Opini

Keanehan Manusia di Gelimang Kasih Sayang Allah

Oleh : luska - Sabtu, 08/10/2022 14:00 WIB

by : Noryamin Aini
(Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

Sahabat!
Kisah indah masa lalu, lazim, mengikat kesadaran manusia dalam kenangan. Kebaikan adalah bahan bakunya, dan subjektivitas positif manusia menjadi cetak biru yang membingkai dan merawat keindahannya dalam ingatan dan penghargaan. 

Dalam konteks psikologi yang merindukan romantisme kenangan, kita sering mengingat bahkan menyebut kebaikan kita pada orang lain. Harapan kita, sejatinya, sederhana saja, yaitu agar kebaikan dari kenangan tersebut selalu dirawat dan dijaga dalam ikatan batin yang pernah disenangkan dan dibahagiakan dengan kenangan dimaksud.

Adalah normal kita berharap kisah kebaikan dan kenangan indah dalam hidup ini, tidak dilupakan oleh mereka yang pernah terikat, atau pernah menikmati kebaikan kita. Namun, secara emosional dan psikologis, adalah tidak mudah untuk selalu mengingat dan menghargai janji mesra dan tautan kasih yang sarat kebaikan yang sudah menjadi kenangan. 

Baca juga : UJI MIND-SET

Kondisi kekinian dan kedisinian yang menyenangkan, juga jalan kesuksesan sering menjadi pemicu dan pemusnahnya. Ada pameo yang menyentil kita bahwa setelah sukses, kacang terbiasa melupakan kulitnya yang pernah menjaga dan merawatnya sampai ia besar.

Sahabat!
Peristiwa indah di masa lalu adalah seperti janji mesra yang pernah diikrarkan oleh pemujanya dengan penuh kesadaran dan harapan. Ia adalah ekspresi mutual batin kita yang mendalam dengan sosok pujaan. Kita pasti berharap agar janji mesra ini tidak dilupakan, syukur-syukur, ia dapat menjadi pengingat rindu di getar gemuruh qalbu yang saling mencintai.

Semua kenangan indah tersebut kita catat dalam ingatan yang sering membuai dan melambungkan kita dalam manja impian. Isinya adalah curahan hati, yang berupa ikrar persahabatan dan perhatian yang menjadi pengikat tautan kesadaran kita.

Dalam catatan hidup ini, ada banyak janji kenangan indah tentang kemesraan yang penuh arti. Pernahkah kita menyadari bahwa saat kenangan indah ini, atau mungkin ia cuma sepotong kisah persahabatan biasa, ia tiba-tiba hilang dari kenangan dan ingatan sosok istimewa, kita tidak jarang kecewa terhadap arti perjumpaan, persahabatan, dan janji yang pernah kita ikrarkan bersama, dan kita banggakan.

Perjalanan ruh kita juga pernah mengikrarkan janji indah di ranah primordial dengan sang Pencipta di alam lahut. Ini adalah ikrar penghambaan diri manusia kepada-Nya. Saat itu, Allah pernah bertanya kepada ruh manusia yang baru mendapat energi kehidupan “Alastu bi rabbikum?” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?). Ruh dengan sigap dan mantap, tanpa keraguan, dengan penuh kesadaran, menjawab “Benar, Engkau adalah Tuhan kami," (QS. al-A'raf : 172).

Nampaknya, ikrar primordial ini adalah sikap tulus pengakuan  ruh terhadap kebaikan Allah yang telah menghidupkan jasadnya. Anehnya, ikrar mesra di sumpah primordial di zaman azali (waktu ruh ditiupkan ke jasad janin kita), sering dilupakan atau diabaikan dalam kesadaran dunia dan praksis kita. 

Nafsu, akal, bahkan qalbu kita, sering mengingat Allah sebatas momentum opsi pelarian. Qalbu manusia sering menjadikan zikir (mengingat Allah) hanya di saat kita tidak berdaya, saat terdampar di kubang kepasrahan pada musibah, kesulitan. 

Astaghfirullah, Allah hanya diingat dalam suasana duka, dalam rintihan kesedihan dan penderitaan. Sisanya, Allah cenderung dilupakan di saat manusia senang, atau bahkan di kondisi normal. 

Dalam psiko-sosial dan batin orang beriman, faktanya, Tuhan, Allah sering diperlakukan seperti bak sampah pelarian manusia oportunis saat dia tidak berdaya; saat dia terpuruk tanpa pilihan keselamatan. 

Bahkan, terkadang, manusia beragama sering memperlakukan Tuhan, Allah, seperti toilet-closet untuk menunaikan hajat besar dan kecil, tempat membuang kotoran. Saat "kebelat" mau buang air besar atau kecil, toilet-closet selalu dicari. Walaupun jorok, toilet-closet tetap diburu, saat manusia mau membuang hajat kotoran.

