Opini

Politik Indonesia Kontemporer, Rakyat Dipaksa Buta Keadaan

Oleh : Mancik - Kamis, 26/08/2021 10:41 WIB

Hasnu, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional dan Juga Wakil Sekretaris Jendral Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia PB PMII periode 2021-2024.(Foto:Istimewa)

Oleh: Hasnu

INDONEWS.ID - Politik Indonesia kontemporer telah bergeser dari cita-cita luhur studi ilmu politik sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan yang bertujuan dalam mencapai khidmat kebijaksanaan, kemakmuran dan kesejahteraan.

Terkini, aspek politik di Tanah Air acap kali ditafsirkan sebagai suatu ruang abu-abu karena landasan argumentatifnya didominasi oleh interpretasi yang berdasarkan kekuatan perspektif bukan ideologis (ilmu politik) itu sendiri.

Artinya, logika konstitusi dan fungsi politik itu sendiri tersingkir oleh kebiadaban nurani sehingga yang berlaku dewasa ini hanyalah siapa yang menang dan siapa yang pecundang.

Bagi kelompok pemenang hanya berfikir bagaimana mengamankan perahu kekuasaan dan yang kalah berupaya sekeras-kerasnya untuk menenggelamkan kekuasaan.

Suatu kondisi pahit, rakyat hanya menjadi korban dari berbagai ketidakpastian baik ketidakpastian kesehatan, ketidakpastian ekonomi, dan multiketidakpastian lainnya. Celakanya, rakyat Indonesia dipaksa buta keadaan dan berada dalam ruang hampa.

Argumentasi di atas merupakan jajak pendapat hasil obrolan rakyat tingkat akar rumput (grass root) yang mengamati hiruk pikuk konstelasi politik negeri dari pojok warung kopi.

Bagi penulis, kegelisahan mereka amat wajar dan tidak dapat disalahkan karena memang setiap hari masyarakat akar rumput hanya dipertontonkan akrobat politik para elit yang sama sekali tidak bermanfaat.

Di tengah serba ketidakpastian seperti ini, terutama pada aspek penanganan kesehatan dan peningkatan ekonomi rakyat akar rumput akibat kegagalan pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19 yang kurang tepat dan berpihak, maka rakyat seolah dipaksa menonton adegan-adegan perseteruan elit yang tidak berkesudahan, itulah jenaka politik negeri hari ini. Jauh dari dialog ilmiah, tapi cenderung debat kusir yang nihil hasil.

Dalam beberapa literatur politik mengatakan, bahwa tujuan demokrasi adalah mengembalikan kedaulatan rakyat. Artinya, suatu pemerintahan dari, oleh dan untuk kepentingan rakyat.

Angin demokratisasi dalam kehidupan politik dewasa ini memang tengah berhembus sejuk bahkan cenderung membius kita, sehingga arah dan tujuan demokrasi itu sendiri tidak nampak berada dijalur yang benar dan sesuai cita-cita amanat reformasi yang sudah dibuka gerbangnya selama 23 tahun yang lalu.

Paling tidak, pembacaan terhadap realitas politik Indonesia hari ini dengan tema tunggal demokrasi diperhadapkan dengan suatu persoalan yakni mobilisasi yang begitu dominan. Hal ini terlihat sangat kontras di depan mata kita yang pada gilirannya melahirkan perilaku politik transaksional, politik konsumtif, dan politik pragmatisme.

Fakta lain dapat dilacak melalui kartel oligarkis sebagai fenomena perkawinan silang antar oligarki di sektor ekonomi dan kartel politik di sektor kekuasaan.

Dominasi pemodal tentu begitu sangat menghawatirkan karena demokrasi yang telah diperjuangkan seperti dalam sejarah reformasi dengan begitu hebat seolah-olah dikurung dan dikarungi oleh kelompok-kelompok kuat kuasa dan kuat modal.

Upaya penggalangan masa yang dibarengi dengan iming-iming fasilitas dan materi masih menjadi tren menarik disetiap gelaran pemilu dalam semua level. Kondisi demokrasi mobilasi atau penggalangan ini lambat laun membuat demokrasi kita menjadi sakit dan semakin bergeser dari esensi demokrasi itu sendiri.

Dampak dari perilaku politik seperti ini sudah menjadi barang tentu akan membuka pintu gerbang untuk merusak nilai-nilai luhur bangsa dan juga akan merusak mental masyarakat.

Dalam berbagai literatur politik berkesimpulan bahwa demokrasi transaksional akan melahirkan suburnya praktik korupsi, kolusi, nepotisme dan koncoisme akibat kegagalan dalam pembangunan politik kearah lebih maju.

Dengan demikian, jalan keluarnya adalah sudah saatnya memperkuat komkitmen bersama untuk bagaimana mengembalikan kehidupan demokrasi ke rel yang sesungguhnya yakni demokrasi yang partisipatif, demokrasi yang mengedukasi, dan demokrasi yang mempersatukan guna menjawab amanat suci konstitusi.

Melihat fakta pahit politik Indonesia kontemporer, maka dalam menciptakan atmosfer perpolitikan Indonesia yang dapat menjawab demokrasi substansial, berikut beberapa rekomendasi:

1.Program aksi pemerintah untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia dari para pemodal politik yang tidak jelas kepentingannya melalui sosialisasi pendidikan politik kepada masyarakat.

2.Menegakkan kedaulatan politik untuk mengubah arah demokrasi Indonesia, dari yang bersifat penggalangan (mobilisasi) menjadi partisipasi.

3.Masyarakat sebagai pemilih dalam setiap momentum pemilu untuk tidak memilih calon-calon pemimpin yang menggunakan metode money politic dalam memperoleh kekuasaan.

4.Mendorong regulasi yang ketat dalam mengatur proses pemilu demi terwujudnya kehidupan demokrasi yang sehat dan substantif.

5.Pemerintah segera membuat peraturan perundang-undangan yang ketat terhadap kepesertaan pemilu.*

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional dan Juga Wakil Sekretaris Jendral Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia PB PMII periode 2021-2024.

Artikel Terkait