Opini

Kepolisian dan Krisis Kepercayaan

Oleh : luska - Sabtu, 15/10/2022 09:48 WIB

Oleh: Nur Danil.K

Pemberitaan hangat mengenai pembunuhan Brigadir Joshua yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo menambah maraknya tren negatif yang memperkeruh catatan kelam institusi kepolisian belakangan ini. Munculnya istilah 'oknum’ pun sering menjadi sorotan di kalangan masyarakat. Konotasi oknum yang dalam KBBI diartikan sebagai pribadi maupun individu memperhalus segelintir aparat yang pada realitanya banyak menyalahgunakan wewenang dan melawan hukum.

Wujud penegak hukum _(law enforcement officer)_ dan pemeliharaan ketertiban (order maintenance) pada peran kepolisian justru berkontradiktif dengan banyaknya distorsi yang muncul dalam internal kepolisian itu sendiri. Konsekuensi yang
harus ditanggung karena permasalahan tersebut membentuk opini distrust dari masyarakat yang tak bisa dipandang sabelah mata.

Salah satu imbas dari distrust ialah munculnya Tagar #PercumaLaporPolisi dan #TidakPercayaPolisi yang nyaring digencarkan masyarakat di jejaring media sosial sebagai bentuk kritik terhadap berbagai problematika yang sedang dipertontonkan oleh kepolisian sekarang ini.

_Impact_ lainnya membentuk opini masyarakat yang men-generalisasi secara sepihak terhadap aparat polisi yang sudah berkelakuan baik, salah satunya terlihat pada viralnya video barisan parade kepolisian yang diteriaki ‘Sambo’ oleh masyarakat. Ibarat pepatah karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Segala bentuk tuduhan maupun isu negatif mengenai judi online, narkoba, dan elit konsorsium dalam tubuh kepolisian yang beramai-ramai diangkat oleh media makin menambah pitam masyarakat terhadap eksistensi kepolisian. Hal ini tentu saja semakin menurunkan citra kepolisian di mata masyarakat.

Dilihat dari segi faktor, pada dasarnya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian didasari oleh tiga aspek yaitu kemampuan _(ability),_ kebaikan hati _(benevolence),_ dan integritas _(integrity,_ Mayer, 1995). Dalam kasus distrust kepolisian ini, tiga aspek tersebut patut dipertanyakan kehadirannya dalam sisi kepolisian. Bisa saja salah satu dari tiga ataupun keseluruhan faktor tersebut tidak terpenuhi dalam instansi kepolisian yang akhirnya memicu krisis kepercayaan dari masyarakat.

Dari segi integritas sendiri bisa dikatakan istilah tersebut sangat dekat dengan institusi kepolisian dalam pelaksanaan operasionalnya. Integritas sendiri dapat dilihat dari sudut kewajaran _(fairness),_ pemenuhan _(fulfillment),_ kesetiaan (loyalty), keterus-terangan _(honestly),_ keterkaitan _(dependability),_ dan kehandalan _(reliabilty,_ Kim, 2003).
Bercermin dari aspek integritas, kita dapat menilai sendiri secara langsung penerapannya melalui penyelesaian kasus pembunuhan brigadir Joshua yang belum sampai pada titik yang terang.

Tentunya masalah tersebut tak bisa dibiarkan terjadi terus menerus begitu saja, jika diabaikan akan berdampak vital terhadap eksistensi kepolisian di masa depan. Ini merupakan tantangan super berat bagi Polri untuk memulihkan kembali ke kondisi yang lebih baik.

Pemerintah pusat pun tidak boleh diam, Presiden sebagai atasan langsung kepolisian dan DPR sebagai perwakilan masyarakat perlu mengajak kepolisian untuk dapat berbenah secara besar-besaran. Paling tidak pendidikan karakter dan penanaman nilai integritas harus digencarkan kepada setiap aparat kepolisian sehingga kepercayaan masyarakat itu bisa diraih kembali secara utuh.

Pada akhirnya kepolisian harus melakukan _recovery_ dan regenerasi dengan tindakan yang nyata bukan dengan pernyataan pembelaan yang menyanggah berbagai opini dan persepsi dari berbagai pihak, karena pada dasarnya _facta sunt potentiora verbis_ (perbuatan atau fakta
lebih kuat dari kata-kata).

TAGS : Kepolisian

Artikel Terkait