Opini

Tax Amnesty Jilid Dua Pada UU HPP

Oleh : luska - Selasa, 18/01/2022 08:10 WIB

Oleh : Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA., BKP
Akuntan Publik, Praktisi Pajak, Advokat Senior Partner TIMES Law Firm

Pengantar
    Sejak tahun 1984 Indonesia memasuki babak baru dalam sistem perpajakan dengan diberlakukannya sistem Self Assessment untuk Pajak Penghasilan. Perubahan sistem yang dianut merupakan suatu perubahan prilaku dalam kehidupan bernegara, dimana menuntut kesadaran, kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban kenegaraan berupa kewajiban pajak. Kepatuhan masyarakat merupakan faktor kesuksesan dalam pemungutan pajak sebagai sumber penerimaan negara yang utama. Jika kepatuhan masyarakat rendah dapat dipastikan penerimaan negara akan terganggu yang berakibat terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga fungsi pelayanan publik juga akan terpengaruh .

Mengingat sangat strategisnya peran pajak dalam pembangunan nasional, pemerintah telah melakukan beragam kebijakan perpajakan yang pada hakikinya untuk mendorong kepatuhan Wajib Pajak disatu sisi dan dilain sisi pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu perekonomian, baik aktivitas produksi, perdagangan maupun konsumsi masyarakat disetiap lini, terlebih lagi sektor UMKM dalam masa pandemi covid 19. Undang-undang pajak dan peraturan turunannya khusus UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) harus dapat dipastikan kondusif dengan aktivitas ekonomi masyarakat seperti yang diutarakan oleh Jean Baptiste Colbert (1619-1683), “the art of taxation is the art of plucking the goose so as to get the largest possible amount of feathers with the least possible squealing” yang maksudnya seni menghimpun pajak seperti seni mencabut bulu angsa sebanyak-banyaknya dengan teriakan angsa sekecil-kecilnya. Peran pajak dalam pembiayaan pembangunan untuk mengejar ketertinggalan kita dibandingkan negara-negara tetangga amatlah penting, data statistik memperlihatkan ketertinggalan fiskal kita ditataran negara negara ASEAN yang sangat menyedihkan.

Dalam beberapa dekade tax ratio Indonesia mengalami stagnasi berkisar pada 11-12% yang relatif rendah dibandingkan negara lain di ASEAN (sekitar 16% keatas). Begitu pula dari sisi tax effort 0,47, dibawah Singapore, Malaysia, Thailand dan Vietnam yang rata-rata diatas 0,80. Rendahnya berbagai indikator pajak kita perlu perenungan mendalam dalam rangka pembenahan menuju kebaikan, yang salah satu ditempuh dengan paket perundang-undangan, yang terakhir dikeluarkannya Undang-undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang memuat tax amnesty dengan judul Progam Pengungkapan Sukarela (PPS).

Tax Amnesty
Relatif rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak disatu sisi sedangkan dilain sisi pemerintah membutuhkan dana yang  amat besar terlebih lagi dimasa pandemi covid 19, maka salah satu solusi jangka pendek yang ditempuh dengan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Dengan adanya pengampunan pajak bagi Wajib Pajak yang merasa tidak patuh diharapkan dimasa datang menjadi Wajib Pajak patuh. Kebijakan ini juga dilakukan oleh berbagai negara antara lain India, Irlandia, Afrika Selatan, Italia, Jerman, Belgia, Spanyol, Australia.

Namun demikian secara akademik kebijakan tax amnesty juga mengandung pro dan kontra seperti yang terungkap dalam studi Summers (1987) yang menyimpulkan justru tax amnesty mempunyai sisi negatif yang merugikan upaya peningkatan penerimaan pajak. Dari perpekstif Wajib Pajak yang patuh selama ini merasa perlakuan yang tidak adil karena Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran pajak ternyata mendapatkan pengampunan berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang dikenal dengan tax amnesty jilid satu dan Undang-undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bab 5 Progam Pengungkapan Sukarela yang dikenal dengan tax amnesty jilid dua. Secara teoritis kebijakan tax amnesty ditempuh pemerintah suatu negara jika terdapat 3 hal yang terukur yakni shortfall penerimaan pajak, rendahnya kepatuhan pajak dan maraknya tax evasion. Setelah kebijakan tax amnesty dilakukan logikanya tentu penerimaan negara akan meningkat secara lestari begitu pula kepatuhan pajak meningkat dan tax evasion semakin berkurang dimasa mendatang. Beberapa pendapat pro tax amnesty antara lain :
A. Tax amnesty akan meningkatkan penerimaan negara dengan relatif cepat
B. Mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri dengan adanya repatriasi modal
C. Membawa kembali Wajib Pajak yang selama ini menghindar pajak kepada kejujuran pajak
D. Mengurangi cost of collection dari para tax evader
E. Menghilangkan rasa bersalah para tax evader 
Sedangkan pendapat kontra antara lain :
a. Menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak yang selama ini jujur dalam memenuhi kewajiban pajaknya 
b. Merupakan tindakan yang terlalu lunak yang diberikan negara bagi para tax evader
c. Membuat Wajib Pajak cenderung tidak patuh, bahwa menjadi tax evader toh nanti akan diampuni lagi
d. Memberikan stigma yag buruk terhadap pemerintah karena gagal melakukan penegakan hukum pada Wajib Pajak yang selama ini dengan sengaja tidak patuh
e. Untuk meningkatkan kepatuhan tidak perlu dengan tax amnesty apalagi berulang-ulang 
Pro kontra dalam masyarakat merupakan hal yang biasa, yang penting pemerintah tetap memperhatikan masukan dari masyarakat untuk terus berbenah demi kebaikan kedepan. Bagaimana agar kebijakan tax amnesty sukses ? Paling tidak terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dengan serius oleh pemerintah, antara lain :
a. Progam tax amnesty harus menarik bagi masyarakat, praktis dan sederhana
b. Harus diikuti dengan progam tindak lanjut secara jelas dan terukur
c. Harus dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat hasil tax amnesty tersebut 

