Opini

Sekolah Bebas Perundungan

Oleh : indonews - Selasa, 31/08/2021 14:40 WIB

Staf pengajar SMK Stella Maris, Labuan Bajo, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Dalam Rapat Sosialisasi Pelaksanaan Sekolah Penggerak tingkat SMK Stella Maris, Senin (31/8/2021), isu `tindakan perundungan` sempat dibahas secara singkat oleh panitia Pelaksana Program Sekolah PK. Ditegaskan bahwa tema "Sekolah Anti Perundungan` menjadi salah satu isu yang menjadi pusat perhatian Sekolah PK sekaligus indikator keberhasilan program tersebut.

Saya tertarik untuk mengelaborasi tema ini. Tentu, tidak ada pretensi untuk mengupas secara komprehensif dan holistik perihal kasus perundungan yang terjadi di lembaga pendidikan dan bagaimana strategi yang efektif untuk meminimalisasi aksi perundungan tersebut.

Apa yang tersaji di sini hanya berupa sketsa serba ringkas soal fenomena, batasan, ciri-ciri dan tipe korban, tanda-tanda siswa mengalami perundungan, bagaimana proses penyebab terjadinya perundungan, karakteristik perilaku, strategi membantu korban perundungan, dan gerakan menciptakan sekolah yang bebas dari tindakan perundungan.

Tesis dasarnya adalah tindakan perundungan itu berdampak buruk bagi perkembangan kepribadian dan berefek pada menurunnya prestasi akademik siswa. Perundungan menjadi salah satu batu penghalang `terwujudnya` tujuan pendidikan, yaitu pemanusiaan manusia muda.

Untuk itu, para pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang pendidikan, terutama Kepala Sekolah dan para guru mempunyai tanggung jawab etis untuk mencegah meluasnya aksi perundungan di sekolah.

Sebetulnya, istilah perundungan atau bullying mulai marak dikenal dan digunakan oleh masyarakat melalui media sosial sejak tahun 2014. Perundungan adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menyakiti secara fisik, verbal, psikologis oleh seseorang terhadap seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok orang yang merasa tidak berdaya.

Untuk memahami masalah perundungan diperlukan beberapa batasan karena hal ini sering kali tumpang tindih dengan permasalahan yang lain, misalnya tawuran atau hazing. Secara umum semua tokoh sepakat bahwa perundungan merupakan bagian dari perilaku agresif yang dilakukan dengan niatan untuk menyakiti.

Sisi agresivitas dieksploitasi secara berlebihan untuk `menyakiti` perasaan orang lain. Ketakberdayaan korban dilihat sebagai kesempatan untuk `meruntuhkan` sisi fisik dan psikisnya. Kondisi seperti ini sudah pasti menghadirkan perasaan traumatis dan luka bagi korban.

Perundungan merupakan tindakan yang direncanakan untuk diulang selama waktu yang relatif lama dan menyakiti orang yang dituju. Bentuk perundungan bisa berbagai macam, entah secara fisik, verbal, non verbal, psikologis ataupun secara cyber.

Saya kira, fenomena semacam ini, dalam derajat tertentu pernah terjadi di sekolah, baik yang dilakukan oleh siswa kepada sesama siswa maupun oleh guru kepada siswa. Sadar atau tidak, tindakan perundungan itu bisa berimplikasi pada penurunan mutu proses dan hasil pembelajaran di sekolah.

Salah satu ciri khas perundungan adalah adanya keseimbangan kekuatan yang dimiliki antara pelaku dan korban perundungan. Dalam persepsi korban perundungan, tindakan kekerasan yang dialaminya akan terus berulang dan secara impulsif memikirkan kapan pelaku akan berhenti melakukan perundungan.

Selain itu, masalah lain adalah tindakan perundungan itu tidak terjadi di tempat yang sunyi, tanpa disaksikan oleh kawan yang lain. Peristiwa perundungan ini, tidak terjadi antara pelaku dan korban saja, namun selalu melibatkan saksi atau orang yang menyaksikan perundungan tersebut karena pelaku perundungan memerlukan perasaan bahwa dia berkuasa.

