Opini

Pluralitas Bahasa dan Nasionalisme

Oleh : Mancik - Rabu, 27/10/2021 16:15 WIB

Warga Manggarai Barat, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Ketika `Bahasa Indonesia` dideklarasikan sebagai `bahasa persatuan` dalam peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, maka muncul anggapan bahwa `kadar kecintaan akan bangsa (nasionalisme)`, diukur juga melalui kesediaan dan kemampuan untuk memakai bahasa itu dengan baik dan benar. Pemakaian bahasa itu dalam dunia pendidikan dan pergaulan antara daerah, selalu dihubungkan dengan rasa cinta terhadap tanah air Indonesia ini.

Padahal, dalam kenyataannya Indonesia dikonstruksi di atas basis pluralitas budaya, termasuk bahasa. Indonesia adalah negara yang `multilingual`. Hasil riset para ahli bahasa menunjukkan bahwa ada 746 bahasa suku (daerah, lokal) yang tersebar di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Tidak berlebihan jika Indonesia menjadi salah satu `laboratorium` bahasa terbesar di dunia.

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) saja, ada 69 bahasa daerah. Dari jumlah itu, Kabupaten Alor menempati urutan satu dalam hal jumlah bahasa etnis. Bayangkan dalam sebuah pulau kecil seperti Alor, jumlah bahasa daerahnya menembus angka 42. Dengan kenyataan ini, NTT menempati peringkat keempat dalam hal jumlah bahasa daerah secara nasional di bawah provinsi Papua, Papua Barat, dan Maluku.

Kendati demikian, catatan miris berikut patut kita refleksikan secara serius. Dari total 746 bahasa lokal itu, disinyalir 163 di antaranya sedang dalam ancaman kepunahan. Sebuah bahasa dikategorikan `terancam punah` ketika jumlah penuturnya kurang dari 1000. Dengan kata lain, sebuah bahasa (suku) bertahan dari ancaman kepunahan jika memiliki jumlah penutur, paling kurang 1000 penutur. Bisa dipastikan bahwa 163 bahasa yang `terancam punah` itu, memiliki jumlah penutur kurang dari 1000 penutur.

Pertanyaannya adalah apakah factum `kepunahan beberapa bahasa suku` itu disebabkan oleh tendensi penggunaan Bahasa Indonesia yang dominan dan hegemonik saat ini? Pertanyaan ini tentu membutuhkan `riset lapangan dan pustaka` yang valid untuk mendapatkan jawaban yang kredibel. Tetapi, sebagai sebuah `hipotesis`, rasanya sah-sah saja jika fenomen marginalisasi bahasa daerah selalu dikaitkan dengan usaha `penyeragaman bahasa` melalui penggunaan bahasa Indonesia yang kian masif di ruang publik.

Globalisasi atau internasionalisasi Bahasa Inggris saat ini, membuat Bahasa suku `semakin terdepak`. Tidak sedikit generasi milenial di negeri ini lebih `terobsesi` menguasai atau menggunakan Bahasa Inggris ketimbang bahasa etnis. Fenomena globalisasi dalam aneka bidang kehidupan ternyata ikut berkontribusi dalam peningkatan laju kepunahan bahasa daerah.

Kelihatannya, bahasa daerah kurang `seksi` dan kalah pamor dari Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Penguasaan akan bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris dilihat sebagai salah satu kapital dan garansi dalam berkompetisi di dunia kerja. Menguasai bahasa Inggris menjadi semacam `tiket` untuk mendapatkan apa yang kita impikan di dunia ini. Bahasa asing lebih menjanjikan ketimbang bahasa lokal.

Membaca realitas `keterpinggiran` bahasa suku di atas, pertanyaan kita adalah apa arti nasionalisme dalam berbahasa? Apakah nasionalisme bahasa itu identik dengan `penyeragaman` bahasa, dalam arti kita hanya menggunakan bahasa Indonesia? Di mana letak dan fungsi bahasa daerah dalam pembicaraan seputar isu nasionalisme itu? Apakah dimensi kekhasan atau identitas masing-masing daerah `harus dilenyapkan`, demi menjaga dan merawat rasa nasionalisme itu?

Bulan Oktober bagi bangsa Indonesia telah dibaptis sebagai `Bulan Bahasa`. Sulit untuk tidak menghubungkan `penetapan itu` dengan peristiwa historis Sumpah Pemuda di mana Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai `bahasa Persatuan`. Dengan demikian, kebijakan menetapkan bulan Oktober sebagai `Bulan Bahasa`, tentu saja bertaut erat dengan kegigihan dan keseriusan bangsa ini dalam `membumikan` Bahasa Indonesia. Lalu, apakah dengan itu, kita boleh mengabaikan dan bahkan `menyingkirkan` kamus bahasa daerah dalam membangun isu nasionalisme itu?

Jika kita mengamini bahwa dalam dan melalui bahasa suku, sistem dan nilau dari suatu komunitas etnis, diwariskan dari generasi ke generasi, maka `hilangnya bahasa daerah`, berarti `putusnya proses transmisi nilai kultural yang vital bagi keberlanjutan eksistensi komunitas suku itu. Dengan perkataan lain, ketika bahasa daerah itu lenyap, maka identitas budayanya pun hilang. Peristiwa kehilangan unsur kebudayaan ini, tentu sebuah `malapetaka sejarah` yang perlu diratapi.

Nasionalisme ke-Indonesia-an itu tidak bersifat tunggal. Rasa cinta pada Indonesia tidak bisa direduksi hanya pada soal kemauan untuk menggunakan dan menguasai Bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa suku juga dilihat sebagai entitas penopang nasionalisme itu. Kita tetap yakin bahwa bahasa daerah merupakan `penjaga kultur dan penanda identitas` ke-Indonesia-an kita.

Saya kira, kedudukan bahasa daerah yang strategis itu sudah dinyatakan secara eksplisit dalam konstitusi negara kita. UUD 1955 (hasil amendemen keempat), dinyatakan secara lugas bahwa "Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional".

Sayangnya, dalam tataran implementasi, kita belum melihat penerapan program politik kebahasaan yang berorientasi pada perlindungan dan pemeliharaan bahasa suku itu. Buktinya, pemerintah `tak berdaya` dalam menghadapi arus kepunahan beberapa bahasa etnis seperti yang dipaparkan pada bagian terdahulu tulisan ini.

Kalau bahasa daerah dianggap sebagai identitas dan kekayaan budaya nasional, maka kasus `punahnya bahasa daerah`, berarti semakin terkikisnya dimensi kekayaan budaya dan identitas bangsa itu. Karena itu, nasionalisme tidak hanya tercermin dalam Bahasa Indonesia, tetapi juga pada semua bahasa etnis yang tersebar di republik ini. Mengabaikan bahasa etnis bisa berarti `berkurangnya` kadar kecintaan kita pada bangsa Indonesia. Kita mencintai Indonesia dengan menghargai dan merawat identitas budaya dan bahasa yang ada di negara ini.

Kendati demikian, tentu saya tidak sedang menganjurkan semacam `pluralisme ekstrem` dalam berbahasa. Bagaimana pun juga, jika sisi keberagaman ini dirayakan secara antusias, tanpa ditopang dengan `bahasa pemersatu`, maka isu disintegrasi, tinggal menunggu waktu. intinya, bahasa Indonesia itu penting, tetapi tidak dengan itu, kita `meremehkan atau menelantarkan` keberadaan bahasa etnis.

*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Artikel Terkait