Opini

Persemaian Modern, Pariwisata Super Premium, dan Ekonomi Hijau

Oleh : indonews - Sabtu, 04/09/2021 18:28 WIB

Warga Labuan Bajo, Manggarai Barat, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) demi menunjang keberlanjutan industri pariwisata super premium, Pemerintah Pusat (Pempus) melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), membuka proyek Persemaian Modern Permanen, di Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar). Sebanyak 30 hektar kawasan Hutan Produksi Bowosie, tepatnya wilayah Satar Kodi, Nggorang dijadikan lokasi proyek "nursery" (persemaian bibit tanaman) tersebut.

Kita tahu bahwa 8 hektarnya telah dibabat pada bulan Agustus 2021. Proyek ini menelan APBN sebesar 39,6 milyard untuk masa kerja 140 hari. Lebih ironis lagi, di lokasi yang sedang dibabat ini terdapat salah satu dari mata air yang menjadi sumber air bagi kota Labuan Bajo dan kawasan pertanian di sekitarnya. Tetapi, keberadaan mata air itu justru dilihat sebagai salah satu kriteria oleh pihak KLHK mengapa Satar Kodi dipilih menjadi lokasi proyek. Sumber air alami itu bisa dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan pengairan dalam pengerjaan proyek itu.

Kendati pengerjaan proyek itu mendapat resistensi yang masif dari sebagian elemen masyarakat Mabar, Pihak KLHK tetap bergeming. Pelbagai argumentasi justifikatif dilepaskan ke ruang publik. Intinya, para pengambil kebijakan merasa bahwa proyek itu sangat urgen dilaksanakan dan Satar Kodi dinilai sangat cocok untuk dijadikan areal Persemaian Modern itu. Bahkan pihak Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Mabar menegaskan bahwa pelaksanaan proyek itu dan pemilihan lokasi Satar Kodi, sudah melewati tahapan analisis lingkungan yang matang.

Klaim pemerintah ini, bagi sebagian publik, kontras dengan fakta yang terjadi. Pasalnya, sampai detik ini, publik belum mendapatkan informasi soal `kajian dampak lingkungan` dari proyek itu. Jangankan hasil analisis dampak lingkungan (AMDAL), proyek itu disinyalir tidak pernah disosialisasikan dengan masyarakat dan berkoordinasi secara intensif dengan pemangku kepentingan di level lokal.

Gerakan protes publik itu, hemat saya, tidak dimaksudkan untuk menentang `intensi mulia` di balik pelaksanaan mega proyek itu. Sebaliknya, reaksi penolakan itu semata-mata didasari oleh fakta kerusakan hutan yang ditimbulkan oleh proyek itu. Wilayah Satar Kodi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem hutan produksi Bowosie yang mempunyai fungsi ekologis vital bagi warga Labuan Bajo dan sekitarnya.

Upaya merehabilitasi hutan dengan cara `menghancurkan hutan` dinilai sebagai sebuah kebijakan yang kontradiktif dan kontraproduktif. Di satu sisi, kita menginginkan agar hutan direhabilitasi dan kalau dapat dilindungi dari setiap ancaman pemusnahan dari manusia. Tetapi, anehnya untuk mewujudkan misi itu, sebagian hutan harus dijadikan `tumbal`.

Terlepas dari sisi kontroversial program itu, saya coba menarik korelasi antara keberadaan pariwisata super premium di Mabar dengan penerapan konsep `ekonomi hijau` yang dikumandangkan pemerintah saat ini. Direktur Utama Badan Pengelola Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF), Shana Fatina dalam sebuah obrolan di grup WahatsApp (WA), `Forum Peduli Mabar` pernah menjelaskan bahwa proyek Persemaian Modern di Satar Kodi itu merupakan salah satu bentuk penjabaran konsep Ekonomi Hijau dari Presiden Joko Widodo.

Secara sederhana program Ekonomi Hijau bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonom Indonesia dengan tidak mengabaikan keutuhan ekologi. Dengan formulasi lain, Ekonomi Hijau tidak hanya berfokus pada pencapaian profit ekonomis, tetapi juga menitikberatkan pada tindakan proteksi lingkungan. Ada semacam transformasi sistem perekonomian Indonesia menuju perekonomian dengan meminimalisasi dampak ekologis sekaligus mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Visi Ekonomi Hijau itu coba diterapkan di Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata super premium. Pembangunan industri pariwisata super premium tidak boleh bersifat ekstraktif dan hanya berorientasi pada akumulasi profit (profit oriented). Praksis pembangunan pariwisata juga harus memperhatikan dimensi keutuhan dan keindahan lingkungan. Hal itu senada dengan prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan dan berbasis keselamatan ekologi.

