Opini

Tanggung Jawab Terhadap "Wajah yang Bersujud"

Oleh : indonews - Jum'at, 01/10/2021 15:37 WIB

Seorang ibu datang memohon keadilan di depan perwakilan anggota DPRD Manggarai Barat.(Foto:Ist)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Foto seorang ibu yang ‘bersujud’ memohon keadilan di depan ‘kaki’ perwakilan anggota DPRD Manggarai Barat (Mabar) begitu mengharukan. Peristiwa ‘bersimpuhnya sang ibu’ di depan teras gedung DPRD itu menjadi salah satu dari serangkaian adegan ‘demonstrasi damai’ pihak keluarga (istri dan anak) 21 tersangka ‘kasus Golo Mori, pada Rabu (29/9/2021).

Dalam foto itu, beberapa perwakilan anggota DPRD dan Polisi Pamong Praja (Pol PP) tampak berdiri dengan gestur yang bervariasi. Ada yang kedua tangannya dilipat pada area perut bagian depan, ada yang bermain Smart Phone, ada yang melipat kedua tangannya di bagian punggung, dan ada juga yang meletakkan tangannya di samping kiri-kanan paha. Umumnya, sorotan mata mereka ‘terarah ke ibu yang sedang bersujud’ kecuali seorang di antara mereka yang sedang bermain Hand Phone (HP).

Tak satu pun dari antara mereka yang berusaha ‘menghampiri, memeluk, mengusap air mata dan meminta sang ibu untuk ‘tidak boleh’ merebahkan diri di hadapan dewan terhormat itu. Mereka hanya ‘menatap’ dan mungkin berharap agar ‘adegan itu’ segera berakhir. Perjumpaan itu, setidaknya dari pemandangan dalam foto, terlihat ‘asimetris’. Ada ‘jarak’ antara sang ibu dengan ‘para wakil rakyat’ itu. Boleh jadi, tindakan jaga jarak semacam itu sebagai bentuk ketaatan terhadap protokol kesehatan saat ini.

Memang, sejatinya tidak ada ‘keharusan’ bagi para wakil rakyat itu untuk memperlihatkan semacam ‘sense of humanity’ pada sang ibu. Apalagi, latar suasananya adalah gerakan demonstrasi. Pihak yang didatangi para demonstran tentu mengikuti prosedur baku dalam merespons sebuah aksi ‘unjuk rasa’. Karena itu, ketika ‘yang mewakili DPRD Mabar’ berdiri anggun di depan teras seraya menyaksikan dan mendengar ‘gemuruh rintihan para demonstran’, tentu sah-sah saja. Mereka sudah ‘bersedia’ menyambut dan menyimak dengan serius pesan yang sampaikan para demonstran yang mungkin saja diwakili oleh ibu yang bersembah sujud itu.

Kendati demikian, saya berpikir, masih ada opsi sikap alternatif lain ketika kita berhadapan dengan wajah orang kecil seperti ibu yang sedang bersujud di dalam foto itu. Tulisan ini coba menyingkap kemungkinan perwujudan ‘sikap alternatif’ itu. Konsep ‘filsafat wajah’ dari Emanuel Levinas dikredit seadanya sebagai ‘alat bantu’ dalam menemukan duduk perkara yang sebenarnya.

Baca juga : Krisis Ekologi

Ibu dalam foto itu dilihat sebagai ‘kehadiran’ wajah yang sama sekali lain dari diri kita, termasuk perwakilan DPRD Mabar. Dalam terang pemikiran Levinas, berhadapan dengan wajah yang lain, apalagi wajah orang kecil, semestinya menuntut kita untuk bertanggung jawab penuh atas hidupnya. Hal etis pertama yang kita lakukan ketika ‘bersua’ dengan wajah itu adalah ‘bertanggung jawab’ atas seluruh diri dan keluh kesah hidupnya. Kita tidak punya waktu untuk memikirkan maksud kedatangannya dan berspekulasi soal strategi untuk menghadapinya.

Karena itu, ketika ‘sang wajah’ bersujud di depan kaki kita, maka seharusnya kita merasa ‘tersandera’ untuk segera menemui dan memeluknya. Kita tinggalkan sejenak intensi dan motivasinya dalam melakukan adegan sembah sujud itu. Ada semacam ‘imperasi moral primer’ bahwa sang wajah harus dihargai dan diberi tempat terhormat. Sang wajah itu adalah ‘tuan’ yang mesti dilayani dengan penuh kesungguhan.

Bahkan menurut Levinas, wajah itu bukan sekadar organ fisik semata. Ia melampaui segala kategori ontologis. Wajah inilah yang menjadi penanda kehadiran “Yang-Lain”, yang menggugatku, untuk keluar dari subjektivitasku, untuk menyapanya, dan berjumpa dengannya secara etis.

