Bisnis

Gede Sandra: Larangan Ekspor Sawit Akan Timbulkan Ketidakpercayaan Internasional

Oleh : very - Sabtu, 23/04/2022 13:19 WIB

Minyak goreng satu harga yang dibanderol Rp 14.000 per liter yang dijanjikan Pemerintah, kini sudah tersedia di pasar tradisional dan mulai berlaku hari ini, Rabu (26/1/2022).

Jakarta, INDONEWS.ID --- Imbas dari masih tingginya harga minyak goreng, pemerintah memutuskan untuk melarang ekspor sawit dan minyak goreng.

Kebijakan tersebut diambil dalam rapat terbatas tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, terutama yang berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri, di Istana Merdeka, Jumat (22/4).

"Pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis 28 April 2022 sampai batas waktu yang ditentukan kemudian," kata Jokowi, seperti dikutip dari YouTube resmi Sekretariat Presiden, Jumat (22/4/2022).

Pemerintah mengharapkan melalui kebijakan tersebut ketersediaan minyak goreng di dalam negeri akan membaik. Harganya juga diharapkan bisa kembali turun.

Menanggapi hal tersebut, ekonom dari Universitas Bung Karno, Gede Sandra mengatakan bahwa larangan ekspor tersebut bukan sebuah pilihan kebijakan yang tepat.

“Pelarangan ekspor ini bukan kebijakan terbaik. Sebenarnya tinggal Jokowi panggil saja para taipan sawit, paksa turunkan, ancam bongkar kasus pajak mereka. Pasti harga turun 2 minggu. Beres,” ujarnya kepada Indonews.id di Jakarta, Sabtu (23/4).

Mantan Staf Ahli Menko Kemaritiman ini mengatakan, pilihan kebijakannya bukan dengan melarang eksportir Kelapa Sawit. Kebijakan ini akan mengakibatkan harga minyak sawit dunia akan meningkat.

"Bukannya semua eksportir dilarang. Akibatnya adalah akan menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) terhadap kontrak ekspor dari Indonesia, sehingga akan menurunkan pendapatan ekspor kita. 

Sementara itu, katanya, di luar negeri dampaknya adalah kenaikan harga minyak sawit dunia, yang akan meningkatkan inflasi di negara-negara importir minyak sawit.

“Jangan-jangan karena Jokowi takut dengan perusahaan sawit tertentu? Seperti yang belakangan disebut-sebut dalam kasus perusahaan yang juga jadi sponsor Persis Solo, yang dimiliki puteranya?,” ujar analis Pergerakan Kedaulatan Rakyat itu.

Cara serupa pernah diutarakan oleh ekonom senior Rizal Ramli. Menurut Rizal Ramli, operasi pasar dalam mengatasi kelangkaan minyak goreng juga bukanlah sebuah solusi terbaik. 

"Itu kurang dari 2 persen. Hanya bagus untuk pencitraan pejabat. Jangan malu nyontek solusi canggih RR ketika ada gejolak harga migor tahun 2000-2001," katanya.

Rizal Ramli menceritakan upayanya menurunkan harga minyak goreng yang tinggi. Saat itu, dia menjabat Menteri Koordinator Perekonomian di era Presiden Gus Dur. Saat itu harga sawit naik 2 kali lipat. Harga minyak goreng otomatis juga naik tinggi lebih dari 100 persen. 

Rizal Ramli kemudian memanggil Luhut, bawahannya waktu itu, sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

"Saya panggil waktu itu masih anak buah saya, namanya Jenderal Luhut Pandjaitan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan," kata Rizal.

Rizal meminta Luhut untuk memetakan daftar perusahaan sawit swasta dan BUMN. Kemudian ia juga mengarahkan agar LBP mengingatkan para raja sawit tersebut agar tidak serakah. 

"Saya bilang, `Bang, ini daftar raja sawit, swasta, ini sawit BUMN. Panggil mereka semua, kumpulkan, kasih tahu, satu, kalian jangan greedy jangan rakus kebangetan, karena harga sawit di luar udah untung, kalian mau genjot juga di dalam negeri, pasokan dikurangin,`" imbuhnya.

Lalu Rizal Ramli mengingatkan agar pengusaha itu tidak melupakan kredit BI yang memberikan bunga rendah, yaitu 2 persen. Rizal Ramli juga meminta Luhut segera memeriksa pajak pengusaha minyak goreng yang menaikkan harga tinggi.

"Kalau dalam waktu satu bulan harga minyak goreng di dalam negeri nggak turun seperti awal saya akan periksa pajaknya dan kalau saya ketemu nggak ada ampun. Jenderal Luhut Pandjaitan bilang, `Siap, aku ini paling suka ngegencet orang," kata Rizal.

