Opini

Optimisme Subkultur Sosial

Oleh : luska - Selasa, 11/10/2022 14:29 WIB

Oleh : Muhadam Labolo

Gerakan-gerakan sosial sebagai satu kekuatan dalam masyarakat demokrasi kini dirangsang tumbuh. Sebabnya mungkin tak hanya karena tercipta kelesuan politik yang mengakibatkan pemerintah miskin asupan input, juga di dorong oleh medan magnet pertarungan politik yang jaraknya semakin pendek.

Kelangkaan input dalam sistem politik tak hanya mengancam berhentinya proses politik, juga penanda menguatnya gejala apatisme akut. Sikap politik itu sekaligus koreksi bahwa pemerintah sebagai rezim yang paling bertanggungjawab tak cukup akomodatif membawa perubahan untuk sejumlah variabel.

Realitas itu secara alami merangsang kekuatan politik menemukan inang baru guna meletakkan harapan bagi perubahan di rezim selanjutnya. Peluang itu setidaknya tersedia menjelang kompetisi politik di 2024. Namun seberapa besar keseriusan setiap kandidat atas isu yang ingin diinkubasi sangat bergantung pada komitmen dan ujian dialektika di panggung politik.

Pemerintah tentu saja tak ingin meninggalkan raport merah atas indeks demokrasi yang terus menurun dalam 10 tahun terakhir. Setidaknya dapat dikonfirmasi pada catatan tiga lembaga eksternal EIU, IDEA dan _Freedom House._ Selebihnya dapat dikonfirmasi lewat indeks demokrasi internal yang menyisakan sejumlah catatan minus pada variabel tertentu.

Dalam bedah buku Luhut beberapa hari lalu yang dihadiri Mahfud MD dan sejumlah tokoh penting termasuk anti _mainstream_ seperti Rocky, memberi sinyal positif dalam membuka kanal lebih luas agar kemacetan demokrasi tak semakin panjang. Ini baik bagi survivalitas kekuatan _civil society_ yang mengalami mati suri.

Kesadaran spiritual pemerintah yang dikomunikasikan lewat pesan _di atas langit masih ada langit,_ serta signal akan berakhirnya durasi rezim untuk transisi selanjutnya dapat dimaknai pula bentuk akomodatif, kompromi, atau mungkin apologi yang sekaligus memberi jalan lurus bagi kekuatan sosial yang selama ini terpinggir dan dipinggirkan.

Pemaafan tokoh-tokoh gerakan sosial tempo hari seperti HRS menjadi indikasi kuat dalam upaya memperbaiki raport demokrasi di ujung pemerintahan. Andai ini dapat dibaca dengan baik oleh kekuatan _civil society,_ jagad politik tentu akan lebih menggeliat memasuki tahun politik yang kian hangat. Sekurangnya _starting point_ dalam membangun daya tawar.

Harapan akan terkonsolidasinya kekuatan politik dimasa datang tak hanya prospektif memperbaiki indeksasi demokrasi, juga menyeimbangkan dirinya dari kekuatan subkultur ekonomi yang dihegemoni lewat kapitalisasi dan disusupi _oligarchi._ Relaksasi pemerintah dapat dibaca sebagai itikad pengurangan dominasi agar subkultur sosial dapat lebih mengambil peran aktif.

Bila niat baik itu dapat diartikan positif oleh kekuatan politik yang selama ini tiarap, maka subkultur sosial dapat berkolaborasi dengan rezim selanjutnya. Soliditas subkultur sosial yang dimotori _civil society_ dengan subkultur politik yang dikemudi pemerintah setidaknya _warning_ bagi subkultur ekonomi _(oligarchi)_ yang sejauh ini terlalu lama mengontrol negara.

Dengan begitu, relasi negara yang dipersonifikasikan pemerintah dengan _oligarchi_ tak hanya mampu dikendalikan dan ditundukkan, juga di jaga jarak idealnya agar kebijakan pemerintah tak mudah diokupasi _oligarchi_ yang dianggap menyabotase demokrasi. Sekalipun kita percaya bahwa dalam sistem demokrasi, _oligarchi_ pun mencari inang baru yang lebih menjanjikan.

Terlepas dari itu, menguatnya subkultur sosial akibat rangsangan subkultur politik (pemerintah), serta harapan perubahan pada inang baru pasca 2024, memberi optimisme bagi tidak saja kualitas demokrasi dan _governance_ di tingkat praktikal, juga menguji kualitas paradigma pemerintahan di ranah akademik (Ndraha, 2002), tentang apakah tanpa kepedulian, sikap konsumerisme, dan _class action,_ subkultur sosial akan selamanya terlemah dalam relasi ini?

Artikel Terkait