Nasional

Ritual Oligarki Menuju 2024, Launching Outlook LP3ES

Oleh : luska - Minggu, 29/01/2023 19:23 WIB

Jakarta, INDONEWS.ID - Hari ini, Minggu, 29 Januari 2023, LP3ES me-release outlook demokrasi yang merupakan buku kelima selama lima tahun terakhir. Hadir sebagai pembicara adalah para penulis buku antara lain: Wijayanto, Titi Anggraini, Herlambang P Wiratraman, Bangkit Wiryawan, dan Malik Ruslan. Webinar diawali Sambutan Direktur Ekesekutif LP3ES.

Fahmi Wibawa, Direktur Eksekutif LP3ES

Mengawali webinar, Fahmi Wibawa memberi pengantar diskusi mengenai situasi demokrasi sekarang ini yang sedang tidak baik-baik saja. Sampai dengan akhir tahun 2022 lalu, lahirnya beberapa  produk peraturan perundang-undangan yang didorong pemerintah, seperti revisi  UU KPK, UU Cipta Karya, UU Minerba, dan klimaksnya adalah pengesahan UU KUHP 2022,  menempatkan iklim demokrasi Indonesia di titik nadir. Berbagai produk hukum oligarkis tersebut, yang diklaim sebagai formula mengantisipasi ancaman resesi  ekonomi global sekaligus menyongsong Pemilu 2024, sejatinya malah memasung demokrasi dan mengerdilkan peran rakyat.

Demokrasi di Indonesia dinilai cacat yang ditandai dengan oposisi yang lemah, kebebasan  sipil yang menurun, dan menguatnya negara dalam menekan kritik. LP3ES sebagai lembaga intelektual dan cendekiawan yang sudah berdiri sejak tahun 1971, melihat situasi ini dan memberikan perhatian pada upaya mencari solusi atas permasalahan yang terjadi dengan menerbitkan buku refleksi dan outlook demokrasi. Hal ini bertujuan untuk menyadarkan kita semua tentang masalah serius yang terjadi pada demokrasi kita saat ini dan upaya untuk menemukan jalan keluar dari setiap masalah yang ada. 

Wijayanto, Direktur Pusat Media dan Demokrasi, LP3ES

Sebagai pembicara pertama pada webinar ini, Wijayanto menekankan tentang pemilu kita yang diibaratkan sebagai suatu ritual yang seperti “ritual pacuan kuda” ,dalam artian bahwa dari pemilu ke pemilu merupakan suatu kompetisi yang justru tidak menjawab tujuan pemilu itu sendiri, padahal pemilu adalah untuk memilih pemimpin untuk sirkulasi kekuasaan yang bertujuan untuk mementingkan kepentingan publik, namun demokrasi kita malah mengalami kemunduran dan menuju pada otoritarianisme. Hanya sirkulasi kekuasaan diantara elite bukan untuk kepentingan umum.

Sayangnya menuju pemilu 2024, kemunduran demokrasi dan kecenderungan putar balik ke arah otoriterisme masih juga berlangsung yang antara lain ditandai dengan: diabaikannya aturan main demokratis, absennya oposisi karena pelemahan sistematis oleh negara, toleransi atau anjuran terhadap kekerasan, dan pembrangusan kebebasan sipil termasuk media.

Pertama, diabaikannya aturan main demokratis nampak pada terus mengemukanya wacana penundaan pemilu dan pemecatan hakim MK secara sepihak oleh DPR. Pindah ibu kota yang UU nya baru disahkan 2022 tapi sebenarnya sudah diputuskan sejak 2019 tanpa konsultasi public adalah penanda lainnya.

Kedua, absennya lawan politik memberi kita parlemen yang menjadi paduan suara Bersama pemerintah dalam berbagai hal: UU Cipta Kerja, RKUHP, juga pelemahan KPK. Ia memberi kita salah satu periode paling membosankan dalam sejarah parlemen Indonesia. One hundred years of solitude, mungkin pas untuk menggambarkan bungkamnya parlemen kita untuk memperjuangkan kepentingan warga. 

Ketiga, toleransi atau anjuran terhadap kekerasan terjadi pada kasus Kanjuruhan, kasus Ferdy Sambo, dan berbagai data lain (lihat PPT). Kasus Sambo memberikan satu pesan, yang mengutip Goenawan Mohamad: “Banyak yang tahu, di kamar-kamar tahanan polisi, penyiksaan dan pemerasan tak jarang dilakukan,  dan hampir selamanya dibiarkan. Pelan-pelan, brutalitas itu jadi “kebudayaan”.”

