Nasional

Pengamat: Perlawanan pada KUHP Hanya Momentum yang Dimanfaatkan Pelaku Teror

Oleh : very - Rabu, 07/12/2022 20:48 WIB

Senior researcher di Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Bom bunuh diri terjadi di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung, Rabu (7/12/2022) pukul 08.00 WIB. Pelaku masuk ke dalam Polsek dan memaksa mendekati anggota yang tengah melaksanakan apel pagi. Akibat bom bunuh diri tersebut adalah  11 korban, 10 di antaranya adalah polisi, satu korban anggota Polri meninggal akibat ledakan tersebut.

Pelaku bom di Polsek Astana Anyar diketahui Bernama Agus Sujatno, yang dari hasil penyelidikan merupakan mantan napiter yang pada 27 Februari 2017 ditangkap karena kasus bom panci yang diledakkan di Taman Pandawa, Kelurahan Arjuna, Kota Bandung. Pada saat penangkapan pada 2017 diketahui Agus sudah merencanakan untuk melakukan aksi di Mapolda Jawa Barat.

Agus Sujatno ditahan selama 4 tahun sejak 14 Maret 2017 dan bebas pada 14 Maret 2021. Agus Sujatno alias Agus Muslim alias Abu Muslim dan Soleh Abdurrahman alias Gungun alias Abu Fursan ini merupakan bagian dari Jamaah Ansharut Daulah yang berafiliasi dengan ISIS. Agus Sujatno mempunyai keahlian membuat bom dari bahan TATP ((triaceton triperoxide).

Senior researcher di Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta, mengatakan, terkait dengan simbol atau pesan yang ditemukan di sepeda motor yang diduga dibawa pelaku sebelum aksi bunuh diri yang menunjukkan perlawanan terhadap KUHP, merupakan hal yang dapat dinilai hanya sebagai momentum yang dimanfaatkan pelaku.

“Kelompok JAD dalam berbagai aksinya menargetkan polisi sebagai sasaran utama karena dianggap sebagai thaghut. Selain polisi, JAD juga menjadikan tempat ibadah sebagai sasaran,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (7/12).

Stanislaus mengatakan, Agus Sujatno selama menjalani masa tahanan adalah napiter yang sangat keras dan menolak untuk mengikuti deradikalisasi. Selain itu karena sifatnya yang keras, Agus Sujatno ditempatkan di Super Maximum Security di Nusakambangan. Bahkan pada saat menjalani masa tahanan, Agus Sujatno tidak mau berkomunikasi dengan sipir atau petugas lain. Deradikalisasi yang merupakan program sukarela tidak bisa dipaksakan kepada Agus Sujatno.

Informasi diatas sekaligus menepis berbagai cibiran soal program deradikalisasi, mengingat pelaku saat menjalani hukuman tidak mau mengikuti program deradikalasi.

“Namun dengan karakter pelaku tersebut seharusnya ada pengawasan yang sangat ketat pasca pelaku bebas dari hukuman, mengingat bagi narapidana yang tidak mau mengikuti program deradikalisasi kemungkinan kembali melakukan aksi teror cukup besar,” katanya.

Terkait dengan potensi aksi teror yang dikhawatirkan terjadi di masa menjelang Natal dan Tahun Baru, Stanislaus mengatakan, hal tersebut harus diwaspadai. Hal itu mengingat beberapa kali aksi teror terjadi memanfaatkan momentum perayaan Natal dan Tahun Baru. Selain itu beberapa aksi teror juga terjadi di tempat ibadah dan tempat publik.

Karena itu, Pemerintah, menurutnya, tidak bisa sendirian dalam mendeteksi, mencegah, dan menangani aksi teror.

“Pelibatan masyarakat luas sebagai komponen negara yang paling besar harus dilakukan. Kesadaran masyarakat terkait radikalisme dan terorisme adalah musuh bersama harus dikuatkan sehingga ruang bagi proses radikalisasi di masyaraksi bisa semakin terbatas dan aksi  teror bisa dicegah,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait