Nasional

Djohermansyah Djohan: Selamat Datang Pemerintahan Bentukan Kaum Milenial

Oleh : very - Senin, 27/12/2021 13:44 WIB

Pakar Otonomi Daerah, Prof Djohermansyah Djohan. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID --  Para pemimpin yang memegang pucuk pimpinan di Indonesia sebagai Presiden, datang silih berganti. Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), muncullah Presiden Joko Widodo. Keduanya masing-masing memerintah selama 10 tahun.

Pada 2024 Indonesia kembali melakukan pergantian kekuasaan. Pertanyannya, bagaimana dengan sosok pemimin Indonesia berikutnya? Apakah politisi milenial atau yang didukung oleh kaum milenial memiliki kesempatan menjadi Presiden?

Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN, Djohermansyah Djohan, mengatakan walau tidak gampang namun perubahan pemerintahan itu suatu keniscayaan. Sekuasa apapun sang pemimpin dan sedigjaya apapun partai, ada waktunya mereka selesai.

“Orang Minang bilang, ‘sekali air gadang, sekali tepian beralih’. Tidak ada yang abadi dalam kehidupan ini, termasuk di dunia pemerintahan,” ujarnya dalam tulisan bertajuk “Pemerintahan Bentukan Kaum Millenial”, Minggu (26/12).

Mantan Dirjen Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda) ini mengatakan, dalam sistem pemerintahan demokrasi, penentunya adalah rakyat yang berdaulat. Bukan penguasaan rezim atas aneka sumber daya, alat-alat kekuasaan, dan uang. Bahkan, tidak juga aturan main yang menguntungkan maupun para pelaksana pemilihan yang pro status-quo.

Sekarang, tinggal rakyat berdaulat macam apa yang akan membuat mimpi perubahan pemerintahan menjadi kenyataan.

Mengutip teori klasik tentang demokrasi, katanya, pemilih berdaulat terjadi jika mereka berpendidikan memadai setingkat paling kurang SLTA dan berpendapatan relatif sedang sekitar paling minim 6.000 US Dollar perorang.

“Jelas persyaratan itu masih jauh untuk kita dipenuhi (pemilih di Indonesia, red). Rata-rata tingkat pendidikan manusia Indonesia kelas II SLTP dan income-nya masih belum mencapai 4.000 US Dollar. Atau dengan kata lain kaum kelas menengah yang bisa mendobrak perubahan pemerintahan belum terbentuk,” ujarnya.

Dengan demikian, pertanyaannya, apakah masih ada jalan bagi munculnya kedaulatan rakyat di Indonesia?

Dia mengatakan, dari fenomena pemerintahan yang terjadi dewasa ini, seperti terlihat dari kasus Chile, para pemilih kaum milenial di Indonesia dengan mayoritas pemilih yaitu mencapai sekitar 100 juta, bisa menjadi faktor determinant.

“Keluguan, kewarasan, kejernihan perilaku, tidak terikat pada ideologi tertentu, relatif zero kepentingan, dan paling penting mereka tidak doyan politik uang akan mendorong mereka menjadi pemilih rasional,” katanya.

Karena itu, politisi gaek yang berkubang di lumpur politik, miskin prestasi, bermoral rendah, dan penuh kosmetik politik, tidak menarik bagi kaum milenial tersebut.

Djohermansyah mengatakan, jangan kaget bila pilihan mereka jatuh pada politisi lapangan/praktisi pemerintahan milenial atau mereka yang memiliki "millenial style", bermoral tinggi, anti-korupsi, pro-rakyat bawah, kaya inovasi, cakap bekerja, dan suka berkolaborasi.

Lebih dari itu, ada kerja nyata yang kasat mata, baik dalam pembangunan fisik maupun non-fisik, dan terbukti diapresiasi rakyat.

“Selamat datang perubahan pemerintahan yang dihela oleh pemilih milenial. Mereka hanya perlu membangun suatu gerakan yang untungnya sangat dimudahkan berkat kehadiran teknologi digital melalui media sosial,” pungkasnya.***

Artikel Terkait