Opini

"Perampokan" Karyawan oleh Pengusaha di Bali

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 03/09/2021 17:45 WIB

Kriminolog dan Independent Safety & Security Consultant, Roger Paulus Silalahi (Foto: Ist)

Oleh: Roger Paulus Silalahi*)

Opini, INDONEWS.ID - Pandemi covid-19 yang mengerikan ini merontokkan hampir semua negara di seluruh di hampir semua sektor, tidak terkecuali Indonesia.

Di Indonesia, rata-rata propinsi (istilah orang ekonomi) mengalami pertumbuhan ekonomi minus 3% sampai 4%, kecuali Bali yang pertumbuhan ekonominya sampai minus 12,3%, terburuk di Indonesia.

Entah kenapa dibilang "pertumbuhan ekonomi minus", karena pertumbuhan seharusnya plus, kalau minus namanya seharusnya perontokan. Biar saja, saya bukan orang ekonomi dan bukan itu fokus tulisan kali ini. Fokus saya adalah pada "perampokan" yang dilakukan pengusaha di Bali terhadap karyawannya.

Bali dikenal sebagai pusat pariwisata Indonesia, salah satu tempat tujuan wisata terbaik di dunia yang menawarkan keindahan alam, budaya, dan keramahan yang luar biasa menyenangkan bagi siapapun yang berkunjung ke sana.

Demikian menyenangkannya Bali, sehingga setiap orang yang sudah lama tidak bertemu dengan saya akan berkata: "Wah, enak sekali kamu tinggal di Bali, liburan terus ya...," seolah-olah orang yang tinggal di Bali tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Padahal sebenarnya ya sama saja--yang ada di kehidupan orang yang tinggal di Bali adalah kerja, kerja, kerja... Semua bekerja untuk menciptakan iklim pariwisata yang aman dan nyaman untuk wisatawan, dan hampir semua lini terkait atau terhubung baik langsung ataupun tidak langsung dengan pariwisata.

Saat pandemi mulai, Bali langsung terdampak. Kedatangan wisatawan asing menurun drastis dalam bulan Maret 2020, hingga akhirnya sampai pada titik 0.

Hotel mulai tutup, merumahkan karyawan, demikian pula restoran, cafe, semua usaha di pantai, wisata air, dan Bali menjadi sepi. Jalan yang penuh dengan kendaraan mendadak lengang, yang biasanya jam 22.00 masih padat, berubah menjadi satu atau 2 kendaraan yang lewat dengan kecepatan tinggi, jalanan kosong.

Semua terpaksa diam di rumah, memilih belanja sendiri, memasak sendiri, bahkan banyak yang mulai menanami rumahnya sendiri, menghemat biaya sebisa mungkin.

Pemerintah tidak sanggup menangani ini. Adapun tunjangan nilainya tidak cukup memenuhi kebutuhan keluarga (Bapak, Ibu, 2 anak) untuk hidup selama 2 minggu, sementara kehidupan harus berjalan terus.

UMK sisa UMK, tidak terpenuhi pun tetap dihajar oleh pekerja. Semua menderita, mayoritas adalah orang Bali asli, karena pendatang banyak yang memilih pulang kampung (kalau masih punya kampung), atau mengambil pekerjaan di luar Bali yang masih lebih menghasilkan.

Kredit rumah dan kendaraan tertunggak akibatnya rumah dan kendaraan disita bank. Sungguh menyedihkan. Saat pandemi ini, bisa dibilang menjadi saat semua orang membuka kedoknya tanpa sadar. Yang peduli akan tampak kepeduliannya, yang egois pun tampak egoisnya. Pengusaha gulung tikar ribuan jumlahnya. Pengangguran sudah pasti lebih dari 1 juta jumlahnya.

Pengusaha di Bali, terutama pengusaha bermodal besar kebanyakan bukan orang asli Bali, bahkan sebagian tidak tinggal di Bali. Masa sebelum pandemi, dinikmati dengan keuntungan yang luar biasa besar.

Saat pandemi semuanya berubah dan semua mengambil langkah atas usahanya di Bali. Langkah yang diambil bervariasi sesuai dengan sifat asli dari sang Pengusaha.

Kebanyakan menunjukkan bahwa dirinya benar-benar Pengusaha, tidak mau rugi, tidak peduli pada karyawannya, bahkan memanfaatkan kondisi ini untuk menekan karyawan seolah Pengusaha sedang berusaha mempertahankan penghidupan karyawannya, sementara kenyataannya mereka merampok karyawannya.

Ya, saya katakan merampok. Saya akan jelaskan dengan ilustrasi yang didasarkan pada kenyataan bagaimana beberapa hotel merampok karyawannya. Tidak hanya hotel, semua bentuk usaha sama. Tapi saya ambil contoh hotel karena dapat memeberikan gambaran bagaimana perampokan terhadap karyawan terjadi.

Hotel A
Kondisi normal.
Beroperasi selama lebih dari 20 tahun sebagai hotel "diamond star", dengan nama harum seperti parfum. Net profit alias jatah pemilik setiap bulan tidak kurang dari 50 milyar. Jumlah karyawan 1.000 orang, dengan total biaya operasional berkisar 20 milyar. Total profit 20 tahun tidak mungkin di bawah 80 Trilyun.

Kondisi pandemi
Jumlah karyawan drop ke angka 600 orang, semua outsource diberhentikan, staf FB pun beralih fungsi, staf Housekeeping, Engineering, bahkan Finance, semua beralih fungsi. Bisa jadi Satpam, Gardener, Publik Attendance, dll. Gaji...? Gaji potong 50%, kerja tetap full tanpa potongan, pemasukan hotel ada, tapi tidak cukup katanya.

Hotel K
Kondisi normal
Beroperasi selama lebih dari 1 tahun sebagai hotel "diamond star", dengan brand internasional. Net profit alias jatah pemilik setiap bulan tidak kurang dari 30 milyar, jumlah karyawan 600 orang, dengan total biaya operasional berkisar 10 milyar. Total profit 1 tahun tidak mungkin lebih dari 120 milyar.

Kondisi pandemi
Jumlah karyawan tetap di angka 600 orang, semua tetap pada posisi masing-masing, dengan pekerjaan masing-masing. Gaji...? Gaji tetap seperti sebelum pandemi, kerja tetap full, pemasukan hotel ada, dan bahkan mampu memberikan service charge yang besarnya antara 3 sampai 6 juta per bulan.

Hotel R
Kondisi normal
Beroperasi selama hampir 7 tahun sebagai hotel "diamond star", dengan brand internasional. Net profit alias jatah pemilik setiap bulan tidak kurang dari 30 milyar, jumlah karyawan 600 orang, dengan total biaya operasional berkisar 10 milyar. Total profit 7 tahun tidak mungkin di bawah 2,5 Trilyun.

Kondisi pandemi
Jumlah karyawan drop ke angka 600 orang, semua outsource diberhentikan, semua staf beralih fungsi, sampai orang Finance pun bisa bertugas jadi gardener. Gaji...? Gaji potong 75%, kerja disesuaikan dengan potongan, tapi ada yang disebut "loyalitas", ada yang disebut "masuk tidak resmi".

Posisi di rumah pun tetap harus siap dikontak untuk mengerjakan berbagai hal, syukur-syukur kalau bisa online, kalau harus hadir, ya harus hadir. Cuti pun dihanguskan, THR jangan diharapkan, kalau tidak mau ya silahkan resign, tanpa pesangon.

Hotel Z
Kondisi normal
Beroperasi selama lebih dari 20 tahun sebagai hotel bintang 4, dengan nama dan tampilan cukup tampan, tapi kelakuan seperti Taliban. Net profit alias jatah pemilik setiap bulan tidak kurang dari 5 milyar, jumlah karyawan 300 orang, dengan total pengeluaran gaji berkisar 1 milyar. Total profit 20 tahun tidak mungkin di bawah 1,2 Trilyun.

Kondisi pandemi
Jumlah karyawan drop ke angka 0 orang, semua tidak diberhentikan, status dirumahkan, sampai hotel beroperasi kembali, entah kapan.

Bagi karyawan hotel K, bersyukur sekali. Bahkan 3 bulan pertama masa pandemi dimana tidak ada tamu sama sekali, sang pemilik menutup semua pengeluaran gaji, menjalankan terus roda usaha dengan berbagai terobosan dan cara, dan masih bertahan sampai sekarang.