Keempat, pemberangusan kebebasan sipil termasuk media. Terdapat 263 kasus hingga kuartal ketiga 2022. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun lalu dengan 193 kasus (2021) dan 147 kasus (2020). Serangan digital ini juga berpengaruh terhadap kebebasan pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa ada setidaknya 14 kasus serangan digital terhadap wartawan dan media pada tahun 2022.

Berbagai gejala kemunduran demokrasi itu pada dasarnya merefleksikan dominannya kuasa oligarki dalam sistem politik Indonesia. Di sini, oligarki didefinisikan sebagai suatu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan kekayaan dan kewenangan di tangan segelintir elite beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya (Robison dan Hadiz, 2013). Ia juga dapat didefinisikan sebagai politik pertahanan kekayaan di antara para aktor yang menguasainya (Winters, 2013).

Dalam struktur kekuasaan yang oligarkis ini, kita khawatir pemilu 2024 hanya akan menjadi ajang sirkulasi kekuasaan di antara elit oligarki yang memunggungi demokrasi di satu sisi, dan mengabaikan warga negara dalam kebijakan-kebijakan mereka di sisi yang lain. Dengan demikian, pemilu hanya menjadi ritual yang tidak bermakna bagi upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Titi Anggraini, Dewan Pembina PERLUDDEM

Titi Anggraini melanjutkan diskusi dengan memberi tajuk “Cakap Tak Serupa Bikin : Jalan Terjal Pemilu 2024 dan Resiliensi Masyarakat Sipil”. Titi memantik diskusi dengan menekankan bahwa bukan masyarakat namun elite yang membuat jalan menjadi terjal, contohnya adalah penundaan pemilu, sampai penghujung 2022 masih terdapat wacana untuk menimbang kembali pemilu 2024. Pada 2022, persiapan pemilu tersendat, selain itu pada tahun ini muncul indikasi kecurangan verifikasi faktual partai politik secara struktural, berikut adanya yudisialisasi politik peraturan pemilu akibat tidak direvisinya UU Pemilu, contohnya mantan terpidana, penataan daerah pemilihan dan upaya melalui uji materiil sistem pemilu. Dan adanya anomali penjabat kepala daerah.

Masyarakat sipil dapat berperan dalam mengantisipasi ini dengan menunjukan resiliensinya, contohnya transformasi pemantauan pemilu, adanya adaptasi kelenturan pada advokasi yudisial, dan kemampuan mendapatkan kepercayaan informan whistle blower.

Pada 2023, Titi memprediksikan bahwa situasi serupa akan tetap terjadi. Elite akan tetap gaduh dan tetap minus politik gagasan diskursus, dan sangat ‘elitis’. Serta mereka cenderung menginginkan masa kampanye yang pendek namun di saat yang sama, ingin bersosialisasi di ‘masa tunggu’, guna menghindari akuntabilitas di masa kampanye. 

Serangkaian peristiwa 2022, bahwa upaya mewujudkan demokrasi prosedural sekalipun bukanlah sesuatu yang mudah termasuk juga bagian substansinya. Praktik pemilu selama ini reguler dilakukan bahkan mendapatkan tantangan yang justru datang dari para elite politik hasil dari proses pemilu itu sendiri. Elite politik sangat cakap dan fasih saat mengumumkan jargon-jargon mereka, akan tetapi dalam pelaksanaannya cenderung inkonsistensi. Alias cakap tak serupa bikin. 

Oleh karena itu masyarakat sipil perlu bersikap resilien dalam menghadapi situasi di pemilu 2024. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah merebut Pemilu 2024 melalui penetrasi pada pemilih muda yang jumlahnya lebih dari 50% dari 200 juta lebih pemilih Indonesia pada 2024 (dengan 15% di antaranya adalah pemilih berusia 17-23 tahun).

Bangkit A. Wiryawan, Dosen FISIP UNDIP/LP3ES

Pembicara ketiga yaitu Bangkit A. Wiryawan, mengawali pemaparannya mengenai dinasti politik. Bangkit menyebutkan bahwa dinasti politik juga berkontribusi terhadap buruknya demokrasi di Indonesia. Adanya celah pada instrumen hukum negara menjadi salah satu faktor langgengnya praktik dinasti politik di Indonesia, yakni Putusan MK No. 33 2015. Argumen ini berangkat dari hasil penelitian pengukuran dampak perubahan kepemimpinan untuk konteks pilkada dari kurun waktu 2013-2017. 

Dampak dari dinasti politik biasanya muncul pada tahun politik, yaitu sekitar satu tahun sebelum penyelenggaraan pilkada. Dari 15 daerah hanya 3 daerah terdapat pertumbuhan pengeluaran perkapita, tingkat pengeluaran perkapita selama dinasti politik di tahun pertama dan kedua disetiap daerah rata-rata negatif.