Sebagian masyarakat berpendapat mengapa tax amnesty jilid dua dikeluarkan lagi ? Pertanyaan demikian wajar saja jika amnesty dimaknai memberi ampunan semata. Jika kita berfikir hukum tidak demikian. Hukum pajak khususnya sebagai bagian dari tataran hidup bersama dalam suatu negara terus mencari berbagai solusi bagi kepentingan bersama yang lebih luas, terlebih lagi negara sedang menghadapi pandemi covid 19 yang telah berlangsung kurang lebih dua tahun dan tidak pasti kapan akan berakhirnya. Jika pun berakhir tetap memerlukan waktu yang relatif lama untuk pemulihan kehidupan sosial, ekonomi yang semuanya memerlukan dana yang amat besar.

Pada titik ini penulis sependapat dengan teori Von Jhering (1818-1892) yang berbasis ide manfaat yang diusahakan lewat hukum (Undang-undang) karena hukum memerlukan pernyataan ragam kepentingan untuk tujuan yang sama yakni kemanfaatan (utilatarionisme) yang berkeadilan dan berkepastian (Wirawan B. Ilyas, Investor Daily, 4 Juni 2021). Menurut penulis keberlakukan tax amnesty jilid dua sepanjang norma maupun sasarannya dirumuskan dengan baik akan mewujudkan pada keadilan sosial untuk kepentingan bersama yang lebih luas. Untuk itu pemerintah juga telah merumuskan dalam undang-undang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan perpajakan yakni UU No. 9 Tahun 2017. 
Pengungkapan sukarela memiliki arti adanya kemauan Wajib Pajak mengungkapkan secara sukarela atas harta yang dimilikinya yaitu harta yang belum ditemukan/diungkapkan otoritas pajak (Ditjen Pajak) sebagaimana di atur dalam Pasal 5 ayat (1) UU HPP harta dimaksud adalah harta bersih setelah dikurangi dengan utang. Misalnya harta yang diperoleh nilainya Rp 1,000,000,000 dengan kredit yang saldo utang masih tersisa Rp 200,000,000 maka harta bersih Rp 800,000,000 dikalikan dengan tarif tax amnesty yang relevan. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lebih lanjut dalam bentuk kebijakan yang terdiri dari :
Kebijakan satu :
a. Pesertanya Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan peserta tax amnesty (TA) jilid satu 
b. Basis pengungkapannya berupa harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan saat mengikuti TA terdahulu
Tarif terdiri dari kategori :
- 11% untuk harta deklarasi luar negeri
- 8% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri
- 6% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi sumber daya alam/renewable energy
Kebijakan dua :
a. Pesertanya Wajib Pajak Orang Pribadi
b. Basisnya pengungkapan berupa harta perolehan tahun 2016 sampai dengan tahun 2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020
c. Tarif terdiri dari :
- 18% untuk harta deklarasi luar negeri
- 14% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri
- 12% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi sumber daya alam/renewable energy 
Mengingat masa pelaksanaannya hanya 6 bulan yaitu 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022 maka Wajib Pajak yang merasa belum melaporkan semua harta yang dimaksud dimasa lalu dapat mendiskusikan dengan petugas pajak di Kantor Pelayanan Pajak setempat. 

Mengikuti tax amnesty secara hukum memang bukan kewajiban, makanya disebutkan kata sukarela. Namun demikian jika memang ada harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan selama ini, progam pengungkapan sukarela merupakan sarana yang tepat untuk dilakukan. Menurut hemat penulis, jika suatu saat nanti kita memberikan hibah atau warisan pada ahli waris memudahkan bagi penerima hibah dan atau warisan tersebut secara perpajakan. Manfaat lainnya ikut berperan serta dalam proses pembangunan bangsa dan negara tercinta ini.

Simpulan
Progam pengungkapan sukarela pajak yang diatur dalam UU HPP kiranya dapat memberikan manfaat baik bagi Wajib Pajak maupu negara, khususnya dalam situasi pandemi covid 19. Mengingat waktu yang sangat terbatas pihak DJP perlu melakukan sosialisasi yang lebih masif agar pemahaman masyarakat utuh, komprehensif. Pelaksanaannya harus mudah, efisien, dan praktis. Bagi Wajib Pajak merupakan kesempatan yang baik jika seandainya masih ada harta yang belum dilaporkan pada SPT Tahunan dimasa lalu dan sekaligus berperan serta aktif dalam membantu pembiyaan pembangunan nasional negara yang kita cintai bersama.#

Curriculum Vitae Singkat
Dr. Wirawan B Ilyas, Ak, SH, M.Si, M.H. CPA, BKP    
Lulusan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jurusan Akuntansi,. Melanjutkan S2 Administrasi Pajak Pascasarjana Universitas Indonesia,. Disamping itu memiliki ijazah S1 Hukum, juga memiliki ijazah S2 Hukum Bisnis yang diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. Selanjutnya, memperoleh gelar Doktor Akuntansi dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Selain sebagai praktisi di bidang perpajakan, hukum dan akuntansi juga sebagai Dosen Hukum Pajak, Perpajakan, Akuntansi, Auditing pada progam studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Dosen Tamu pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Aktif menulis buku-buku bidang Perpajakan, Hukum Pajak dan Hukum Bisnis.
 

Artikel Terkait