Opini

DPRD Mabar, Berbicaralah!

Oleh : Mancik - Sabtu, 13/11/2021 15:31 WIB

Warga Labuan Bajo, Manggarai Barat, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Kata parlemen secara etimologis berasal dari bahasa Perancis, parle yang berarti `tukang omong`. Mereka yang duduk di ruang parlemen adalah pribadi-pribadi yang memiliki kecakapan wicara yang mumpuni.

Sejatinya, mereka dipilih oleh publik untuk menjadi penyambung dan pengeras suara masyarakat. Tugas utama seorang anggota parlemen (DPRD) adalah membicarakan isu-isu krusial yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Itu berarti ruang parlemen merupakan lokus reproduksi diskursus yang bersifat transformatif. Intensi dan motivasi utamanya adalah perbaikan level kualitas kesejahteraan publik. Isu yang mereka perbincangkan mesti berdampak pada proses pelaksanaan kebijakan dari pihak eksekutif yang pro pada kebaikan publik.

Para wakil publik mesti bertindak sebagai `juru bicara masyarakat` dalam menyalurkan berbagai aspirasi dan harapan politik kepada pemerintah.

Jadi, seorang anggota DPRD tidak boleh `asal omong dan bicara asal-asalan` ketika berada dalam ruang parlemen. Bukan interes ekonomi-politik personal dan parsial yang `disuarakan`, tetapi kehendak politik dari konstituennya sendiri.

Namun, dalam praksisnya kebanyakan anggota dewan kerap memanipulasi dan memperalat kepentingan publik untuk mengakumulasi ambisi dan interes pribadi.

Sangat disayangkan jika mayoritas anggota DPRD bermain di zona nyaman dengan hanya memproduksi pernyataan yang bersifat standar dan normatif. Sabda politik yang `membahana` di ruang parlemen lebih banyak hanya berupa pemberian dukungan dan dorongan kepada pemerintah daerah (Pemda) semata.

Kita belum mendapatkan pasokan informasi di mana anggota DPRD Manggarai Barat (Mabar) membentangkan analisis kritis dan memberikan solusi alternatif terhadap aneka kasus politik yang sedang hangat diperbincangkan dalam ruang publik.

Anggota DPRD yang `sering bersuara` di ruang publik selama ini, bisa dihitung dengan jari. Mereka adalah `vokalis` yang tampil konsisten menyuplai pemikiran kritis dan bernas kepada para pengambil kebijakan. Sensitivitas politik mereka terhadap persoalan aktual yang bergulir di tengah masyarakat, diartikulasikan secara heroik dan progresif.

Tetapi, sebenarnya anggota DPRD Mabar itu, bukan yang itu-itu saja. Di manakah anggota DPRD yang lain untuk membicarakan atau merespons pelbagai isu aktual yang menimbulkan polemik dan kontroversi dalam pentas politik lokal? Apakah mereka lebih nyaman tampil sebagai `pendukung pemerintah` dengan menyetujui setiap kebijakan yang ditelurkan oleh pihak eksekutif?

Saya berharap, penilaian saya ini keliru. Boleh jadi, mayoritas anggota parlemen lokal itu tampil begitu vokal dan agresif di ruang sidang formal. Para awak pers, mungkin kurang mengakomodasi penampilan mereka dalam ruang pemberitaan yang proporsional. Akibatnya adalah perdebatan yang alot dan suasana rapat yang sangat dinamis, tak tersambung ke ruang publik.

Jika kenyataan semacam itu yang terjadi, maka sudah sepatutnya kita terus memompa energi politik para legislator untuk tak kendor dalam `menggedor` ruang kekuasaan agar kreatif dan konsisten mengkreasi kebijakan yang pro pada sisi kemaslahatan publik.

Dalam sistem demokrasi representatif, rakyat adalah pemilik sah kedaulatan. Namun, operasionalisasi kekuasaan itu dimandatkan kepada para wakil dalam tiga domain politik, eksekutif, yudikatif, dan legislatif (trias politica).

Idealnya, `para wakil` itu mempertanggungjawabkan secara reguler progres kerja kekuasaan itu kepada sang tuannya (publik). Namun, faktanya publik tak selalu mendapat apa yang "menjadi hak dasar mereka`.

Karena itu, publik mesti proaktif untuk mengawal dan menelusuri `rekam kinerja` dari para wakil tersebut. Dasarnya adalah mereka dipilih untuk melayani dan menyejahterakan publik par excellence.

Saya kira, kita tidak perlu menunggu "data resmi" baik dari instansi pemerintah, maupun lembaga swasta dalam mengevaluasi kinerja para legislator lokal kita. Indikator kita sederhana saja "perbaikan mutu wajah pembangunan politik" di Kabupaten ini.

Tentu, pertama nian, kita tetap mengapresisi "segelintir legislator" yang sangat getol dan komit dalam menjalankan tiga fungsinya (legislasi, anggaran, dan pengawasan). Namun, kerja keras tersebut belum tampak optimal hasilnya bagi perbaikan tingkat kesejahteraan publik.

Saya belum mendengar atau membaca "cerita" tentang aneka prestasi politis dari anggota parlemen lokal kita. Kinerja para wakil ini, dalam catatan saya biasa-biasa saja untuk tidak dikatakan "sekadar menjalankan tugas".

Mungkin ada dewan yang mengklaim bahwa jalan atau jembatan (proyek) di desa A merupakan "buah dari perjuangannya" selama menjadi anggota DPR. Klaim seperti itu, biasanya hanya bergemuruh sesaat pada musim kontestasi politik yang terasa hambar. Itu hanya "retorika politik" untuk mengelabui kesadaran publik (konstituen).

*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Artikel Terkait