Sang pelaku ingin diafirmasi posisinya sebagai pribadi yang superior ketimbang korban. Ada semacam `hasrat` memamerkan kekuasaan melalui mekanisme kekerasan fisik dan verbal kepada orang lain. Pelaku akan puas dan bangga ketika aksinya diperlihatkan di depan orang banyak.

Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar isu perundungan dipahami dan menjadi salah satu fokus perhatian guru dan pra orang tua? Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa para siswa atau anak didik telah melakukan perundungan kepada sesamanya?

Saya kira agar dapat membantu guru dan orang tua mengenali apa itu perundungan, batasan perundungan, bagaimana bisa terjadi perundungan, jenis perundungan, dampak dari perundungan dan bagaimana strategi penanganan bagi korban dan pelaku perundungan diperlukan berbagai usaha penyebaran informasi untuk meningkatkan kepedulian terhadap masalah perundungan itu sendiri.

Salah satunya dengan memberikan edukasi kepada seluruh elemen dalam sekolah untuk mengetahui karakteristik masalah perundungan tersebut. Jadi, ada semacam `gerakan bersama` untuk mengetahui kompleksitas masalah perundungan dan strategi penanganan dan pencegahannya.

Tidak terlalu sulit untuk mendeteksi apakah seorang anak telah menjadi korban perundungan atau tidak. Secara umum, gejala anak yang menjadi korban perundungan adalah enggan ke sekolah, anak tiba-tiba berubah menjadi pendiam, pemurung dan mudah tersinggung, anak enggan menceritakan pengalamannya di sekolah, prestasi menurun, sering mengalami luka, baju robek, hilang barang atau uang dan tidak bisa menjelaskan penyebabnya, berubah menjadi pencemas dan kadang kesulitan tidur.

Pemaparan beberapa gejala tersebut, tentu semakin memperkuat tesis kita bahwa perundungan itu berefek sangat buruk bagi siswa. Jika seorang siswa yang menjadi korban perundungan `tidak ditolong`, maka masa depannya pasti suram. Dirinya tidak bisa secara total mengikuti proses pembeljaran di sekolah. Jelas ini sebuah kerugian yang sangat besar pengaruhnya.

Oleh sebab itu, apabila orang tua atau guru melihat anak menunjukkan beberapa gejala tersebut, sebaiknya orang tua atau guru segera mencari tahu apa yang menyebabkan hal tersebut untuk menggali apakah anak mengalami perundungan di sekolah. Anak semacam itu harus mendapat `layanan khusus` yang bersifat profesional.

Bagaimana caranya membantu korban perundungan dan bagaimana strategi pencegahan terjadinya perundungan? Ini sebuah pertanyaan penuntun bagi para pemangku kepentingan di sekolah.

Harus diakui bahwa menangani anak yang menjadi korban perundungan itu, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butu pengorbanan, dedikasi, dan kerja sama semua pihak, yaitu semua elemen sekolah dan keluarga.

Beberapa opsi penanganan yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah adalah dengan memberi penyuluhan, membuat budaya sekolah yang ramah dan pro-sosial juga menyediakan layanan konseling untuk murid-muridnya. Layanan konseling bisa dilakukan oleh guru-guru yang telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan tertentu (para sarjana Bimbingan dan Konseling).

Berita bagusnya adalah untuk tahun ajaran 2021/2022 ini, SMK Stella Maris sudah memiliki tiga orang guru BK dengan kualifikasi sarjana BK. Diharapkan agar mereka berada pada garda terdepan untuk mengimplementasikan gerakan `Sekolah Bebas Perundungan" tersebut.

Tetapi, saya berpikir kita tidak boleh berfokus pada `tindakan kuratif` saja. Mencegah lebih baik daripada mengobati penyakit. Untuk itu, upaya untuk `meniadakan atau menghentikan` aksi perundungan mesti menjadi sebuah gerakan bersama dan berkesinambungan di sekolah.

Pastikan bahwa semua elemen dalam komunitas sekolah mengetahui sisi negatif dari tindakan perundungan dan berkomitmen untuk menghindari perilaku tersebut. Para guru tentu berada pada barisan depan dalam mewujudkan kampanya Sekolah Anti Perundungan itu.

*Penulis adalah staf pengajar SMK Stella Maris, Labuan Bajo.

Artikel Terkait