Concern terhadap semakin menguatnya dinasti politik menarik untuk dikaji secara ilmiah, spesifiknya untuk mengukur dampak fenomena tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat di tingkat daerah. Sebanyak 15 kasus dinasti politik di tataran eksekutif daerah kabupaten/kota berhasil dihimpun. Tahun penyelenggaraan pilkada, atau tahun sebelumnya apabila pilkada dilaksanakan pada awal tahun, menjadi tahun observasi. Sebagai pembanding, digunakan data rata-rata provinsi. Hasilnya ditemukan bahwa bahwa dinasti politik daerah secara rata-rata ikut menyumbang penurunan pertumbuhan kesejahteraan sebesar 0.8% dibandingkan rata-rata provinsi. Dinasti politik juga turut menyumbang terhadap meningkatnya indeks keparahan kemiskinan sebesar 0.7% dibandingkan dengan rata-rata provinsi.

Herlambang P. Wiratraman, Direktur Pusat Hukum dan HAM LP3ES

Posisi negara hukum Indonesia memperlihatkan perlindungan warga negara masih jauh ideal, realitas dari waktu ke waktu sepanjang 2022 tidak ada yang mengejutkan, karena sudah dapat terlihat dari peraturan yang dibuat. Refleksi tersebut dapat dilihat pada 3 poin utama   pertama pembentukan hukum semakin otokratis, kedua penegakan hukum bagaimana hukum bekerja, dan pelanggaran HAM dan Impunitas.Sepanjang tahun 2022 ada beberapa produk hukum yang akan besar dampaknya, misalnya RKHUP dan UU Cipta Kerja .

Dari refleksi tersebut ada begitu banyak pasal pasal  justru akan mengancam kebebasan sipil. Pembatasan digunakan seakan akan tepat namun tidak menjawab permasalahan mendasar contohnya kritik terhadap presiden dan lembaga pemerintah, dari sisi penegakan hukum refleksi 2022 ada beberapa kasus yang dapat dilihat kurangnya perlindungan hukum kepada masyarakat misalnya kasus wadas (serangan yang sistematis dan terencana). Peristiwa peristiwa tersebut juga memperlihatkan birokrasi menyumbang pembusukan pada negara hukum,

Sejumlah peristiwa HAM yang terjadi, banyak yang tertutup dengan peristiwa besar lainnya. Seperti peristiwa anak-anak muda yang dipenjara dengan tuduhan yang tidak mereka lakukan. Peristiwa ini menjadi potret dimana hukum tidak bekerja secara adil. 

Refleksi akhir dari situasi 2022 guna melihat situasi di tahun 2023, kurang lebih akan serupa. Kekerasan, impunitas, dan lemahnya penegakan hukum dan HAM  menjadi warna dominan sepanjang tahun 2022, sebagai salah satu akibat  dari melemahnya demokrasi. Pada waktu yang sama, pembentukan hukum  merefleksikan menguatnya karakter legalisme otokratis. Pengesahan KUHP dan  UUCK menjadi penanda yang sangat kuat. Sementara itu, penegakan hukum  dan HAM yang tidak serius, paralel dengan lumpuhnya penopang perlindungan  hak-hak dasar warga, tak terkecuali lemahnya politik hukum kekuasaan untuk  memangkas mata rantai impunitas.

Malik Ruslan, Peneliti/Editor Senior LP3ES

Malik ruslan menutup diskusi dengan pemaparannya mengenai politik anti korupsi. Malik menekankan terdapat semacam arus balik yang semakin mengkhawatirkan terutama dalam kaitannya negara dalam melawan korupsi. Menurutnya Korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa, misalnya dicabutnya PP No. 99 Tahun 2012 kemudian lahirnya uu 22 tahun 2022. Dengan dicabutnya uu tersebut maka semua orang atau tersangka berhak mendapatkan remisi. Tajam ke bawah, tumpul ke bawah, pada akhirnya korupsi dianggap sama dengan kejahatan “mencuri ayam”.

Politik anti korupsi mengalami involusi, konsekuensi negara menafsirkan korupsi–memberikan arti bahwa hukum saat ini tidak lagi mendukung korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Korupsi lalu dianggap menjadi kejahatan biasa.

Apa yang akan dihadapi oleh indonesia pada tahun 2023 nanti?persoalan yang terjadi akan sama seperti yang sudah terjadi pada tahun 2022. Tahun 2022 ditandai, antara lain, dengan kian menguatnya tanda-tanda  involusi politik antikorupsi yang sifatnya fundamental. 


 


 

TAGS : LP3ES

Artikel Terkait