Nasional

Waspadai Penunggangan Bughat di Tengah Polemik Undang-Undang Cipta Kerja

Oleh : very - Sabtu, 14/01/2023 20:43 WIB


Wakil Direktur Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Dr. H. Andi Aderus, Lc., MA. (Foto: ist)

 

Makassar, INDONEWS.ID - Berbagai bentuk perlawanan terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja bisa kita lihat hingga hari ini tersebar di internet dan media sosial.

Ada yang melakukan kritik secara sehat yaitu dengan memberikan saran yang membangun, namun ada juga yang justru malah membangun bughat di berbagai platform penyebaran informasi.

Hal ini turut menjadi perhatian Wakil Direktur Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Dr. H. Andi Aderus, Lc., MA.

Dia menyebut istilah bughat memiliki arti pembangkangan terhadap negara. Baik pembangkangan yang berbentuk narasi maupun tindakan melawan pemerintah, yang dinilai justru dapat mengancam stabilitas negara.

“Lebih berbahaya lagi, bughat yang dilakukan bukan lagi dalam konteks perorangan, namun dalam konteks kelompok atau organisasi yang memiliki pemimpin yang ditaati, serta lebih berbahaya lagi jika sudah memiliki kekuatan. Kekuatan yang dimaksud bisa berarti kekuatan politik atau bahkan kekuatan militer dengan persenjataan dan kemampuan perang yang telah dilatih,” ujar Dr. H. Andi Aderus, di Jakarta, Sabtu (14/1/2023).

Dia melanjutkan, sejatinya narasi-narasi pembangkangan sudah bisa dikatakan sebagai bughat. Sebab, bughat  bisa terbagi ke beberapa tingkatan yang bisa dikategorikan tergantung dari tingkat kebughatan (pembangkangan)-nya.

“Ada pelaku bughat yang bisa dibina dengan narasi-narasi yang dapat mengubah cara pikirnya atau untuk menetralisasi pikirannya, ada pula pelaku bughat yang harus ditangani melalui pembinaan khusus,” ujanrya.

Dijelaskannya, Islam mengajarkan bahwa ketaatan terhadap pemerintah adalah hal yang wajib. Al Quran menjelaskan bahwa ketaatan terhadap pemerintah itu ada secara paralel karena ada taat pada Allah, taat pada rasul, lalu kemudian taat pada ulil amri, atau dalam konteks bernegara dimaknai sebagai pemerintah yang sah.

“Ketaatan pada pemerintah merupakan hal yang penting karena menyangkut kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” jelas pria yang juga menjabat sebagai Ketua Pengurus Wilayah Darud Da’wah Wal Irsyad Sulawesi Selatan (PW DDI Sulsel) ini.

Andi Aderus menilai bahwa perilaku bughat sebagai tindakan yang mengganggu stabilitas negara, sekaligus mengganggu stabilitas perekonomian, serta pada saat yang sama masyarakat jadi tidak bisa hidup dalam perdamaian. Hal inilah yang menjadikan perlunya deteksi dini terhadap hal-hal yang mengarah terhadap perbuatan bughat.

“Begitu pentingnya ketaatan pada pemerintah yang sah, seringkali digambarkan dengan perumpamaan bahwa terhadap pemerintah yang zalim saja kita dilarang untuk melakukan pembangkangan,” ucapnya.

Pasalnya, ketidaktaatan terhadap pemerintah telah menunjukkan dampak besar di beberapa negara timur tengah. Sebagai contoh Libya, yang pernah memiliki pemimpin yang bernama Muammar Gaddafi, merupakan sosok yang dibenci oleh rakyatnya dan dampaknya jadi jauh lebih buruk di negara itu dan akhirnya semua jadi menyesal.

“Contohnya kondisi negara Libya saat ini pun jadi butuh waktu yang lama untuk kembali normal. Setidaknya butuh puluhan bahkan mungkin ratusan tahun untuk mengobati dampak dari pembangkangan terhadap pemimpinnya sendiri,” ujar Pimpinan Pondok Pesantren DDI Pattojo Kabupaten Soppeng ini.

Dijelaskannya, dalam pandangan Ahlussunnah wal Jamaah, andai kata pemerintah yang menaungi masyarakat memang zalim, maka masyarakat hanya wajib untuk memberikan pendapat dan nasihat kepada mereka tanpa melakukan pembangkangan.

“Karena justru dengan pembangkangan itu akan berdampak jauh lebih buruk terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara kita,” ujar pria yang aktif sebagai Ketua ICATT (Ikatan Cendekiawan Alumni Timur Tengah) periode 2020-2024 ini.

Sehingga, Andi menyebut dalam menyampaikan masukan, nasihat, ataupun saran terhadap pemerintah bisa dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang baik, jangan dengan menggunakan narasi-narasi yang dapat mencabik-cabik perasaan dan persaudaraan sebangsa dan setanah air.

“Andai kata di kemudian hari kebijakan yang diambil pemerintah perlu dilakukan evaluasi, kita sebagai elemen bangsa dapat memperbaikinya secara bersama-sama sesuai dengan porsi diri kita masing-masing. Jika porsi kita hanya sebatas dapat memberikan saran dan kritik, maka lakukanlah dengan cara yang baik,” tegasnya.

Terakhir, Andi juga menilai kebijakan pemerintah sudah sepatutnya dapat disosialisasikan secara khusus kepada para pemuka agama yang notabene didengar oleh banyak orang. Pada konteks UU Cipta Kerja, para pemuka agama juga perlu diyakinkan bahwa pada kebijakan pemerintah ini terdapat banyak hal yang positif seperti dapat memangkas birokrasi-birokrasi yang kurang diperlukan yang dapat menghambat percepatan investasi dan lain sebagainya.

“Apabila para pemuka agama dapat menyampaikan kepada para pengikutnya, maka dampaknya akan sangat baik bagi negara ini karena semakin tumbuh optimisme di tengah-tengah masyarakat atas kebijakan pembuatan UU Cipta Kerja yang telah diambil,” ujar Andi Aderus. ***

Artikel Lainnya