Lalu Luhut mengumpulkan para pengusaha sawit. “Dia cerita ada pesan ini dari Pak Menko, kalau nanti bapak-bapak diperiksa pajaknya ketemu bapak lobi saya, saya lobi Pak Menko nggak bakal ada hasilnya,” ujar Rizal Ramli.

Apa yang terjadi kemudian? “Harga minyak goreng turun," ujar Rizal Ramli.

Mantan Kepala Bulog itu mengatakan bahwa hal tersebut terjadi apabila kebijakan pemerintah sesuai dengan amanat konstitusi. Ia menilai, jika kebijakan berpihak pada rakyat, harga bahan pokok masyarakat akan turun.

"Itulah contoh daripada konstitusi kita, kalau menyangkut hak hajat hidup orang banyak," ujarnya.

Seperti diketahui, Presiden Jokowi dalam konferensi persnya mengatakan bahwa pemerintah akan memantau dan mengevaluasi kebijakan tersebut.

"Saya akan terus pantau dan evaluasi kebijakan agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau," kata Jokowi.

 

Sawit dan Permasalahannya

Organisasi Masyarakat Sipil melayangkan somasi kepada Presiden Joko Widodo, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai buntut dari langka dan mahalnya harga minyak goreng di dalam negeri.

Organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Sawit Watch, Perkumpulan HuMa, Eksekutif Nasional WALHI, ELSAM, Greenpeace Indonesia, dan PILNET telah melayangkan somasi tersebut langsung kepada Kementerian Perdagangan, Jumat (22/4).

Seperti dikutip dari siaran pers, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI Uli Siagian mengatakan kelangkaan minyak goreng serta praktik korupsi persetujuan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya yang telah menjerat Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dan tiga perusahaan dari grup Wilmar Grup, Musim Mas dan Permata Hijau Grup adalah sedikit dari potret buram industri sawit Indonesia.

“Lebih dari itu, persoalan lain yang luput dari riuh pembicaraan ini yaitu kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, konflik agrarian, perampasan tanah-tanah masyarakat, kebakaran hutan dan lahan, banjir serta longsor sebagai kausalitas dari masifnya ekspansi sawit di Indonesia,” ujar Uli seperti dikutip VOAIndonesia.com.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada 2019, ujar Uli, saat ini setidaknya luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 14,9 juta hektare. Dari jumlah tersebut, sebanyak 60 persen atau 9 juta hektare adalah milik perkebunan kelapa sawit swasta besar yang dikuasai oleh 25 grup perusahaan sawit. Petani yang jumlahnya sekitar 2,74 juta keluarga, hanya mengelola 5 juta hektare. Hampir 80 persen dari hasil perkebunan sawit di Indonesia diekspor untuk memenuhi konsumsi global.

Di tengah situasi yang demikian, kata Uli, pemerintah malah terus memberikan fasilitas ke berbagai perusahaan besar sawit. Hasil investigasi Tempo menyebutkan bahwa 80 persen dana sawit dari ekspor CPO dinikmati oleh grup-grup besar, termasuk oleh WILMAR grup untuk program biodisel. Petani sangat sulit mengakses dana tersebut.

Dia mengatakan, luas lahan sawit di dalam negeri melejit jauh. Pada tahun 1980 misalnya, hanya memiliki 200 ribu hektar sawit, lalu pada tahun 2009 mencapai 7,2 juta hektar, dan sekarang sawit di Indonesia mencapai 14,9 juta hektar. Luasan ini akan terus bertambah pasca UU Cipta Kerja. Pasalnya, undang-undang ini menjamin kemudahan perizinan.

Dengan berbagai permasalahan tersebut, kata Uli, pemerintah sudah seharusnya mengambil kebijakan untuk mengevaluasi seluruh perizinan sawit di Indonesia. Uli juga menekankan agar perusahaan-perusahaan yang selama ini berkonflik dengan rakyat mengembalikan lahan kepada rakyat, dan perusahaan yang terbukti melanggar hukum harus dicabut izinnya dan harus bertanggung jawab untuk pemulihan lahan-lahan tersebut.

“Sekarang, seharusnya tidak boleh ada lagi izin perkebunan sawit baru. Moratorium izin sawit harus diperpanjang untuk memproteksi wilayah-wilayah Kelola rakyat yang ada, serta memproteksi hutan-hutan Indonesia. Sebab jika tidak, kita akan semakin membayar mahal dan kehilangan banyak hal dari massifnya industri sawit ini.” pungkasnya. *** 

 

Artikel Terkait