Opini

Polemik Penjabat Kepala Daerah

Oleh : luska - Senin, 23/05/2022 19:49 WIB

Oleh: Dr Muhadam Labolo (Dosen senior IPDN)

Setidaknya tiga warta harian online tanggal 21-23 Mei 2022 menginformasikan polemik pengisian penjabat kepala daerah dan konsekuensi posisi yang ditinggal oleh pejabat itu sendiri (newssultra, radarkotanews, & indopos.com). Soal lain terkait kepatuhan pemerintah atas Fatwa MK terkait pola pengisian penjabat, serta mekanisme rekrutmen penjabat itu sendiri. Isu ini mesti dijawab lewat aturan organik setingkat PP dan Permen agar tak mengganggu agenda besar 2024.

Kepatuhan dalam pengisian penjabat kepala daerah setidaknya dilihat pada kesiapan mekanisme rekrutmen penjabat di luar ASN (Polisi), selain konsistensi terhadap mekanisme yang lazim selama ini. Pengalaman yang sudah-sudah, mekanisme penetapan penjabat bupati dan walikota bersifat _bottom up_ melalui Gubernur. Sebaliknya, mekanisme penetapan penjabat di level provinsi bersifat _top down_ oleh presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

Mekanisme ini sebenarnya lebih _fairness_ dan telah berlangsung bertahun-tahun. Sekalipun tak bisa dikatakan demokratis, namun dengan alasan transisi kekuasaan yang pendek, mekanisme tersebut  tampak lebih adil karena berbagi. Hari-hari ini pengisian menjadi seksi karena transisinya relatif lama, lebih kurang 2 tahun dengan jumlah kekosongan sebanyak 101 kepala daerah. Disini rentan gaduh karena jabatan politik itu diisi oleh pejabat karier murni, birokrat sipil dan Polisi.

Kepatuhan terhadap fatwa MK dalam pengisian penjabat selayaknya direspon dengan mereparasi aturan teknis pengisian penjabat kepala daerah. Sejumlah hal yang perlu diperjelas misalnya, _pertama,_ siapa yang dimaksud penjabat sesuai amanah UU No. 10/2016 Tentang Pemilukada dan revisinya. Siapa Pejabat Tinggi Madya & Pratama itu. Bila dikonversi kedalam jabatan sipil struktural, fungsional dan Polisi, setaraf apa jabatan dimaksud mengingat nomenklatur pada sejumlah instansi berbeda-beda.

_Kedua,_ jika aturan teknis itu merambah di luar fatwa MK soal polisi dan tentara, maka harus jelas dengan urgensi apa mereka dibolehkan. Misalnya, perwira setaraf apa yang dimaksud Pasal 201 ayat (10) dan (11) UU No.10/2016 itu. Bila tidak diperbolehkan, sebaiknya tak perlu di akomodir dalam regulasi teknis sehingga pemerintah tegak lurus dengan perintah hukum diatasnya. Mengatur hal-hal di luar koridor fatwa MK dan amanah UU Pemilu dapat dinilai mengkhianati hukum dan _notabene_ dibuat pemerintah sendiri.

_Ketiga,_ aturan teknis penting menjawab konsekuensi yang timbul akibat terjadinya kekosongan pejabat yang ditugaskan sebagaimana kasus Sekda Banten merangkap Pj Gubernur Banten. Dilemanya, bila diisi oleh pejabat baru maka status Pj Sekda sama artinya dibebastugaskan dari jabatan defenitifnya. Perlu diingat bahwa sekda provinsi salah satu perangkat pemerintah pusat di daerah (karena jabatannya), bukan semata sekretaris daerah otonom.  Pengisian ini menambah panjang antrian penjabat sementara diberbagai posisi dan tingkatan.

_Keempat,_ mekanisme _top down_ pada penjabat provinsi dan _bottom up_ bagi penjabat bupati/walikota harus tegas di atur dalam hal ini. Menempatkan penjabat bupati/walikota yang bukan usulan pemerintah provinsi jelas mencederai prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (asas kepastian). Sekalipun pemerintah berdalih bahwa untuk kepentingan strategis jabatan tersebut dapat diisi oleh pemerintah pusat, namun kondisi normal semacam ini jelas tak cukup memberi alasan untuk maksud tersebut.

Memaksakan keinginan menurunkan penjabat pusat ke level kab/kota dengan sendirinya tak hanya melahirkan ketegangan kreatif antara gubernur dengan penjabat yang ditunjuk, juga dengan pemerintah sendiri. Lebih lagi jika lapis bawah menilai para penjabat hanyalah kaki tangan yang sengaja disusupkan untuk kepentingan tertentu. Disharmoni dan distrust itu pada ujungnya menggangu upaya pemerintah dan penjabat itu sendiri dalam menjalankan tugas berat selaku penjabat kepala daerah.

_Kelima,_ aturan teknis setidaknya mampu menjelaskan tata cara rekrutmen internal sehingga semua penjabat yang diturunkan sungguh-sungguh dapat dipertanggungkawabkan dari sejumlah kriteria umum dan khusus yang dipersyaratkan. Hal ini memperkecil tekanan publik atas transparansi pemerintah terkait alokasi penjabat di daerah. Seseorang yang tak dikenal publik sekurangnya telah melewati mekanisme ketat oleh panelis tertentu semacam badan adhoc pertimbangan penjabat. Bukan tiba-tiba muncul sebagai penjabat di Seram Bagian Barat, Banggai Kepulauan, Muna Barat atau Buton Selatan.

Dengan meramu kelima hal di atas secara teknis, publik percaya siapapun yang turun menjadi penjabat telah melalui tahap selektif. Dengan begitu netralitas pemerintah lebih terlihat selain relasi antar pejabat defenitif dan penjabat, serta masyarakat luas berjalan harmonis. Tentu saja semua itu menjadi kredit point bagi kesuksesan pemilu 2024. Tanpa keseriusan kita menata mekanisme semacam itu dengan sendirinya membuka polemik, kegaduhan, transaksional, serta tuntutan hukum di hari-hari mendatang.

Artikel Terkait