Nasional

ICJR: Pesan Penting Penguatan Sistem JC dalam Putusan Bharada E

Oleh : very - Rabu, 15/02/2023 21:18 WIB

Bharada E. (Foto: Antara)

Jakarta, INDONEWS.ID - ICJR mengapresiasi putusan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan pada hari ini, Rabu, 15 Februari 2023, yang mengakui status Bharada E sebagai Justice Collaborator (JC) dan akhirnya menjatuhkan pidana paling ringan di antara para pelaku lainnya yakni 1,5 tahun penjara.

Putusan ini adalah putusan penting untuk penguatan sistem JC di Indonesia. “Namun, ICJR di sisi lain menyayangkan majelis hakim yang memutus Ferdy Sambo dengan pidana mati. ICJR tetap berharap korban dan keluarga korban mendapatkan pemulihan dan keadilan, namun tetap percaya Hukuman Mati bukanlah jawaban,” ujar Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (15/2).

Erasmus mengatakan, proses di pengadilan harus diapresiasi karena berhasil membongkar upaya rekayasa kasus dan obstruction of justice dalam perkara ini.

ICJR secara khusus memberikan apresiasi kepada majelis hakim dengan putusannya yang secara tegas mengakui kedudukan Bharada E sebagai JC. Tidak hanya sampai di situ, majelis hakim juga sepakat dengan argumen-argumen yang disampaikan dalam amicus curiae oleh ICJR dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk memberikan penghargaan berupa penjatuhan hukuman paling ringan di antara pelaku lainnya.

“Apresiasi kami sampaikan pula kepada jaksa penuntut umum dan LPSK yang telah memperlakukan Bharada E sebagai JC dan memberikan berbagai perlakuan khusus dan perlindungan selama proses peradilan. Walaupun masih belum berkekuatan hukum tetap karena masih dimungkinkan adanya upaya hukum lanjutan, ICJR berharap agar peradilan tetap terus konsisten memberikan perlakuan dan perlindungan khusus terhadap Bharada E sebagai JC sebagaimana yang dipraktikkan selama ini,” ujarnya.

Putusan majelis hakim pada kasus Bharada E ini, kata Erasmus, merupakan praktik baik bagaimana pengadilan harusnya memperlakukan JC dan harapannya juga dapat memotivasi JC-JC yang lain untuk berani membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana.

Namun pada bagian yang lain, ICJR menyayangkan vonis pidana mati terhadap Ferdy Sambo. Tuntutan penjara seumur hidup dari penuntut umum semestinya sudah tepat dibanding vonis pidana mati yang dijatuhkan majelis hakim.

“ICJR memahami terdapat kemarahan keluarga korban dan masyarakat pada kasus ini, namun ICJR menilai hukuman mati bukanlah jawaban atas pemulihan menyeluruh yang harusnya diberikan kepada korban dan keluarga korban,” ucapnya.

ICJR menilai sistem di Indonesia saat ini lebih pada menghukum pelaku, di sisi lain fokus tidak terlalu banyak berorientasi pada pemulihan korban.

Merujuk  Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana misalnya, menyatakan bahwa dalam hal korban tindak pidana belum mengajukan restitusi/ganti kerugian, maka hakim memberitahukan hak korban tersebut untuk bisa mengajukannya sebelum tuntutan dibacakan oleh jaksa penuntut umum atau setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

Hal ini sayangnya belum terjadi di ruang sidang, pun belum jelas langkah lanjutan pemulihan korban atau keluarga korban, mekansime pemulihan seperti bantuan psikososial bagi keluarga korban baiknya dapat mulai diinisiasi oleh LPSK atau institusi berwenang lainnya.

Jika dilihat dari kacamata kebijakan pidana yang lebih luas, ICJR juga memandang bahwa penggunaan pidana mati bukan menjadi cara yang tepat untuk merespons kejahatan. Sebab, dengan dijatuhkannya hukuman mati, masalah kemudian seolah-olah dianggap selesai. Padahal ada pekerjaan rumah yang lebih penting dan mendasar untuk menyelesaikan akar masalah mengapa kejahatan tersebut masih terjadi, sedangkan fokus perhatian hanya menjadi soal menghukum berat pelaku.

Namun begitu, ICJR kembali perlu mengapresiasi Hakim dan Jaksa karena kasus ini juga berhasil membongkar kasus dan memberikan gambaran budaya kekerasan di tubuh kepolisian, dan tidak boleh dilupakan, disaat yang sama, sedang bergulir persidangan kasus Kanjuruhan di PN Surabaya, yang isunya juga erat kaitannya dengan institusi Polri.

Kasus-kasus ini, kata Erasmus, harus dapat dilihat oleh para pembuat kebijakan sebagai sinyal genting untuk mereformasi institusi kepolisian agar lebih akuntabel dan berperspektif HAM dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Karena itu, belajar dari kasus ini, ICJR merekomendasikan pertama, untuk memperkuat mekanisme perlindungan hak korban dan saksi termasuk saksi pelaku yang bekerja sama.

Kedua, memperkuat mekanisme pemulihan korban dan keluarga korban terdampak tindak pidana.

“Ketiga, evaluasi dan reformasi di tubuh kepolisian merespon persoalan pengawasan dan pembenahan internal dari budaya kekerasan yang mungkin belum banyak terungkap ke publik,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait