Nasional

Pemaksaan Jilbab, Intoleransi dan Radikalisme Telah Masuk Lingkungan Sekolah

Oleh : very - Kamis, 04/08/2022 19:50 WIB

Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro, Dr. Hj. Siti Nurjanah, M.Ag, PIA. (Foto: Ist)

 

Metro, INDONEWS.ID – Akhir-akhir ini sedang ramai diberitakan terkait masalah pemaksaan pemakaian jilbab terhadap siswi di Yogyakarta dan DKI Jakarta. Ironisnya praktik tersebut terjadi si sebuah sekolah negeri. Bahkan kasus ini bukan kasus pertama yang terjadi di lembaga pendidikan. 

Menanggapi hal ini, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro, Dr. Hj. Siti Nurjanah, M.Ag, PIA, menilai, kasus pemaksaan pemakaian jilbab yang hingga kini ramai diperdebatkan, sarat akan potensi intoleransi dan diskriminasi. Ke depannya dikhawatirkan akan membawa kepada sikap radikalisme yang mengancam persatuan bangsa.

“Tidak boleh ada pemaksaan itu! Itulah yang disebut dengan intoleransi karena melakukan pemaksaan. Lalu kemudian ada diskriminasi di sana. Kenapa? Karena itu tadi guru tersebut memaksa kepada siswa tersebut, yang belum memiliki pemahaman yang utuh tentang penggunaan jilbab,” jelas Siti Nurjanah di Metro, Kamis (4/8/2022).

Menurutnya, masalah ini semakin diperparah karena kasus itu justru terjadi di sekolah negeri yang notabene terdiri dari berbagai macam agama, suku  dan sudah barang tentu ada keragaman di dalamnya. Pasalnya sekolah negeri itu menjadi wilayah atau wewenang pemerintah dalam hal ini berdasarkan aturan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). 

“Karena ini sekolah negeri, jadi tidak boleh ada pemaksaan. Juga proses yang dilakukan tidak boleh memaksa, tapi berikanlah pemahaman terlebih dahulu kepada siswa tersebut tentang pentingnya jilbab. Itupun ditujukan bagi siswa yang beragama Islam saja,” jelasnya seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Ketua Dewan Pakar Pengurus Cabang Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Kota Metro ini menilai, akibat adanya insiden tersebut, tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik berkepanjangan, baik konflik internal agama maupun konflik antar-agama.

“Kalau guru BK-nya muslim, kemudian muridnya juga muslim berarti kan sudah terjadi konflik internal agama, karena adanya pemaksaan tadi itu. Sehingga bukan tidak mungkin akan timbul dendam, bahkan trauma dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena politik identitas seperti ini justru membahayakan serta berpotensi menimbulkan konflik sosial dan agama yang destruktif bagi keutuhan bangsa yang beragam ini. 

Siti Nurjanah menilai insiden atau kasus semacam ini tidak boleh terjadi lagi. Semua aturan harus mengimplementasikan toleransi dan membangun kesadaran akan keberagaman diantara semua pihak, khusunya mahasiswa dan pelajar tentang bahaya diskriminasi politik identitas.

“Pemahaman dan kesadaran akan keberagaman menjadi bukti konkrit untuk tidak boleh diteruskannya atau tidak boleh dilakukannya diskriminasi, baik apakah itu diskriminasi golongan, budaya, agama bahkan politik. Mahasiswa dan pelajar  butuh sekali sosialisasi pemahaman akan hal tersebut,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, yang perlu bekali kepada para pendidik adalah bagaimana mereka bisa memahami aturan-aturan yang ada secara penuh, baik itu aturan-aturan yang ditetapkan oleh oleh negara dan juga aturan yang ada dalam agama masing-masing.

“Khususnya bagi guru BK, harus memahami secara utuh bagaimana Islam memberikan pesan ataupun agama Islam memberikan pesan terkait dengan pentingnya menutup aurat bagi perempuan itu pentingnya apa sih,  itu harus utuh dalam  menyampaikannya,” jelas Siti Nurjanah.

Diungkapkannya, para pendidik harus diberikan pemahaman, terlebih treatment-treatment sehingga siswa tersebut betul-betul paham. Kalau kemudian siswa memutuskan untuk menggunakan jilbab,  itu betul-betul berangkat dari pemahamannya,  berangkat dari kejelaskan hatinya,  ketergerakan hatinya untuk menggunakan jilbab.

 

Empat Indikator Moderasi Beragama

Ia mengungkapkan, menciptakan kondisi sekolah atau lembaga pendidikan yang nayaman bagi pelajar itu sangat penting. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkuat moderasi beragama yang terdiri dari empat indikator. 

“Cinta terhadap tanah air, toleransi, mencintai kearifan lokal dan yang keempat, jauh dari pemahaman radikalisme,” ujarnya.

Ia menilai anti-radikalisme dan anti-kekerasan sebagai poin yang wajib ditanamkan. Artinya siapapun tidak boleh melakukan kekerasan, termasuk kekerasan agama, kekerasan seksual, dan kekerasan-kekerasan yang lain. 

Siti Nurjanah juga mengkritisi perlunya upaya nyata dari semua pihak seperti kepala sekolah, guru, wali kelas, wali murid serta masyarakat luas dalam menanggulangi aksi dan praktik intoleransi di lingkungan Pendidikan.

Untuk mengantisipasi masalah-masalah seperti di atas, menurut Siti Nurjanah, IAIN Metro Lampung terus memberikan penguatan kapasitas kepada unsur sekolah di Provinsi Lampung. Antara lain menyelenggarakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) untuk para guru yang diwadahi dalam MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), MKKM (Musyawarah Kerja Kepala Madrasah) se-provinsi Lampung serta kemudian FGD oleh para Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), dengan membahas dan mengusung peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang larangan terhadap ideologi selain ideologi Pancasila.

“Itu merupakan upaya-upaya yang harus direspon secara positif oleh Kemenristekdikti. Sehingga ketika Perpu ini lahir bisa dijadikan dasar oleh sekolah-sekolah bahwa radikalisme, terorisme serta intoleransi itu harus dibasmi, dicegah dan dilarang,” ujar Siti Nurjanah. ***

Artikel Terkait