Opini

Apa itu Indonesia`s FOLU Net Sink 2030? Tinjauan Aspek Manfaatnya di Lingkup Sosial dan Ekonomi bagi Indonesia secara Berkelanjutan

Oleh : very - Selasa, 27/12/2022 11:23 WIB

Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah GB Energi Listrik dan Terbarukan, serta Pemerhati Pembangunan Berkelanjutan pada Universitas Kristen Indonesia. (Foto: Ist)

 

Atmonobudi Soebagio*)

Apa itu Conference of Parties (COP)?

COP adalah singkatan dari Conference of Parties atau Konferensi Para Pihak, yang merupakan frasa umum dalam bahasa Hubungan Internasional, yang berarti sebuah komite yang dibentuk setelah perjanjian internasional ditandatangani, bertugas membuat keputusan tentang bagaimana perjanjian itu diimplementasikan.

Ada berbagai macam COP untuk berbagai perjanjian internasional, mulai dari senjata kimia hingga memerangi penggurunan. Tetapi istilah COP di sini dikaitkan dengan pertemuan satu komite tertentu: yang dibentuk setelah penandatanganan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).

154 negara menandatangani UNFCCC pada bulan Juni 1992, setuju untuk memerangi dampak manusia yang berbahaya terhadap iklim. Sejak itu, pertemuan COP diadakan (hampir) setiap tahun untuk membahas bagaimana tepatnya hal itu harus dicapai, dan memantau kemajuan yang telah dicapai. Setiap COP biasanya disebut dengan nomornya dalam seri, mis. COP26 merupakan pertemuan COP ke-26.

Setiap tahun, negara yang berbeda menjadi presiden COP, yang bertugas mengatur dan menjalankan pertemuan tahun itu. Biasanya ini berarti kota tuan rumah juga berpindah setiap tahun. Setiap perjanjian baru yang dibuat di COP cenderung dinamai menurut nama kota tuan rumah, mis. Perjanjian Paris 2015 atau Pakta Iklim Glasgow 2021.

Politisi, diplomat, dan perwakilan pemerintah nasional mungkin adalah orang-orang paling penting yang diundang ke COP, tetapi mereka bukan satu-satunya. Banyak orang lain hadir untuk mencoba mempengaruhi hasilnya. Misalnya, banyak pelobi bahan bakar fosil bergabung dalam pembicaraan untuk mencoba melindungi industri mereka dari tindakan yang sangat dibutuhkan untuk mempertahankan batu bara, minyak, dan gas di dalam tanah. Di COP26, ditemukan bahwa jika kalangan industri bahan bakar fosil diibaratkan sebuah negara, maka ia akan memiliki satu-satunya delegasi terbesar di konferensi tersebut.

Di sisi yang berlawanan, ada pembela tanah dan lingkungan serta masyarakat adat yang menyerukan perlindungan yang lebih besar untuk wilayah mereka terhadap eksploitasi oleh industri yang merusak lingkungan seperti penebangan, pertambangan, dan agribisnis industri. Organisasi iklim seperti Global Witness sering mengirim perwakilan untuk mengadvokasi tindakan cepat dan ambisius untuk mengatasi krisis iklim.

 

Indonesia dengan Program FOLU Net Sink 2030.

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ruandha Agung Sugardiman, memaparkan strategi pencapaian Indonesia’s FOLU Net Sink 2030Indonesia’s FOLU Net-Sink 2030 merupakan suatu kondisi dimana tingkat serapan karbon sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya sudah berimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi yang dihasilkan sektor tersebut pada tahun 2030.

Dalam acara Sosialisasi Sub Nasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 di Lampung, Senin (22/8), Ruandha menjelaskan bahwa FOLU Net Sink 2030 dapat dicapai melalui 11 langkah operasional mitigasi sektor FOLU, yaitu: (a) Pengurangan laju deforestasi lahan mineral; (b) Pengurangan laju deforestasi lahan gambut; (c) Pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral; (d) Pengurangan laju degradasi hutan lahan gambut; (e) Pembangunan hutan tanaman; (f) Sustainable forest management; (g) Rehabilitasi dengan rotasi; (h) Rehabilitasi non rotasi; (i) Restorasi gambut; (j) Perbaikan tata air gambut; dan (k) Konservasi keanekaragaman hayati.

Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 mendorong kinerja sektor kehutanan menuju target pembangunan yang sama, yaitu tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030.  Pijakan dasar utamanya adalah sustainable forest management, environmental governance, dan carbon governance,” kata Ruandha yang hadir secara virtual.  Ruandha melanjutkan, capaian FOLU Net Sink 2030 sangat ditentukan oleh pengurangan emisi akibat deforestasi hutan dan lahan gambut.

Pada tahun 2030, Indonesia harus menurunkan 29% dari Business as Usual, dan bisa mencapai 41% lebih rendah apabila ada dukungan dari international. Dari target penurunan emisi 41% tersebut, 24,1% berasal dari sektor kehutanan, artinya sektor kehutanan memiliki porsi terbesar, yakni 60% dari total kewajiban Indonesia untuk menurunkan emisinya. “Sektor kehutanan menjadi tumpuan Indonesia untuk bisa menurunkan emisi gas rumah kacanya, oleh karena itu, kita harus menyusun Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 sampai ke tingkat provinsi dan daerah, agar penurunan emisi 60% dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya dapat tercapai,” tegas Ruandha.

 

Manfaatnya bagi Indonesia secara ekonomi.

Menurut Gasman (Harian AB, 1984), 1 hektar daun-daun hijau dapat menyerap 8 kg CO2/jam; yang setara dengan CO2 yang dihembuskan oleh sekitar 200 manusia dalam waktu yang sama sebagai hasil pernafasannya.  Jika kita hubungkan dengan luas hutan Indonesia yang sebesar 66.512.000 hektar, maka luasan tersebut mampu menyerap CO2 yang dihembuskan oleh 13,3 miliar penduduk per jam.  Dengan asumsi bahwa jumlah penduduk Indonesia adalah 270 juta orang, maka potensi hutan Indonesia mampu menyerap CO2 yang dihembuskan oleh 49,3 kali jumlah penduduk Indonesia.  Turunnya emisi CO2 di atmosfir Indonesia oleh serapan hutan alami, hutan tanaman industri, hutan bakau dan diproduksinya O2 oleh ketiga jenis hutan tersebut, akan membuat atmosfir Indonesia semakin surplus O2 bagi penduduk Indonesia maupun dunia. 

Bila kondisi surplus dapat kita rawat, bahkan ditingkatkan secara berkelanjutan, surplus tersebut merupakan peluang bagi Indonesia dalam perdagangan kabon dengan negara-negara lain yang minus O2 karena banyaknya sektor industri dan sektor transportasi di negara mereka yang mengemisikan CO2. Semoga keberhasilan program ini dapat menjadi sumber devisa baru bagi Indonesia.

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah GB Energi Listrik dan  Terbarukan, serta Pemerhati Pembangunan Berkelanjutan pada Universitas Kristen Indonesia.

Artikel Terkait