Nasional

Yudi Latif: Agama Jadi Bintang Penuntun Menuju Ekonomi Manusiawi

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 28/08/2022 21:30 WIB

Akademisi dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Yudi Latif, Ph.D

Jakarta, INDONEWS.ID - Akademisi dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Yudi Latif mengatakan agama memainkan peran penting sebagai bintang penuntun dalam membangun ekonomi masyarakat. Menurutnya, moralitas yang diajarkan dalam agama Abrahamic faith menuntun manusia untuk memenuhi tutuntan-tuntutan moral dari ekonomi etis atau ekonomi manusiawi.

Hal ini dikatakan Yudi Latif ketikan menyampaikan pengantar orasi budaya dengan tema "Ekonomi Manusiawi" dalam acara Haul Cak Nur ke-17 dan Orasi Budaya yang menghadirkan Dato` Seri Anwar Ibrahim (Wakil Perdana Menteri Malaysia 1993-1998) pada Minggu (28/8/22).

"Kedua, di dalam memenuhi penggandaian-pengandaian moral dari ekonomi itu, agama memainkan peran penting sebagai bintang penuntun terhadap ekonomi etis itu, ekonomi manusiawi itu," kata Yudi Latif.

Eks Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) ini menjelaskan konsep ekonomi manusiawi sendiri pertama kali muncul dalam teori "the Clinical Economy" yang ditulis pada tahun 2011 oleh ekonom Amerika Jeffrey Sachs melalui bukunya berjudul "The Price of Civilization".

"Di dalam buku itu beliau mengingatkan menghilight sesuatu yang sangat penting, yang seringkali mungkin memang di luar imajinasi para ekonom mainstream bahwa di akar terdalam dari krisis ekonomi Amerika itu adalah terletak krisis moral," ungkapnya.

Yudi Latif bersama Pemred Indonews.id Asri Hadi

Jeffrey Sachs, terang Yudi Latif, menegaskan bahwa masyarakat pasar, masyarakat demokrasi dan masyarakat hukum itu tidaklah memadai selama orang kaya dan berkuasa tidak punya rasa tanggung jawab, rasa belas kasih terhadap sesama warga dan terhadap warga manusia di muka bumi ini.

"Dan beliau ingatkan bahwa penyelesaian krisis ekonomi yang efektif, yang berkesinambungan tidak mungkin bisa dijalankan selama kita tidak bisa mengembangkan perekonomian yang manusiawi," paparnya.

Dalam konteks ini, lanjut Yudi Latif, Jeffrey Sachs sebagai mahaguru membawa kembali isu ekonomi ke dalam isu moral. Bahwa ekonomi sebagai sistem sosial memiliki imperatif moral. Artinya, kalau kita tidak memenuhi tuntutan-tuntutan moral, ekonomi apapun "doom to fail" atau ujungnya pasti gagal.

"Sehingga di sini menjadi sejalan dengan pikiran-pikiran Cak Nur. Cak Nur muda banyak sekali membahas tentang bagaimana hubungan agama sebagai kritik ideologi terutama kritik terhadap ketimpangan- ketimpangan ekonomi," bebernya.

Cak Nur semasa hidupnya, tambah Yudi Latif, sering menggaris bawahi bahwa agama lebih dari sekedar urusan peribadatan demi kebahagiaan di akhirat. Namun agama juga berkaitan dengan bagaimana kita menciptakan kebahagiaan bahwa surga itu bisa kita nikmati di dunia ini.

"Kalau kita baca Alquran atau Bible dan semua keyakinan Abrahamik Faith, itu pada umumnya sama. Tidak semata-mata kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah atau menyembah Tuhannya. Itu biasanya dalil yang secara umum sering dikutip oleh khotib kita. Itu juga lama menjadi pemahaman mapan di dalam dunia Kristiani selama abad 15 16, 17, 18," pungkasnya.

Yudi Latif lantas mengajukan pertanyaan, jika kita terima bahwa manusia Tuhan ciptakan semata-mata untuk beribadah atau tunduk patuh menyembah pada Tuhannya, ada tidak yang tersisa bagi manusianya? Apakah Tuhan begitu selfish sehingga tidak menyisakan sesuatu apapun bagi manusia untuk menentukan kebahagiaan sendiri?

Yudi Latif lantas menjawab sendiri pertanyaan retorisnya bahwa tidaklah demikian adanya. Jika merujuk pada surat-surat lainnya -- seperti surat Al Qosos ayat 77, rupanya ayat ini menjadi semacam tuntunan bagaimana ekonomi moral itu dijalankan.

Dalam surat tersebut dikatakan bahwa carilah kalian tentang apapun yang Tuhan anugerahkan kepada kalian tentang kebahagiaan di kampung akhirat nanti. Tapi jangan sekali-kali kalian melupakan kebahagiaan kamu di dunia ini dan berbuat baiklah terhadap satu sama lain seperti Allah berbuat baik terhadap kalian dan jangan kamu berbuat kerusakan di muka bumi karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.

"Jalan ekonomi itu adalah jalan kebahagiaan dan jalan kebahagiaan itu kalau kita berbuat baik satu sama lain berbagi, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Bersyukur dengan mengolah karunia sumber daya," ujarnya.

"Karena kalau bersyukur nikmat kita akan bertambah, tapi kalau kita ingkar maka azab amat oedih. Tetapi juga dalam mengembangkan ekonomi itu, kita jangan merusak ekosistem, berbuat kerusakan di muka bumi. Karena kalau kita berbuat boros, merusak ekosistem, ekonomi kita tidak berkelanjutan, tidak berkeadilan secara horizontal, tetapi juga kita tidak adil terhadap orang-orang yang hidup, generasi-generasi yang akan datang," tutupnya.

 

Artikel Terkait