Tapi apa kabar dengan karyawan hotel A, R, dan Z...? Keseluruhan mereka menjadi korban. Yang masih bekerja statusnya underpaid seperti hotel R yang pemasukannya ada pun tetap akan di-claim kurang selama pemilik belum mendapatkan jatah untuk bermewah-mewah. Atau karyawan hotel Z yang mendadak tidak punya pekerjaan, tidak punya gaji, dan tidak dapat pesangon apapun.

Sungguh! Pengusaha-pengusaha ini menunjukkan keasliannya, hanya mau untung, tidak punya kemampuan berempati. Tidak mau menyisihkan sebagian dari keuntungan sebelum masa pandemi. Hanya mau tahu mengakali karyawan, memaksa mereka menerima berapapun yang diberikan, apapun kondisinya, karena merasa punya kuasa di tengah pandemi sebagai pengusaha yang masih menjalankan usahanya.

Banyak usaha yang ditutup dan "merumahkan" karyawannya, tidak dipecat, tidak digaji, tidak diberi pesangon. Perusahaan berhenti beroperasi, karyawan harus mengerti dan menerima perlakuan melawan undang-undang terkait hal ini. Lalu apa gunanya Undang Undang Cipta Kerja...? Apa gunanya pengaturan hak dan kewajiban Pengusaha dan Karyawan. Semua hanya indah diatas kertas.

Pengusaha seharusnya menjaga martabat diri sendiri dengan tidak mengabaikan hak karyawan, tidak mengakali karyawan, tidak menempatkan karyawan di posisi terpaksa dan hanya bisa menerima.

Peraturan ada untuk diikuti, bukan untuk dilanggar dengan seenak perut, melukai perut karyawan dan keluarganya yang membuat pengusaha bisa menikmati segala kemewahan selama ini. Terlebih di Bali, sebagai pendatang yang berusaha di Bali, mengeruk keuntungan dari tanah Bali, apakah pantas mengorbankan karyawan dan menghajar mereka sebagai rasa terima kasih dari Pengusaha pada Bali...?

Pengusaha harus sadar bahwa berusaha punya 2 kemungkinan: untung dan rugi. Jangan hanya mau tahu untung, "Sing Nyak Rugi". Mau hidup seperti dewa kecil, datang dihormati, lalu mengembalikan jerih payah karyawan dengan cara meludahi karyawannya sendiri.

Disnaker seharusnya berperan aktif berkomunikasi dan memeriksa, mengontrol serta mengeluarkan teguran pada pengusaha-pengusaha yang merampok karyawannya dan menginjak-injak karyawannya; berkoordinasi dengan Disperindag, mengendalikan situasi, cabut izin operasional, segel bila perlu.

Pengusaha, jika mau berusaha, maka berusahalah dengan bermartabat, dengan otak dan hati nurani. Jika tidak mampu silahkan berhenti berusaha, tapi bayar apa yang menjadi hak karyawan. Hentikan perampokan terhadap karyawan, sebelum doa mereka dijawab oleh Yang Maha Kuasa. Tanah Bali, tempat Karma beraksi.

Disnaker jangan jadi tukang minta-minta yang hanya duduk diam terima gaji, tapi harus sadar bahwa sekarang Disnaker punya kesempatan menunjukkan bakti pada negeri, pada karyawan yang juga pembayar pajak yang setiap bulan menjadi pemasukan negara untuk membayar gaji ASN.

Apa yang dilakukan? Datangi, periksa, hitung berapa yang dirampok dari karyawan, perintahkan agar semua dibayarkan, bertindak. Jangan mentang-mentang ASN tidak kena potongan gaji lalu Disnaker seolah buta dan tuli membiarkan perampokan terjadi. Jangan hanya diam menunggu panggilan, salah-salah yang datang panggilan dari Tuhan.

Ditulis dalam kemuakan akan keserakahan para Pengusaha yang hanya mau menikmati keuntungan dari tanah Bali, tanpa mau peduli, tanpa hati nurani.*

*) Roger Paulus Silalahi adalah penulis pemula yang berprofesi sebagai Kriminolog dan Independent Safety & Security Consultant. Ia juga Aktif sebagai Konsultan Keamanan Publik dan Bidang Kajian Center of Terrorism and Radicalism Studies - Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Badan Pengurus Harian Aliansi UI Toleran (AUTO), serta beberapa organisasi yang terkait dengan media dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Artikel Terkait