Dari alur pikir ini, maka pengerjaan proyek Persemaian Modern untuk kepentingan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Labuan Bajo sangat relevan dan urgen. Dalam dan melalui proyek itu, visi Ekonomi Hijau dalam sektor kepariwisataan bisa termanifestasi.

Pada aras global, sebetulnya paradigma pembangunan yang berbasis `spirit hijau` telah menjadi salah satu atensi utama. Disinyalir bahwa gaya hidup ‘hijau’ telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir dan menjadi konsep yang populer karena semakin banyak orang mengakui manfaatnya secara berkelanjutan.

Isu penurunan mutu lingkungan hidup bukan isapan jempol saat ini. Publik mondial sudah menyadari kerapuhan bumi ini tersebab oleh kerakusan manusia dalam `mengelola alam`. Dewasa ini berbagai negara dihadapkan pada masalah degradasi sumber daya alam, sumber daya energi, lingkungan, dan sumber daya pangan.

Eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan semakin memperburuk lingkungan karena perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan. Sementara itu, ancaman perubahan iklim dan pemanasan global semakin mengurangi keberlanjutan bumi dalam memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia di dunia.

Pertanyaannya adalah apakah proyek Persemaian Modern di lokasi hutan produksi seluas 30 hektar di Satar Kodi itu, masuk dalam kategori upaya memperbaiki mutu ekosistem hutan? Apakah ada garansi bahwa dengan membabat hutan dan mengubahnya menjadi areal persemaian bibit tanaman, isu degradasi ekologi tidak terjadi? Apakah aktivitas membabat hutan itu merupakan jelmaan dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)?

Tak diragukan lagi bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan generasi saat ini dan karena itu tidak membahayakan bagi generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka (United Nations Division for Sustainable Development, 2007). Konsep ini tidak hanya berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan, melainkan juga mencakup tiga lingkup kebijakan, yakni pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan.

Sebetulnya konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia sudah dimulai sejak 1970-an. Namun, hingga sekarang masih cenderung fokus pada pembangunan ekonomi, bahkan pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Apabila pembangunan masih mempertahankan pembangunan ekonomi yang cenderung ekstraktif dan jangka pendek, maka upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, saat ini Indonesia sudah mulai mengembangkan pendekatan Ekonomi Hijau (Green Economy Approach) seperti yang telah disinggung pada bagian terdahulu. Ekonomi hijau merupakan suatu lompatan besar meninggalkan praktek-praktek ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek di mana praktek ini telah mewariskan sejumlah permasalahan lingkungan.

Hutan dan lahan lahan Gambut merupakan dua elemen kunci dalam pendekatan Ekonomi Hijau ini. Keduanya merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar pada tingkat emisi gas rumah kaca, sebesar 61% dari total emisi Indonesia. Sektor ini juga sekaligus menjadi sektor yang dapat melakukan mitigasi dengan tingkat biaya yang efisien.

Dalam Studi Penilaian Ekosistem Hutan (Forest Ecosystem Valuation Study) yang dilakukan CIFOR (2020), mengungkapkan bahwa penerapan ekonomi hijau menyumbang lebih banyak manfaat bagi suatu negara dibandingkan bisnis yang dijalankan secara biasa.

Adapun, ekonomi hijau merupakan paradigma ekonomi baru yang meminimalkan faktor kerusakan lingkungan dan diharapkan dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dalam penelitian ini dipaparkan bahwa hutan sangat berperan penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Hutan telah berkontribusi bagi perekonomian serta menyediakan kebutuhan pangan, energi, dan bahan bangunan bagi kehidupan manusia selama ribuan tahun. Hutan berada di garis terdepan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih lestari. Dalam studi Penilaian Ekosistem Hutan, menjelaskan bila Indonesia menerapkan ekonomi hijau, maka total lapangan kerja bidang kehutanan pada 2030 akan mencukupi untuk 247.945 orang. Sementara, penerapan bisnis secara biasa hanya akan menghasilkan total lapangan kerja bidang kehutanan untuk 193.774 orang.

Mengacu pada penjelasan di atas, muncul pertanyaan yang bersifat menggugat. Apakah kebijakan alih fungsi Hutan Produksi Bowosie seluas 400 hektar untuk membangun destinasi pariwisata buatan tidak bertentangan dengan konsep Ekonomi Hijau itu? Apakah kita masih yakin bahwa hutan Bowosie tetap berkontribusi bagi perekonomian, menyediakan kebutuhan pangan, energi dan bahan bangunan ketika Hutan itu sudah dibabat baik untuk kepentingan pariwisata maupun untuk Persemaian Bibit Tanaman? Bukankan kita sedang menabrak dan melanggar prinsip-prinsip Ekonomi Hijau yang diwacanakan oleh pemerintah itu?

*Penulis adalah warga Labuan Bajo.

Artikel Terkait