercepat satu bulan waktu pencapaian target vaksinasi pertama untuk tujuh juta warga Jakarta yang ditugaskan Presiden Joko Widodo dari akhir Agustus menjadi akhir Juli 2021.

Sementara di provinsi-provinsi lain, 1001 kendala menghambat para gubernur dalam merealisasikan target presiden.
Misalnya, banyak provinsi di mana  gubernur dengan walikota yang memimpin ibu kota provinsi tidak akur. Lain arahan gubernur, lain pula yang dikerjakan sang walikota. 
Ditambah lagi bila relasi gubernur dengan pemerintah pusat tidak serasi, sehingga koordinasi dan komunikasi sulit terjalin. Jatah vaksin habis, kiriman dari pusat belum tiba.
Padahal para gubernur berperang dengan wabah covid yang menyerang dengan kencang dan jago pula bermutasi.

Selain itu, banyak kepala daerah yang kurang kolaboratif dalam menangani vaksinasi, dan terlalu berorientasi kepada birokrasi. 
Kelompok strategis dalam masyarakat kurang dilibatkan, apakah pengusaha, akademisi, civil society, ormas dan LSM, media,  pemuka-pemuka masyarakat atau "local champion" di pelosok-pelosok negeri.

Jakarta kembali telah menjadi barometer pemda di Indonesia. "Herd immunity" semoga segera terwujud di ibu kota negara. 

Lalu apa pelajaran yang bisa kita petik?
Pertama, jangan pernah memilih kepala pemerintahan yang kurang "smart". Kejujuran kepemimpinan wajib diiringi dengan kepintaran dan kepiawaiannya mengelola pemerintahan.
Kedua, untuk menangani urusan wabah seberat dan sekompleks covid, kepala pemerintahan selayaknya menggunakan pendekatan pemerintahan kolaboratif (Anshell & Gash, 2007).
Ketiga, semua kota otonom di ibu kota provinsi kita,  sebaiknya ke depan diubah statusnya menjadi administratif sesuai konsep desentralisasi asimetrik, seperti di DKI Jakarta yang walikotanya diangkat oleh gubernur dari PNS, bukan dipilih langsung oleh rakyat.

Artikel Terkait