Nasional

Pentingnya Akhlak Mulia sebagai Fondasi Umat dalam Bernegara

Oleh : very - Selasa, 07/12/2021 18:52 WIB

Wakil Direktur Eksekutif Internasional Conference of Islamic Scholar (ICIS), KH. Khariri Makmun. (Foto: Ist)

 

Bogor, INDONEWS.ID -- Titik temu semua agama berpangkal pada akhlak mulia. Akhlak bukan sekadar retorika, tetapi menyangkut mentalitas dan perilaku. Aktualisasinya dalam bentuk hak dan kewajiban serta bagaimana seseorang dapat menerapkan iman yang dimilikinya dengan mengaplikasikan seluruh ajaran agama dalam setiap tingkah laku sehari-hari. 

Namun dalam konteks berbangsa dan bernegara, akhlak mulia terwujud dalam norma, moral dan ketaatan hukum dalam komitmen menjaga bangsa sebagai tempat nyaman dan aman bagi seluruh warga negara.

Wakil Direktur Eksekutif Internasional Conference of Islamic Scholar (ICIS), KH. Khariri Makmun, Lc, Dpl., MA mengatakan bahwa akhlak mulia merupakan puncak pencapaian beragama seorang individu. Dalam konteks bernegara dan berbangsa, Khariri berpendapat betapa pentingnya akhlak umat sebagai fondasi dari berbagai tantangan yang mengancam keberlangsungan bangsa.

“Kita perlu menyadari betul betapa pentingnya fondasi akhlak bagi umat, apalagi kalau dikaitkan dalam keseharian, berkeluarga, dan bernegara. Karena kalau fondasi akhlak ini sudah kuat, maka negara ini akan stabil,” ujar KH. Khariri Makmun di Bogor, Selasa (7/12/2021).

Ia menyebut, terdapat korelasi yang kuat antara akhlak dengan perkembangan peradaban manusia yang nantinya dapat membawa bangsa ini maju dan bersaing di pentas dunia. Dimana negara yang stabil akan meningkatkan kualitas ekonomi masyarakat, yang mana akan membawa kepada kesejahteraan.

“Dari kesejahteraan itu membawa kepada kemajuan. Nah kemajuan itu akan membawa pada keunggulan umat, yang membawa pada keunggulan teknologi. Dan nanti ujungnya Indonesia sudah mampu berkompetisi dengan negara maju lainnya,” tutur Khariri seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Lebih lanjut, Khariri menjelaskan bahwa akhlak adalah goal dalam beragama, yang menjadi ukuran dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik dalam konteks toleransi beragama, bernegara, membangun peradaban, perdamaian dunia, dan memperlakukan lingkungan kita dengan baik, sehingga tidak justru menyebabkan kerusakan.

“Individu kalau jauh dari akhlak, dampak yang terjadi adalah kerusakan-kerusakan, penyimpangan, ketidaktertiban. Apalagi di era kemajuan teknologi informasi saat ini penting sekali bagi seorang individu untuk dapat memanajemen akhlaknya,” ujar pria yang juga Wakil Sekretaris Komisi Dakwah Pengurus Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.

Menurutnya, manajamen akhlak menjadi kunci penting dalam menjaga bangsa, terlebih saat ini Indonesia menghadapi fenomena dimana masyarakat sulit untuk membedakan antara konten ‘sampah’ dan mana yang bisa dikonsumsi.

Khariri menilai, masyarakat cenderung mudah terperangkap pada perselisihan yang tidak pokok, yang kerap kali mempertanyakan tentang perbedaan di negara yang multicultural ini.

“Persoalannya kan, kenapa kita masih terperangkap pada perselisihan antar umat? Kita masih banyak disibukkan persoalan yang tidak pokok. Nah, ini karena kita tidak pintar untuk memilih prioritas mana yang bisa diangkat sebagai isu global yang bisa mendorong kemajuan umat. Padahal Islam itu memiliki nilai luhur yang luar biasa,” jelasnya.

 

Kontradiktif

Pria yang juga pengasuh Pondok Pesantren Algebra, Ciawi ini melanjutkan bahwa hebatnya nilai ajaran Islam harusnya juga otomatis membawa umat Islam menjadi umat yang hebat. Namun, menurut pandangan Khariri, hal ini justru kontradiktif dengan kondisi umat saat ini yang cenderung belum sampai pada akhlak mulia yang diajarkan agama Islam.

”Kalau ditelaah, nilai Islam ini harusnya menyelamatkan umat Islam dari kejahatan mulut dan tangan, dan ini benar-benar terjadi saat ini, kita kerap menyakiti seseorang di media social dengan mulut dan jari-jari kita. Sehingga saya tekankan sekali lagi pentingnya pentingnya fondasi akhlak bagi umat,” ujarnya.

Terkait lunturnya nilai-nilai serta akhlak umat, Khariri menilai hal ini tidak lepas dari pendalaman agama yang belum merata, sehingga masing-masing umat atau bahkan kelompok memiliki cara untuk mengekspresikan cara beragama yang berbeda pula. Padahal menurutnya, umat hendaklah menjadi umat yang ’wasathan’ atau moderat.

”Pendalaman keagamaan kita masih belum merata, jadi cara untuk mengekspresikan beragama dari masing kelompok dan orang itu berbeda, ada yang sudah pada tahap pemahaman bahwa beragama haruslah moderat. Di al-quran sendiri juga dijelaskan bahwa sikap umat islam haruslah sikap ‘tengah’,” jelasnya.

Khariri menjelaskan, sikap beragama di ’tengah’ ini mampu menghindarkan umat dari sifat tassajud (beragama yang keras atau tekstual), lalu berlanjut menjadi athoruf atau radikal hingga hilirnya menjadi jatuh kedalam terorisme. Ia menyaksikan, kondisi yang terjadi saat ini adalah munculnya kelompok yang mencoba menggeser pemahaman yang harusnya moderat menjadi tassajud, yang mana kerap memicu konflik.

”Yang perlu diperkuat adalah kelompok moderat dengan mengerahkan seluruh komponennya. Sehingga moderat ini bisa menjadi kelompok yang besar. Kuncinya adalah keunggulan umat ini terjadi kalau kita punya ‘frame’ yang sama yaitu islam moderat yang washatiyah,” ucapnya.

Khariri menilai, kelompok moderat memiliki peran yang besar dalam membangun akhlak mulia melalui ulama-ulamanya. Namun, Khariri juga menyoroti peran pemerintah melalui kewenangannya dalam membuat peraturan yang bisa menjamin kenyamanan rakyatnya dalam beragama yang nanti memunculkan ekspresi akhlak individu dalam bernegara, yang snagat penting agar rakyat tetap menjaga pilar-pilar negara menjadi sikap, etika, moral akhlak yang dilandasi oleh nilai nilai pendalaman agama yang benar.

”Melalui peraturan yang dibuat pemerintah, tentu harus mampu membuat rakyat nyaman beragama untuk memiliki akhlak yang baik. Kita bukan negara Islam, cara bernegara ini kita ini sudah on the track, yang mengdepankan substansi, tidak perlu formalitas yang menjadikan segala sesuatu berlabel islam,” ungkapnya.

Terakhir, Khariri mengutip konsep negara dari Ghozali yang mengatakan bahwa agama adalah fondasi, yang mana menurutnya didalam agama terdapat moral, sehingga perlu untuk negara menjaga agama yang merupakan pondasi bangsa.

”Negara harus menjaga agama. Yang mana, agama merupakan menjadi pondasi negara,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait