Nasional

Survei SMRC: Tingkat Pendidikan Tak Menyumbang Toleransi

Oleh : very - Jum'at, 08/07/2022 15:13 WIB

Saiful Mujani, Guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. (Foto: Beritasatu.com)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Mei 2022 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pemilih tidak berbanding lurus perilaku toleransi.

Saiful menyatakan bahwa dirinya sebenarnya mengharapkan semakin tinggi pendidikan akan semakin toleran. Tapi fakta di Indonesia, pendidikan ternyata tidak menyumbang toleransi.

“Buktinya, ada 53 persen warga lulusan SD yang keberatan bertetangga dengan orang Yahudi, tidak jauh berbeda dengan lulusan perguruan tinggi sebesar 48 persen. Yang berlatar belakang perguruan tinggi 57 persen keberatan orang Yahudi menjadi guru di sekolah negeri, yang berpendidikan SD 58 persen. Yang keberatan orang Yahudi menjadi pejabat publik, lulusan SD 60 persen, perguruan tinggi 67 persen,” ujarnya dalam program Bedah Politik bersama Saiful Mujani episode ‘Siapa Menoleransi Yahudi?’ yang disiarkan di kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 7 Juli 2022.

Data ini menunjukkan tidak ada beda antara yang berpendidikan rendah dan tinggi dalam hal penerimaan pada warga Yahudi.

“Pendidikan tidak punya pengaruh pada toleransi,” simpul Saiful.

Dilihat dari akses pada media. Mereka yang sering menggunakan atau memiliki akses lebih baik pada internet memiliki kecenderungan lebih intoleran dari yang jarang atau tidak pernah mengakses internet.

Menurut Siful, ada 57 persen orang yang sering mengakses internet keberatan bertetangga dengan orang Yahudi, sementara yang tidak pernah mengakses internet sebesar 50 persen. Yang keberatan Yahudi menjadi guru di sekolah negeri dari yang sering mengakses internet sebanyak 63 persen, yang tidak pernah sebanyak 54 persen. Yang keberatan orang Yahudi menjadi pejabat pemerintah dari kelompok yang sering mengakses internet sebanyak 66 persen, sementara yang tidak pernah 59 persen.

“Kalau kita punya ekspektasi bahwa media sosial itu sebagai sarana untuk orang lebih terbuka terhadap keragaman, ternyata tidak. Ternyata itu ada space untuk mengekspresikan identitas yang berbeda dan hate,” ujarnya.

Sejauh ini, kata Saiful, internet tidak membantu untuk menciptakan saling pengertian. Kita terekspose pada keragaman itu, tapi tidak sanggup menjadikan keragaman itu sebagai sesuatu yang bisa ditoleransi.

“Internet kurang memberikan pendidikan toleransi, justru menjadi ruang pembentukan kebencian,” kata Saiful. ***

Artikel Terkait