Opini

Jalan Rekonsiliasi Dualisme GMNI

Oleh : indonews - Rabu, 23/02/2022 12:34 WIB

Choky Ratulela.(Foto:Ist)

Oleh: Choky Ratulela

INDONEWS.ID - Perseteruan dualisme di tubuh Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) telah menjadi perbincangan hangat di kalangan kader-kader Marhaen bahkan Cipayung-Plus di Seluruh Indonesia.

Organisasi yang akan merayakan hari kelahirannya pada 23 Maret mendatang ini tenga dilanda perpecahan yang berlandaskan `egoistic akut. Pilihan dualisme adalah jalan yang ditempuh oleh `pembesar-pembesar GmnI tanpa mempertimbangkan kondisi nyata di tingkatan Daerah, Kabupaten dan Kampus. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia atau GMNI telah mengalami perubahan yang signifikan atas cita Marhaenisme yang sesungguhnya.

Hampir dua tahun lamanya sejak Kongres Maritim di Kota Ambon itu telah melahirkan dua Dewan Pimpinan Pusat yang `Premature akan persatuan. Bagaimana tidak, rumah perjuangan yang seharusnya dipakai untuk mengimplementasikan Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi itu kini digunakan untuk saling "perang" kepentingan guna mengamankan posisi masing-masing.

Setiap gerbong baik Bung Immanuel dan Bung Arjuna, sama-sama jual beli Klaim atas keabsahan DPP masing-masing. Gerbong Arjuna dengan SK Kemenkumham-nya berteriak lantang "kamilah yang sah! ", gerbong Imanuel berdiri tegak menapaki Wisma Trisakti pun berteriak "kamilah yang sah!" sementara, ratusan cabang dan puluhan DPD defenitif maupun carateker harus menanggung imbas atas konflik ini.

Dampak yang paling dilema dirasakan tingkatan Cabang adalah dihadapkannya pilihan untuk mengikuti salah satu Dewan Pimpinan Pusat (DPP - read). Jelas pilihan setiap cabang berbeda. Hal ini menimbulkan adanya kerenggangan hubungan keakraban setiap kader sampai pada aktivitas di dalam kampus.

Padahal, kalau kita selami asas perjuangan dan pemikiran kaum marhaenis, sangat tidak dibenarkan adanya perpecahan. karena semua metodologi GmnI adalah Marhaenisme. Dimana, persatuan adalah awal kader GmnI melahap proses pembelajaran melalui Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB).

Pertanyaan yang paling dalam adalah apakah kaum nasionalis mencintai perpecahan? Ini adalah kalimat yang sangat kontradiktif antara satu kata dengan kata lainnya. Dikenal, GmnI adalah pondok yang di huni berbagai warna dalam satu tarikan nafas Kebangsaan, dikenal GmnI adalah wadah yang gandrung akan musyawarah dengan hikmat dan bijak, dimana semua kaum Pejuang-Pemikir Pemikir-Pejuang?Dimanakah semua jargon, semboyan dan moto itu?

Seruan-seruan persatuan di atas sepertinya tidak menyadarkan mereka yang mengemban gelar petinggi baik kedua DPP maupun para Alumni. Yang kita lihat, kedua DPP sibuk perang eksistensi dalam gelar buka tutup acara, gunting pita dan silaturahim di daerah dan cabang, sementara Alumni seakan tutup mata dan telinga dikala Dualisme terus bergulir.

Sebenarnya, gelaran Kongres PA GMNI di Bandung beberapa bulan lalu seharusnya menaruh Rekonsiliasi dalam agenda sidang untuk selanjutnya konflik turunan seperti masa lampau itu tidak terjadi seperti hari ini. Tetapi para Alumni nampaknya lebih mementingkan siapa yanh menang dan siapa yang senang.

