Opini

Dukungan Pemerintah Terhadap Partai Politik

Oleh : indonews - Rabu, 13/10/2021 18:47 WIB

Warga Labuan Bajo, Manggarai Barat, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Untuk memaknai momen peringatan `hari jadi` Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang ke-7, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), menggelar sebuah `Diskusi Publik` di Sekretariat Perindo Mabar, Labuan Bajo pada Selasa, (12/10/2021). Acara itu menghadirkan pembicara dari KPUD Mabar dan Perwakilan dari Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Mabar.

Tema utama dalam perbincangan politik itu adalah "Peran Partai Politik dalam Pembangunan". Pemateri dari Kesbangpol coba membedah isu terkait dukungan pemerintah terhadap partai politik (Parpol). Ditengarai bahwa pemberian dukungan politik semacam itu, bisa memperkuat kapasitas parpol dalam menjalankan perannya secara optimal.

Materi yang dipresentasikan oleh `utusan Kesbangpol Mabar` itu lebih banyak menyoroti isu dukungan finansial yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada sejumlah Parpol di Mabar. Sebagai moderator diskusi, saya coba menantang beliau apakah `wujud dukungan itu` hanya diekspresikan dalam bentuk pemberian uang tunai semata? Apakah negara (baca: Pemerintah) hanya bertindak sebagai semacam `donatur` bagi parpol?

Jika pemerintah hanya berfokus pada `aksi donasi finansial` semata, maka sebetulnya apa beda antara pemerintah dengan lembaga donor baik yang ada dalam negeri maupun yang berkiprah di dunia internasional.
Benar bahwa uang merupakan salah satu elemen krusial dalam menghidupkan parpol, tetapi tidak dengan itu tugas pemerintah `direduksi` hanya sebatas lembaga pemberi donor semata.

Saya kira, peran pemerintah mesti melampaui tugas pendistribusian uang itu. Pemerintah mesti `terlibat aktif` dalam memperkuat kapasitas parpol dalam menjalankan fungsi-fungsi elementernya seperti fungsi sosialisasi, pendidikan, artikulasi, agregasi, jembatan (perantara), dan kaderisasi (rekrutmen) politik.

Kehadiran dan eksistensi partai politik (Parpol) dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, adalah sebuah keniscayaan. Kedaulatan publik bisa `terartikulasi` dengan efektif, melalui pengoptimalan fungsi parpol. Rasanya, roh demokrasi sedikit kurang berdaya jika `partai politik` mati suri atau tak berperan maksimal.

Menyadari besarnya peran dan pengaruh parpol dalam `menghidupkan kultur demokrasi`, pemerintah melalui perangkat regulasinya memberikan dukungan penuh agar parpol bisa berkiprah secara produktif dan progresif dalam domain politik.

Dukungan pemerintah itu, salah satunya terepresentasi dalam bentuk pemberian skema `bantuan uang pembinaan` kepada setiap parpol yang memperoleh kursi dalam kontestasi pemilihan legislatif.

Setiap parpol yang mendapat `kursi` di parlemen `berhak` mendapat uang tunai berdasarkan jumlah perolehan suara sah dalam pemilihan legislatif (pileg). Disinyalir bahwa nominal bantuan itu berbeda untuk setiap parpol sebab patokannya adalah perolehan suara sah. Untuk saat ini, satu suara sah dihargai sebesar 10 ribu rupiah.

Uang itu, dalam nomen klatur resminya, dipakai untuk memfasilitasi pelaksanaan fungsi pendidikan politik dan untuk membiayai kegiatan operasional partai. Hanya saja dalam tahap implementasinya, tidak selalu lancar seperti yang dibayangkan.

Kendala utamanya adalah selain berbelit-belitnya urusan birokrasi pemerintahan, juga faktor tersendatnya pengiriman dan pemutakhiran data soal banyaknya suara sah dari parpol dan persoalan politik yang amat komplikatif dalam tubuh parpol.

Persoalan semakin runyam ketika kita berbicara soal kapasitas fiskal masing-masing daerah di masa pandemi covid-19. Boleh jadi, hingga detik ini, pemerintah daerah (Pemda) belum sanggup untuk `membayar lunas` uang bantuan tersebut sebab kas daerah agak defisit. Rasanya sangat logis atau realistis jika daerah kesulitan untuk menyalurkan uang itu kepada semua parpol peraih kursi sesuai dengan ketentuan regulasi yang berlaku.

Terlepas dari masih adanya kendala dalam pencairan dana itu, satu yang pasti bahwa ternyata ada relasi yang bersifat simbiosis mutualis antara pemerintah dan parpol selama ini. Pemerintah `butuh parpol` dalam menjangkau dan meneruskan misi pendidikan politik kepada warga.

Dalam arti tertentu, sebenarnya parpol `sedang membantu pemerintah` agar tugas dan kerja politiknya bisa berjalan efektif dan tepat sasaran di tengah masyarakat.

Pada sisi yang lain, parpol butuh pemerintah agar `ideologi politiknya` bisa diterjemahkan secara kreatif dalam ruang publik. Parpol mendapat legitimasi politik untuk coba berpartisipasi dalam mewujudkan kebaikan bersama melalui optimalisasi fungsi dan peran politik yang melekat dalam tubuhnya.

Untuk menjalankan peran tersebut, parpol `butuh bahan bakar politik` yang sebagiannya diinjeksi dari negara. Logikanya kira-kira demikian. Parpol telah tampil sebagai `penolong pemerintah`. Karena itu, pemerintah memang semestinya menghargai dan mendukung `niat baik` parpol dalam meringankan tugas politik yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Tetapi, apakah skema bantuan semacam itu, bisa `melemahkan sisi kritis` parpol sebagai lembaga yang relatif independen dari negara? Bukankah melalui pemberian bantuan itu, tingkat ketergantungan parpol pada kebaikan negara semakin tinggi?

Muncul dugaan bahwa parpol sulit bersikap kritis kepada pemerintah sebab merasa `berutang budi` pada negara. Dengan kata lain, parpol terjebak dalam persoalan dilematis antara menjalankan idealisme politik dan ikut bersekutu dengan pemerintah sebab pemerintah telah `berjasa` dalam membesarkan parpol.

Ketika asap dapur rumah tangga parpol sebagiannya disuplai dari kas negara, masih mungkinkah sebuah kritisisisme dan militansi dimanifestasikan dengan baik? Kita berharap dukungan finansial yang diberikan pemerintah itu, tidak melumpuhkan peran kritis parpol.

Publik tentu menginginkan parpol yang benar-benar menjalankan peran dan fungsinya sebagai `artikulator, fasilitator, jembatan aspirasi publik, wahana pendidikan, dan wahana kaderisasi pemimpin politik yang berkualitas yang tidak `tunduk` pada kepentingan politik parsial dari penguasa politik.

Namun, dalam pelaksanaannya, parpol relatif gagal menjabarkan peran politiknya di tengah masyarakat. Kita tidak menemukan dan merasakan `kontribusi parpol` dalam memperbaiki kondisi kebaikan bersama di tengah masyarakat. Peran yang dimainkan parpol selama ini masih bersifat temporal atau musiman.

Parpol hadir dan dan ada untuk sekadar `menghiasi panggung politik` pada setiap musim kontestasi politik. Aktivitas parpol baru terasa ketika hajatan politik semakin mendekat. Pasca hajatan, praktisnya kegiatan parpol, khususnya yang berkaitan dengan relasi politiknya dengan publik konstituen, `lumpuh total`.

*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.*

Artikel Terkait