Namun nasib toilet-closet menyedihkan, tidak terawat. Ia ditinggalkan setelah dipakai bahkan sering tanpa dibersihkan, walaupun ia berjasa besar untuk melayani  kebutuhan primer manusia. Kalau saja toilet-closet kuasa menjerit dan memaki, ia pasti akan mengungkapkan kekecewaan pada penggunanya. Habis manis, toilet-closet dicampakkan.

Sahabat!
Akankah Allah juga hanya kita ingat, kita sebut dalam zikir dan doa, sebatas pelarian di saat kita tertimpa kesulitan? atau Allah dimesrai hanya untuk pemenuhan kebutuhan sepihak yang naif? Allah dalam al-Quran, surat Yunus, ayat 10-12, pernah mengkritik sisi buruk diri manusia. Begini narasi terjemahannya.

Saat manusia ditimpa bahaya (keburukan), dia terbiasa berdoa (tanpa merasa kikuk), memohon kebaikan kepada Kami (Allah), baik dalam keadaan berbaring, duduk atau malah berdiri. Tetapi, setelah bahaya dan keburukan itu Kami angkat, Kami hilangkan darinya, dia (kembali) menempuh (jalan kesesatan). Dia abai mengingat Kami, seolah-olah tidak pernah bermohon bantuan kebaikan kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang pernah menimpanya. Beginilah (citra buruk) orang-orang yang melampaui batas saat memperlakukan segala kebaikan Kami”.

Allah memang tidak membenci manusia yang melupakan-Nya. Kasih-sayang Allah melampaui kekecewaan dan sumpah serapah kemurkaan-Nya saat kebaikan-Nya tidak kita ingat. Allah juga akan menghukum saat kita melupakan ikrar ikatan janji primordial di alam lahut.

Luar biasa! Allah tetap, dan akan selalu mengasihi, dan berbuat baik kepada kita walaupun kita sering melupakannya dengan alasan kesibukan. Allah dengan sifat rahmān dan rahīm-Nya tidak akan mengurangi kebaikan-Nya pada manusia, dan juga tidak akan pernah mengakhiri kebaikan-Nya pada umat manusia.

Di titik nadir sifat buruk manusia yang sering abai, lalai (ghaflah) mengingat Allah, Dia justru menjanjikan ketenangan qalbu saat kita berkenan mengingat-Nya dalam zikir. Beginilah kehalusan dan kelembutan Allah menuntun kita untuk mengingat-Nya dalam zikir. Allah tidak mendapatkan efek apapun dari zikir kita.

Sahabat!
Jika manusia bisa jujur dan tercerahkan dengan cahaya ilahi, qalbu orang beriman akan mengakui bahwa zikir sungguh bukan beban. Kenapa? karena Allah tidak meminta kita berzikir untuk kepentingan-Nya. Zikir untuk ketenangan qalbu kita.

Sebaliknya, qalbu orang saleh akan mengakui bahwa zikir adalah ungkapan syukur, ekspresi terimakasih manusia beriman kepada Allah karena kebaikan-Nya. Kenapa? Karena makna positif dan signifikan dari zikir justru untuk kita, yaitu menenangkan qalbu dan membahagiakan hidup kita. Zikir untuk untuk kepentingan qalbu manusia.

Ya Allah, hamba selama ini sering abai, lalai untuk mengingat-Mu. Hamba jarang berzikir, untuk mengingat-Mu walaupun dalam hitungan yang tidak seberapa. Ini adalah kebodohan dan kecerobohan hamba. Maka ampunilah kesalahan hamba, dan tuntunlah kami untuk selalu menghadirkan-Mu dalam setiap tarikan nafas kami.

Ya Allah, dalam taubat kami, tidak ada lagi hal yang mengusik kerinduan kami untuk mengingat-Mu. Hamba malu menghapus rindu pada-Mu. "Anta maqshūdī, wa ridho-Ka mathlūbī” (Ya Allah, Engkau tujuan hidupku, dan ridho-Mu adalah impian permohonanku)". 

Ya Allah, anugerahilah qalbu kami kecintaan-Mu untuk selalu menghadirkan-Mu dalam setiap tarikan nafas kami. Karuniakanlah "min ladunka" ma'rifah (pengetahuan) untuk kami dapat memahami, dan kuasa mencapai puncak perjumpaan ruh kami dalam kesadaran qalbu untuk selalu bersama-Mu. Amin

Pamulang, 8 Oktober 2022

TAGS : Noryamin aini

Artikel Terkait