Opini

Solusi Alternatif Pengganti Penangkapan CO2 secara CCS

Oleh : indonews - Senin, 31/10/2022 14:18 WIB

Solusi Alternatif Pengganti Penangkapan CO2. (Foto: Ist)

Oleh: Atmonobudi Soebagio*)

“Selain mengoptimalkan potensi panas bumi, PT Pertamina (Persero) terus mengembangkan teknologi penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon sebagai salah satu strategi menekan emisi. Tantangannya adalah teknologi penangkapan karbon masih mahal”. (Kompas - Senin, 31 oktober 2022, hal.10). Tulisan tersebut dikutip dari kolom Transisi Energi, dengan judul: Teknologi Penangkapan Karbon Terkendala Biaya.

Dunia saat ini menghadapi dua tantangan yang berpeluang menimbulkan kenaikan biaya yang sangat besar: (a) biaya kesehatan dan sosial yang dapat mempailitkan negara akibat pandemi COVID-19; dan (b) meningkatnya ancaman perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.  Kegagalan untuk mengatasi salah satu dari krisis ini dengan kuat dan efektif akan melemahkan kemajuan di sisi lain; respon keduanya menjadi global, mendesak dan dalam skala besar.  Dengan latar belakang ini, jumlah negara yang telah berjanji untuk mencapai emisi nol bersih telah berkembang pesat selama 18 bulan terakhir dan sekarang mencakup sekitar 70 persen emisi global CO2. Pada September 2020 di PBB, Presiden Xi berkomitmen China untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2050. Pemilihan Presiden Biden mengubah kebijakan AS; setelah bergabung kembali ke Perjanjian Paris yang kini telah disepakati untuk mencapai net zero emission by 2050. Ini adalah langkah maju yang besar maknanya. (Lord Nicholas Stern).

 

Menyerap CO2 Menggunakan Teknologi CCS.

Empat belas negara – Australia, Bahrain, Kanada, Cina, Mesir, Iran, Irak, Malawi, Mongolia, Norwegia, Arab Saudi, Afrika Selatan, United Emirat Arab dan AS – memiliki Carbon Capture and Storage (CCS) yang targetnya ditentukan secara Kontribusi Nasional (NDC) oleh masing-masing negara tersebut per Juli 2021.  Untuk ikut menghapus emisi karbon yang ada di atmosfir, Indonesia tidak perlu memaksakan diri untuk menggunakan CCS seperti yang dilakukan oleh 14 negara tersebut.  Dalam situasi global belakangan ini, ternyata banyak negara yang terpaksa memprioritaskan anggaran belanjanya untuk bidang kesehatan dan bantuan sosial bagi warga negaranya. Biaya pengoperasian teknologi CCS menjadi terasa semakin memberatkan, bila tidak ada sumber dana pendukung lainnya.  Perlu diketahui, bahwa teknologi CCS hanya menangkap CO2; tidak menghasilkan oksigen (O2).

 

Mengurangi Emisi CO2 Tanpa Teknologi CCS yang Mahal.

Komitmen Indonesia untuk mengakhiri penggunaan PLTU Batubara sebelum 2050 dan menggantikannya dengan penerapan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan serta ramah lingkungan, merupakan komitmen untuk menurunkan emisi CO2; meskipun tanpa menerapkan teknologi CCS.  Teknologi CCS telah digunakan oleh AS sejak tahun 1972; jauh sebelum pandemi maupun krisis energi dan pangan akibat perang Rusia vs Ukraina.  Krisis energi dan pangan yang melanda banyak negara akibat pandemi maupun perang Ukraina vs Rusia dirasakan oleh banyak negara.  Tidak tertutup kemungkinan, bahwa negara-negara pengguna CCS saat ini semakin terbebani anggarannya akibat kondisi tersebut.  Perlu diketahui, bahwa teknologi CCS hanya menangkap karbon dan menyimpannya di kedalaman bumi.

 

Solusi Alternatif lewat Reboisasi Hutan dan Penanaman Mangrove.

Jumlah pulau di wilayah Indonesia meningkat setelah Badan Informasi Geospasial (BIG) melaporkan adanya tambahan 229 pulau sejak tahun 2020.  Gazette Republik Indonesia mencatat ada 16.771 pulau di Indonesia pada tahun tersebut. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, ada 5 pulau besar di Indonesia.  Provinsi Papua Barat tercatat sebagai provinsi yang memiliki pulau terbanyak, yaitu 4.108 pulau.  Jumlah pulau di Papua Barat lebih banyak dari Kepulauan Riau (1.994 pulau), Sulawesi Tengah (1.632 pulau), Maluku (1.286 pulau), dan Maluku Utara (856 pulau). Dari pulau-pulau tersebut, mayoritas pulau tidak berpenduduk karena berukuran kecil.

Indonesia telah melakukan program Membentuk Hutan Bakau (mangrove) di sejumlah pulau yang berdekatan dengan pulau-pulau besar dalam mendukung program mengurangi emisi CO2 dan menekan suhu atmosfir bumiProgram Padat Karya Penanaman 600 Ribu Hektare Mangrove telah dimulai. Program ini dilakukan oleh Kemenko Marves, KLHK, dan KKP di 34 provinsi.  Penanaman mangrove dimaksudkan untuk mencegah abrasi, sebuah proses pengikisan pantai yang diakibatkan oleh gelombang dan arus laut yang dapat merusak.

Reboisasi Hutan dan Penanaman Mangrove mampu menghasilkan O2 dalam jumlah besar.  Sebagaimana tanaman lain yang menyerap CO2 dan menghasilkan O2, mangrove menjadi tanaman yang multifungsi: (a) mencegah abrasi, (b) menyerap CO2, dan (c) memperoduksi O2 bagi seluruh makhluk hidup.  Penulis berharap bahwa program penanaman mangrove semakin diperluas, mengingat manfaatnya sebagai penyerap CO2 dan penghasil O2.  Menghutankan kembali sejumlah hutan gundul lewat Program Reboisasi juga memiliki fungsi yang serupa, selain mencegah tanah longsor dan mengurangi dampak perubahan iklim yang berupa kenaikan suhu atmosfir bumi.

Dalam situasi pandemi yang belum berakhir dan krisis energi yang belakangan ini semakin menguat, Pemerintah diharapkan memperbesar anggaran reboisasi untuk memperbaiki hutan-hutan yang gundul dan maupun menambah jumlah luas lahan yang harus ditanami mangrove; daripada menerapkan program berbasis teknologi CCS.  Bahkan, pulau-pulau yang tidak berpenduduk juga perlu dijaga eksistensinya lewat penanaman mangrove agar tidak hilang dari peta Indonesia akibat abrasi.  Lewat program ini, biaya untuk mengurangi emisi karbon dapat dikurangi, tanpa menerapkan penerapan teknologi CCS yang berbiaya besar karena proses penyimpanan karbonnya dilakukan dengan meletakkannya di kedalaman bumi.

Sekiranya program reboisasi hutan dan penanaman mangrove dilakukan di seluruh pulau kecil tidak berpenduduk maupun di pesisir pulau besar, niscaya Indonesia tidak perlu menggunakan teknologi CCS yang sangat mahal. Semoga menjadi pertimbangan Pemerintah.***             

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah GB Teknik Daya Listrik pada Universitas Kristen Indonesia.                                      

Artikel Terkait