Opini

8 Pengibar BK Belum Bisa Dikenakan Pasal Makar

Oleh : indonews - Sabtu, 04/12/2021 18:15 WIB

Aktivis kemanusiaan, Marthen Goo.(Foto:Dok.Pribadi)

Oleh : Marthen Goo

Jakarta, INDONEWS.ID - Publik dihebohkan dengan adanya pengibaran Bintang Kejora (BK), di GOR, APO, Jayapura, tepatnya tidak jauh dari kantor Polda Papua, 1 Desember 2021. Dalam Vidio yang viral, ke-8 orang tersebut setelah menaikan BK, mereka juga berjalan aksi di depan Kantor Polda Papua. Langka mereka santai dan menunjukan intelektual dalam melakukan aksi secara bermartabat, demokratik dan bertanggungjawab.

Jika melihat secara baik, ke-8 orang tersebut menunjukan beberapa hal yakni (1) menaikan BK pun dengan santai; (2) berjalan dengan santai tanpa panik; (3) bahkan jika dilihat ada tulisan yang ditulis "Self Determination For West Papua" atau penentuan nasib sendiri bagi Papua Barat. Tindakan terhadap penghormatan pada demokrasi terlihat dalam aksi tersebut.

Tentu bisa digaris bawahi ada dua hal dalam tindakan tersebut yaitu: (1) aksi damai; dan (2) tuntutan penentuan nasib sendiri.

Belum Ada Delik Makar

Penulis pernah menulis artikel soal makar yang dirilis di FNN yakni, Menurut Ahli Pidana, M. Toufik, “delik makar itu deliknya adalah delik materil. Deskripsinya jelas (1) harus ada kekuatan bersenjata; (2) merong-rong pemerintahan dalam bentuk pemerintahan tidak berjalan; (3) menyerang keamanan presiden dan wakil presiden. Yang bisa lakukan makar kalau bukan polisi ya tentara karena mereka yang mempunyai senjata. Kalau kritik, tidak ada pasal yang bisa dipakai untuk menyebut orang itu makar”. (FNN : Selasa 17 Agustus 2021)

Sehingga, subjek hukum yang dapat atau berpotensi melakukan perbuatan makar adalah subjek hukum yang memiliki kekuatan bersenjata. Sementara, ke-8 orang tersebut tidak melakukan unsur-unsur dalam makar seperti yang diartiken pengertian makar secara benar dan tepat. Terhadap makar yang hendak dikenakan tersebut, sesungguhnya tidak tepat dan tidak mendasar.

Makar harus dilihat dalam unsur melawan negara dengan kekerasan atau senjata. Sementara, 8 orang tidak melakukan tindakan kekerasan, tidak melakukan perbuatan melawan negara. Mereka hanya menyampaikan ekspresi mereka secara damai dan demokratis. Bahkan jika referensinya adalah tahun 2000 dimana Gus Dur membuka demokrasi dengan memberikan kebebasan untuk mengibarkan BK, apalagi itu dimaknai sebagai asas demokrasi.

Demokrasi Berbeda Dengan Makar

Jika dilihat, dua hal, baik cara menaikan bendera maupun tuntutan, memberikan gambaran bahwa:
(1) menaikan bendera secara damai sebagai bagian dari demokrasi;
(2) menuntut referendum sebagai bagian dari demokrasi.

Jika merujuk pada negara demokrasi, maka, menyampaikan pendapat dimuka umum secara damai dan bermartabat adalah hal yang normal dan wajar. Tindakan pada dua hal tersebut mencerminkan terpenuhinya proses demokrasi. Jika terpenuhi syarat demokrasi, tentu dengan sendirinya makar gugur.

Merujuk pada poin (2) ke-8 orang tersebut menuntut penentuan nasib sendiri. Sehingga, jika penentuan nasib sendiri terjadi sebagai penghormatan pada demokrasi, maka, pilihannya tentu juga dua, apakah Indonesia atapun Papua dengan simbol seperti yang dinaikan secara damai tersebut. Yakni memilih apakah BK atau Merah Putih (MP). Itu dalam penentuan nasib sendiri merupakan pilihan yang logis dan terukur.

Bicara penentuan nasib sendiri juga tidak terlepas dalam Pepera 1969, dimana ada masalah hukum yang pernah terjadi karena tidak terpenuhinya aspek legalitas baik secara formil maupun materil saat itu. dimana ada dua hal yakni tidak ada pemilihan saat itu, dan di bawah represif dan pelanggaran HAM.

Jadi, kosekuensi logisnya jika dibedah secara hukum, harus dilakukan Pepera ulang agar terpenuhinya kepastian hukum tersebut. Terhadap hal ini, semua pihak harus rasional dan melihat dalam koridor hukum secara baik dan benar. Sehingga, kalau ada kenaikan BK seperti itu, artinya itu juga bisa dilihat sebagai kritikan atas Pepera 1969 yang secara hukum masih bermasalah.

Polisi Harus Profesional Terhadap Kasus Pengibaran BK

Jika dilihat secara cermat dan seksama, sesungguhnya kasus terhadap pengibaran BK tidak dapat dikenakan pasal makar. Karenanya diharapkan Polisi sebagai penegak hukum, terlepas dari fungsi penyelidik dan penyidik, harus lebih profesional melihat dan membedah pengertian makar dan unsur-unsur makar.

Menaikan BK di beberapa daerah di Tanah Papua sesungguhnya menunjukan bahwa ada masalah yang harus diselesaikan secara bermartabat. Jika LIPI menyebut satu masalahnya adalah masalah sejarah, tentu dari aspek hukum ada masalah hukum dalam Pepera 1969 yang harus diselesaikan juga. Hukum selalu bicara kepastiannya sehingga kepolisian bisa meminta Presiden untuk gelar Dialog Jakarta Papua untuk selesaikan masalah di Papua secara menyeluruh dan bermartabat.

*Penulis adalah: Aktivis Kemanusiaan dan Peminat Hukum.

Artikel Terkait