Opini

Pembelajaran Hukum dari Kelangkaan Minyak Goreng

Oleh : luska - Jum'at, 29/04/2022 09:01 WIB

Oleh : Dr. Wirawan B. Ilyas, Ak, SH, MH, MSi, CPA., BKP. (Akuntan Publik, Konsultan Pajak, Advokat, Senior Partner TIMES LAW FIRM)

Pengantar   

Mencermati kelangkaan minyak goreng (migor) di pasar dalam negeri yang dimulai sejak akhir tahun 2021 hingga saat ini, patutlah kiranya menjadi pembelajaran pemerintah untuk menata ulang secara komprehensif terkait komoditas migor, mulai dari hulu hingga hilir sampai ke masyarakat konsumen. Hal ini amat penting mengingat peran strategis migor dalam kehidupan masyarakat termasuk industri kuliner kelas atas hingga pedagang gorengan di pasar tradisional bahkan jalanan. Diperlukan pemikiran yang mendalam, karena minyak goreng disamping komoditas yang dibutuhkan didalam negeri juga sebagai komoditas global yang erat kaitannya dengan tata perdagangan dunia yang diatur oleh World Trade Organization (WTO).

Pada kesempatan ini penulis membatasi secara umum aspek hukum terkait dengan struktur pasar dengan harapan dapat sebagai masukan bagi pemerintah dalam upaya penataan ulang, sehingga permasalahan migor dan juga komoditas kebutuhan pokok dimasa datang tidak terulang lagi. Pembahasan hanya dari sisi teoritis, tidak menyentuh substansi kasus yang tengah berjalan di Kejaksaan Agung.

Hukum dan Bisnis 

Seiring dengan kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990 an, peluang usaha yang tercipta pada tiga dasawarsa sebelumnya, dalam  kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan dalam berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Disisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat. Situasi dan kondisi tersebut menuntut bangsa Indonesia mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia. Hal ini bertujuan agar dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial (Wirawan B. Ilyas & Arus Akbar Silondae, 2011).

Dinamika lingkungan dan bisnis yang diuraikan diatas, untuk itu pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah mengeluarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli) yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Asas ini pada hakekatnya menekankan aspek keseimbangan suatu hal yang sangat mulia. Adapun tujuan UU Antimonopoli :
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha

Dengan demikian Undang-undang ini tegas melarang beberapa perjanjian yang merugikan masyarakat antara lain, oligopoli dan kartel.

Pengertian oligopoli berdasarkan UU Antimonopoli pasal 4 ayat 1 dan 2 adalah sebagai berikut :

- Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain secara bersama-sama dalam melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
- Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang/jasa, sebagaimana dimaksud huruf a, apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Perjanjian Kartel (Cartel)
 Larangan perjanjian kartel diatur dalam pasal 11 UU Antimonopoli yang menyatakan bahwa :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”
Perjanjian kartel merupakan salah satu perjanjian yang kerap kali terjadi dalam praktik monopoli. Secara sederhana, kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan di antara keduanya. Dengan kata lain, kartel (cartel) adalah kerja sama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan, serta harga untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu (Nugroho dalam Rohan, 2010 : 105).

Idealisme Hukum
Mencermati bisnis nyata yang terjadi akhir-akhir ini yang menurut amatan penulis juga terjadi pada sektor usaha lainnya tak lain karena tidak optimalnya penegakan hukum terkait dengan larangan yang diatur dalam UU Antimonopoli. Jadi tepatlah norma hukum pasal 11 UU Antimonopoli tegas melarang perilaku kartel. Penulis teringat kuliah yang disampaikan almarhum Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo pada tahun 1981 di FEUI dalam mata kuliah Perekonomian Indonesia yang menyatakan bahwa praktek monopoli, oligopoli dan perjanjian kartel membuat ekonomi tidak sehat dan tidak efisien yang sangat merugikan masyarakat, untuk itu negara harus hadir demi keselamatan rakyat, salus populi supreme lex esto, yang maknanya keselamatam rakyat merupakan hukum tertinggi.

Simpulan 
 Menyadari pentingnya komoditas minyak goreng dan  komoditas kebutuhan pokok lainnya bagi masyarakat, maka diperlukan kebijakan yang komprehensif dimasa kini dan masa datang. Kordinasi dan sinkronisasi antar Kementerian dan Lembaga terkait sangat dibutuhkan begitu pula lembaga penegak hukum dapat bekerja optimal termasuk peningkatan efektifitas peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Harapannya kejadian yang menyangkut komoditas minyak goreng dan komoditas kebutuhan pokok lainnya tidak terulang lagi dimasa datang melalui langkah berfikir hukum sebagai sarana kebijakan yang mesti dijalankan pada rasa wajib dan sanksi hukum. 

Dunia bisnis harus tetap berjalan tetapi tetap dalam rambu-rambu hukum yang telah disepakati (UU) dan rasa keadilan masyarakat. Kepentingan hukum yang ideal dalam konteks negara sejalan dengan ajaran Jhering (1818-1892) yang menekankan bahwa hukum merupakan tataran hidup bersama yang dianggap sesuai dengan kepentingan nasional.#Semoga#
    

Curriculum Vitae 
Dr. Wirawan B Ilyas, Ak, SH, M.Si, M.H. CPA., BKP    

Berprofesi antara lain :
- Managing Partner Kantor Akuntan Publik Drs. Wirawan & Rekan
- Direktur PT Wirawan Ilyas Consult (Tax & Management Consultant)
- Senior Partner TIMES Law Firm
- Dosen Pada Progam Pasca Sarjana di berbagai Universitas
- Penulis Tetap Pada Koran Bisnis Investor Daily

Artikel Terkait