Wajah seorang ibu dalam momen demonstrasi misalnya, tidak bisa hanya dibaca secara lurus. Wajah itu adalah representasi dari “Wajah Yang Sama Sekali Lain”. Dalam perspektif demokrasi liberal, ibu yang bersujud itu adalah rakyat yang berdaulat dan telah memberimu mandat untuk menjadi ‘abdi publik’. Ungkapan vox populi, vox Dei (Suara rakyat adalah suara Tuhan), menemukan aktualitasnya dalam momen kehadiran wajah pada foto itu. Penampakan (epifani) Wajah Yang Sama Sekali Lain termanifestasi secara purna dalam wajah ibu yang bersujud itu.

Untuk itu, rasanya agak mengherankan (seturut kerangka filsafat Levinas), ketika kita ‘apatis’ terhadap kehadiran wajah itu. Membiarkan seorang ibu ‘bersujud atau bersimpuh’ seraya meratap di depan kaki kita, bisa dipatok sebagai ekspresi penegasian ‘etika purba’, soal tanggung jawab terhadap keselamatan Sang Wajah.

Sekadar untuk diketahui bahwa wajah yang telanjang dan tak berdaya merupakan salah satu peristiwa ‘epifani Wajah”. Momen epifani Wajah yang terdapat dalam relasinya dengan Yang-Lain yang mengundang penyapaan (interpelasi), sejenis relasi etis yang tidak bisa dihindarkan oleh ego saat bertatapan dengan Wajah Yang-Lain. Dibahasakan secara sederhana bahwa ‘wajah yang tak berdaya’ itu selalu bertaut erat dengan “Wajah Yang Sama Sekali Lain”.

Selain itu momen penampakan Wajah terjadi ketika “Wajah itu menuntut aku untuk mengambil sikap. Wajah yang tak berbicara sekali pun sebenarnya ‘ia sedang meminta sesuatu kepada kita’ apalagi jika sang wajah itu mengatakan sesuatu kepada kita. Semestinya, ketika wajah berbicara, kita ‘merasa terganggu’ dan serentak mengambil sikap etis untuk menerimanya secara total. “Wajah menatapku dan memanggilku. Ia menuntut padaku. Apa yang ia minta? Jangan tinggalkan ia sendirian”, tegas Levinas.

Tanggung jawab terhadap wajah, pada sisi yang lain, bisa dipatok sebagai cara berada (mode of being) kita sebagai manusia. Eksistensi kemanusiaan kita ditakar dari derajat tanggung jawab yang kita perlihatkan kepada wajah itu. Jika dalam filsafat rasionalisme, Descartes berpekik ‘Cogito Ergo Sum’, maka dalam filsafat wajah, Levinas berguman: “Respondeo Ergo Sum” (Aku bertanggung jawab, maka aku ada).

Lalu, apakah perwakilan DPRD Mabar yang ‘berdiri gagah’ di hadapan wajah yang tersungkur dan relatif tidak ‘bermesrahan’ dengannya, bisa dipandang sebagai ‘ketidakhadiran eksistensial’? Tidak ada yang tahu. Kehadiran politik anggota DPRD itu tidak bisa hanya direduksi pada momen ‘penerimaan wajah yang lemah’ itu.

Meski demikian, kita berharap agar sisi ‘kepekaan politik’ para wakil rakyat terus dipupuk dan ditingkatkan. Publik yang ‘datang ke gedung Dewan’, tentu dilatari oleh harapan bahwa para wakil itu ‘sanggup’ menggemakan perjuangan dan aspirasi mereka kepada para penguasa dan penegak hukum.

Responsitas ‘para wakil’ itu sebetulnya tidak hanya dilihat dari ‘seberapa ngotot’ mereka menyuarakan kepentingan publik, tetapi juga dari tingkat penerimaan dan kehangatan mereka dalam setiap momen perjumpaan politik dengan publik, termasuk dalam momen demonstrasi damai. Peristiwa ibu yang tersungkur di kaki DPRD, kalau dapat, tidak lagi dianggap sebagai hal yang lumrah.

Jika kita mengamini bahwa rakyat adalah ‘tuan atau raja’ dalam sistem demokrasi, maka mengapa kita tega membiarkan sang raja tersungkur di hadapan kaki para abdinya? Sekali lagi, terlepas apakah tuntutan mereka benar atau salah, apakah suami-suami mereka melakukan kesalahan atau tidak, perlakuan kita terhadap ibu yang bersujud itu, tetap dalam koridor ‘tanggung jawab total’ terhadap kehadiran wajah manusia yang telanjang dan tak berdaya.

*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Artikel Terkait