Opini

Tukang Kritik `Tidak Boleh Mati`

Oleh : indonews - Rabu, 08/09/2021 14:06 WIB

Pemerhati masalah sosial dan politik, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Kritisisme mulai terancam ketika regulasi yang cenderung `membatasi isi dan metode kritik` diberlakukan. Mereka yang terkenal sangat `vokal dan militan` dalam mengkritisi pemerintah mulai gusar dan resah, sebab sudah ada `perangkap` yang akan memperkarakan substansi kritik dengan dalih `pencemaran nama baik`.

Berlakunya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) membuat `dunia kritik` sedikit murung. Pasalnya, para tukang kritik tidak bisa dengan `sesuka hati` melemparkan bola kritik kepada pemerintah. Kritik yang cenderung vulgar, sarkastis, dan yang mengarah ke fitnahan, tidak bisa bergerak dengan leluasa lagi.

Kondisi restriktif semacam ini, memunculkan pesimisme berkurangnya pasokan kritik yang menukik dalam domain publik. Bukan tidak mungkin, fenomen `matinya tukang kritik` akan benar-benar terjadi.

Padahal, salah satu keunggulan sistem demokrasi, hemat saya adalah tersedianya ruang berdialektika dalam mendesain dan mengeksekusi kebijakan yang bersentuhan dengan dimensi bonum commune. Ranah dialektika semacam itu, tampaknya sulit ditemukan dalam sistem politik yang lain.

Roda pemerintahan demokratis akan berjalan sehat, jika dan hanya jika mendapat pasokan `nutrisi kritik rasional` dari publik secara reguler. Ketika publik alpa dalam menyuplai `kritik progresif`, maka demokrasi bakal kerdil. Karena itu, catatan kritis publik terhadap setiap fragmen dan episode pengambilan kebijakan publik, menjadi conditio sine qua non hadirnya rezim politik yang tangguh dan energik.

Seno Gumira Ajidarma dalam epilog buku `Matinya Tukang Kritik (2006)` karya Agus Noor mengatakan dunia bertambah sempurna karena kontribusi sikap kritis. Kritik itu mutlak perlu demi kemajuan zaman dan kebaikan bersama. Ketika tukang kritik `tersungkur`, maka peradaban pun berjalan mundur.

Kritik adalah prasyarat demokrasi. Jika pemerintah alergi terhadap kritik publik, sebetulnya mereka sedang `membunuh roh dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi menggaransi semua elemen masyarakat untuk menyampaikan kritik.

Dalam negara demokrasi, kritik difasilitasi dengan aturan sebagai semacam `perisai atau pelindung` bagi para tukang kritik. Kebebasan untuk mengekspresikan kritik, selain sebagai `hak politik`, juga sebagai indikasi besarnya perhatian publik terhadap pelaksanaan pelbagai proyek kesejahteraan publik.

Manggarai Barat, sampai detik ini, boleh berbangga. Pasalnya, stok `tukang kritik` di daerah ini tak pernah menipis. Kontribusi `para tukang kritik` terlampau besar untuk dilupakan begitu saja. Kiprah dan debut mereka turut mewarnai arah gerak sejarah perkembangan demokrasi di level lokal.

Saya kira, rezim yang berkuasa di Mabar sangat beruntung sebab derajat partisipasi publik dalam memengaruhi arah gerak kekuasaan begitu tinggi. Jika kita `mengintip` ruang diskursus publik dalam aneka platform media sosial, kita akan menemukan panorama dialektika yang mengesankan.

Hampir tidak ada kebijakan pemerintah daerah (Pemda Mabar) dan juga pemerintah pusat (Pempus) yang luput dari perhatian para tukang kritik. Mereka sangat antusias dan bergairah dalam merespons kebijakan itu, baik yang masih dalam tataran wacana, maupun yang sudah masuk ke tahap eksekusi.

Dalam pengamatan saya, UU ITE rupanya tidak berdampak pada menyusutnya spirit publik dalam memberikan catatan kritis kepada pemerintah. Saya justru melihat perkembangan yang signifikan bagaimana tradisi kritik itu bertumbuh subur dalam ruang demokrasi di Mabar.

Ada yang berpendapat bahwa kritik itu harus ada solusinya. Para tukang kritik jangan hanya berhenti pada tahap `mengungkapkan pandangan kritis`, tetapi mesti memberikan pikiran alternatif terhadap obyek yang dipersoalkan. Opini semacam itu tidak sepenuhnya salah.

Hemat saya, dengan menyingkap `duduk perkara sebuah isu` dan memperlihatkan sisi ketidakberesan sebuah isu, sebetulnya seorang kritikus sudah menawarkan solusi secara tersirat. Tanpa dinyatakan secara eksplisit, para pengambil kebijakan atau siapa pun yang menjadi sasaran sebuah kritik, akan terbantu untuk merumuskan solusi alternatif. Tugas pengambil kebijakan semakin mudah sebab status persoalannya sudah tersingkap.

Pada sisi yang lain, kita sering mendengar perihal `penggunaan sopan-santun, tata krama` dalam menyampaikan kritik. Seorang kritikus mesti pandai `membungkus` kritiknya dalam busana linguistik yang estetis dan elegan.

Tetapi, sebetulnya kritik itu tidak berkorelasi dengan unsur sopan santun semacam itu. Kritik selalu berhubungan dan menuntut responsibilitas atau kepekaan dari pihak yang dikritik. Ketika publik menyampaikan kritik, maka ada `sesuatu` yang perlu ditanggapi dan disikapi secara arif.

Dengan itu, idealisme mewujudkan perbaikan `tata kelola` kehidupan bersama bisa termanifestasi. Praksis demokrasi bakal `pincang` jika para tukang kritik mati atau lebih tepat `dimatikan`. Ketika pemerintah pura-pura tuli terhadap kritik publik, maka cepat atau lambat mereka akan terperosok pada kubangan otoritarianisme yang `dijijiki` keberadaannya dalam orbit sejarah politik di dunia ini.

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.

Artikel Terkait