Dualisme Menurut Filsafat

Menurut konsep filsafat, dualisme memiliki dua substansi. Dimana dalam pandangannya tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik atau objek yang ada di luar realitas fisik. Kalau kita menelaah kata dualisme, maka penggabambarannya akan mencapai Entitas Non Fisik, dimana awal beranjaknya paham itu adalah raga yang menolak kecerdasan jiwa.

Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan oleh René Descartes (1641), yang berpendapat bahwa budi adalah substansi non-fisik. Descartes adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan jelas budi dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan.

Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme dan fenomenalisme. Sebenarnya substansi dualisme bertentangan dengan semua jenis materialisme, tetapi dualisme properti dapat dianggap sejenis materialisme emergent sehingga akan hanya bertentangan dengan materialisme non-emergent.

Yang artinya, kondisi pecahnya GmnI hari ini bisa jadi semata-mata hanya mengejar material properti atau dengan kata lain, kekuasaan adalah tujuan utama oleh arsitek yang merancang dan merawat konflik ini.

Persatuan Adalah `Kapal Rekonsiliasi

Gerakan menuju rekonsiliasi pertama yang penulis ketahui berdasarkan pengamatan berbasis media pasca Kongres Ambon 2019 adalah penyegelan Wisma Trisakti oleh DPC Jakarta Pusat. Dimana, spanduk yang bertuliskan "Wisma Trisakti Kami Segel Sampai Adanya Persatuan" adalah bentuk tindakan kongkret seruan akan persatuan. Tetapi, gerakan itu harus terhenti akibat arus perpecahan yang sangat kuat dimana setiap cabang di seluruh Indonesia memilih mengamankan basisnya masing-masing.

Tidak sampai disitu, berbagai Cabang di Jakarta pada tahun 2021 kemarin juga gencar melakukan konsolidasi rekonsiliasi. Cabang - cabang itu diantaranya cabang Jakarta Pusat, Selatan, Timur dan Barat. Tapi, setelah lima kali pertemuan, Cabang Jaktim dan Barat memilih membentuk Dewan Pimpinan Daerah (DPD) DKI Jakarta. Sehingga proses menuju Rekonsiliasi GmnI harus terhenti akibat perbedaan sikap politik.

Baru-baru ini, GmnI Cabang Jakarta Selatan menarik perhatian saya untuk kembali mengulas persatuan GmnI. Selebaran gambar dan tulisan elektronik berterbangan melalui halaman media masa. Dan, gerakan itu sudah membangunkan rasa persatuan beberapa Cabang di Indonesia.

Artinya, setiap kita harus menyadari bahwa kondisi perpecahan GmnI baik secara De Yure maupun De Facto hari ini sudah sangatlah menguras semangat perjuangan kaum marhaenis. Bahwa, dualisme selama ini memang menyisahkan langkah juang yang melambat. Oleh karna itu, setiap Cabang harus banyak menyelami keadaan, banyak refleksi kejadian, banyak menggali kondisi-situasi kalau kehadiran kedua kubu DPP tidak membawa dampak besar bagi jalannya kerja cabang. Apa cita bersama selain adanya keterwakilan kader DPC di DPP? Sudah berapa banyak Program DPP yang membawa perubahan untuk DPC? itulah keadaan kongkret kita. Dimana dari kita harus menanamkan sadar persatuan mulai sekarang untuk sama-sama berjalan melalui jembatan persatuan.

Kader GMNI sebagai kawah candradimuka pemuda intelektual harus membangun semangat "intelectual movement" sebagai gerakan untuk menciptakan dan mengedepankan ilmu pengetahuan sebagai sumber daya pengetahuan termasuk sumber daya politik.

Saya kembali teringat kata bapak marhaenisme kita, "Entah bagaimana tercapainya persatuan itu, entah bagaimana rupanya persatuan itu, akan tetapi kapal yang membawa kita ke Indonesia Merdeka itulah Kapal Persatuan adanya. (Bung Karno).*

Artikel Terkait