Opini

Kebutuhan vs Keinginan

Oleh : luska - Kamis, 25/11/2021 07:09 WIB

By : Noryamin Aini (Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

Saya beruntung (2007 dan 2009) menjadi anggota the Indonesian Delegates for Indonesian-Norwegian Dialog on Human Rights, di Oslo, yang dikelola oleh Kementerian Luar Negeri Norwegia. Di sela-sela waktu sibuk kegiatan dialog bilateral tersebut, 2009, Prof Tore Lindholm, mitra kerjasama, mengajakku keliling kota Olso. Tore adalah seorang filusuf yang di ujung pengabdiannya bekerja di Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo. Dia mengasyikkan saat diajak ngobrol. Tore selalu nyambung dan antusias kalau diajak membahas hal-hal yang ringan. Dia sosok gaul dan menyenangkan.

Sepanjang tour kota Oslo, tema obrolan kami liar, asal ingat, tentu disela ha ha hi hi. Tema obrolan berkisar gaya nyupir, traffic lights, sampai teknis pembayaran tol. Obrolan terkadang bergeser ke tema sosial, dan gaya hidup. Ada satu hal yang menarik kuriositasku, yaitu mobil yang dia kendarai. Tore setia menggunakan Daihatsu Taruna jadul. Tipe serial produknya standar; alias kelas bawah untuk ukuran orang Indonesia. Mungkin ada yang berkomentar bahwa Tore sejatinya punya mobil lain yang terparkir di rumah. Untungnya, saat itu, Tore mengajakku mampir ke rumahnya.

Tore sungguh bersahaja. Dengan kesederhanaannya, dia pernah memenuhi undangan makan malamku untuk menikmati menu sederhana di rumah. Wajahnya sumringah saat menyantap hidangan kami. Bahkan saat dijemput dengan mobil Kijang tua tahun 1980an, Tore tetap menampilkan profil hakikinya, yang sangat bersahaja.

Kebiasaan dan kepribadiaannya selalu ceria. Sikap dan perilakunya yang apa adanya ini tidak berubah saat kami tour kota Oslo. Dia tetap Tore seperti yang saya kenal di Jakarta. Saat saya tanya Daihatsu Tarunanya “Kok mobilmu ngak seperti mobil orang Indonesia; mewah yang identik dengan jabatan dan kelas sosial?” Tore berujar singkat. “Kebutuhanku cukup dengan mobil seperti itu. Untuk apa saya harus beli tipe mobil yang tidak dibutuhkan”. 

Jawaban Tore seperti mengiris dalam urat nadi marwah gaya hidup ala bangsaku. Banyak orang Indoneisa yang penghasilannya pas-pasan, tetapi, gaya hidupnya selangit. Pinjam sana sini untuk memanjakan keinginan dan gaya hidup, demi memuaskan hedonic treadmill. Akhir bulan, sisa gaji yang dibawa pulang untuk keluarga tersunat dalam. 

Sahabat! Tore bukan orang miskin. Istrinya seorang psikologi. Tarif jasa konsultasinya per jam dihargai US$ 90-100, bahkan bisa lebih. Saya mengerti (setelah diberitahu) bahwa gaji Tore sebagai profesor mampu memanjakannya membeli mobil dengan merek dan seri yang lebih baik. Bahkan dia sejatinya mampu membeli beberapa mobil mewah untuk dikoleksi. “Tetapi, untuk apa dengan mobil-mobil itu? padahal dengan mobil Taruna, saya bisa bergerak leluasa dari satu sudut kota, ke pojok kota lainnya.” sambung Tore.

Celotehan Tore menyadarkanku tentang basis psiko-etis dan moral kebutuhan dan keinginan. Jawaban spontanitas Tore ini juga membawaku merenungi nasihat Gus Baha yang tenar (KH Ahmad Bahauddin Nursalim) dari Rembang. Gus Baha adalah seorang kiyai yang berilmu agama mumpuni, terutama ilmu tafsir, hadits dan fiqh. Sungguh luar biasa! Namun, gaya penampilannya sangat bersahaja. Dia kemana-mana merasa nyaman hanya memakai sarung dan baju kemeja putih, terkadang terlihat lusuh, tanpa embel-embel atribut aksesoris yang terkesan mewah. Tetapi gus Baha tetap dielu-elukan dan dihormati oleh pengagumnya. 

Gaya dan profil gus Baha yang tidak neko-neko membuatku, juga pengagumnya, menyukai setiap materi kajiannya. Ada satu nasihat gus Baha yang melekat dalam pikiran dan qalbuku. “Sebetulnya, hidup ini sederhana. Kita sejatinya tidak membutuhkan macam-macam”. 

Begitu nasihat sederhana Gus Baha. Dalam bahasa orang awam, “kita hanya butuh makan 2-3 kali dalam sehari, dan tidak harus dengan menu yang mahal untuk menjalani kehidupan”. Kata temanku, Prof Amsal Bakhtiar, “kita sebetulnya hanya membutuhkan beberapa potong pakaian, alas kaki, dan alat kebutuhan lainnya”. Cuma kegagalan memahami perbedaan kebutuhan dan keinginan, membuat hidup seseorang menjadi menyedihkan. 

Sahabat!
Khayalan, utopia, kekhawatiran, dan mimpi melangit, mudah membuat semuanya susah. Ia menjadi sumber kegelisahan. Melambung tinggi dalam imaji keinginan, saat terjatuh, rasanya sungguh sakit. Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari, sufi yang wafat 709 H, berwasiat “Coba sedikitlah, kurangi suatu hal yang diperlukan, kamu pasti tidak mudah sedih”, karena kamu tidak memiliki alasan untuk sedih. Di kesempatan lain, beliau mengingatkan:

لِيِقِلَّ مَا تَفْرَحُ بِهِ يَقِلَّ مَا تَحْزَنُ عَلَيْهِ
“Saat jumlah kebutuhan yang membuatmu bahagia ternyata berkurang, maka akan berkurang pula kuantitas hal-hal yang membuatmu sedih”. Kala jumlah sedikit ternyata cukup, lalu kenapa jumlah banyak, bahkan berlebih, terus diburu, sampai kita menjadi budak gaya hidup dan keinginan, sampai-sampai kita tidak dapat menikmati indah dan bahagianya hidup.

Sahabat! 
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kebahagiaan seseorang ditentukan oleh sedikit atau banyaknya citra obsesif seseorang pada isi dunia yang dimanjakan dengan gaya hidup dan keinginan. Petuah ini menjadi semakin menyentuh dalam kerangka narasi syair berikut
ومن سره أن لايرى ما يسوؤه * فلا يتخذ شيئا يخاف له فقدا
فإن صلاح المرء يرجع كله * فسادا إذا الإنسان جاز به الحدا
“Siapa bahagia jika dia tidak melihat sesuatu yang membuatnya susah, maka janganlah dia mengambil benda-benda itu (apalagi dalam jumlah berlebih), jika dia khawatir kehilangan. Karena sesungguhnya seluruh kepantasan (kelaziman kebutuhan) seseorang akan rusak jika dia telah melampaui batas”.

Sahabat! Eskalasi keinginan sering menyeret kita melampaui batas kebutuhan. Karenanya, lambungan melangit hasrat keinginan sangat potensial menjadi akar kegelisahan hidup kita. Alhasil, hiduplah normal dan sederhana, serta kejarlah sesuatu sebatas kebutuhan, maka sesederhana itu proses kebahagiaan dapat kita rengkuh dalam keabadian. 

Selamat bahagia
Pamulang, 25 November 2021

Artikel Terkait