Nasional

Tak Cukup Hanya Bernilai Filosofis, Ideologi Harus Berwujud dan Berbentuk

Oleh : very - Rabu, 05/07/2023 11:22 WIB

Taprof Bidang Ideologi, Lemhannas RI AM Putut Prabantoro di tengah peserta Program Summer Course Global Legal Issues yang diselenggarakan Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Selasa (04/07/2023). (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Dunia sudah berubah dan tidak seperti dulu lagi. Covid-19 secara tidak langsung meluaskan makna ideologi. Dan karena Covid juga, pemaknaan globalisasi juga mendapatkan pemaknaan baru yang lebih tegas dan bersifat ancaman. 

Globalisasi tidak hanya dimaknai sebagai hubungan saling tergantung (interdependence) dan saling terkoneksi (interconnected), tetapi juga diartikan sebagai dominasi kekuasan, kepemimpinan dan kekuatan (hegemoni) sebuah negara terhadap negara lain.

Sebagai akibatnya, dari kacamata nasionalisme, globalisasi harus dilihat sebagai ancaman terhadap  eksistensi sebuah negara dan bangsanya. Dan untuk menghadapi hegemoni tersebut, dibutuhkan ideologi yang beruwujud, berbentuk dan berketahanan (resilience). Dengan demikian ideologi harus dipandang sebagai cara sebuah negara untuk mempertahankan diri terhadap ancaman tersebut dalam wujud nyata.

Hal itu dikatakan Taprof Bidang Ideologi, Lemhannas RI AM Putut Prabantoro kepada para peserta Program Summer Course Global Legal Issues yang diselenggarakan Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Selasa (04/07/2023). Program ini diikuti peserta yang berasal dari berbagai negara termasuk Uzbekistan, Thailand, India dan Korea Selatan. Hadir pula dua guru besar dari  Fakultas Hukum Universitas Youngson, Korea Selatan yakni, Prof Park Jihyun (Hukum Internasional) dan Prof Jian Chamin (Hukum Perdata dan Hukum Keluarga).

Dalam paparannya yang berjudul “The World Is Changed – What Is The Importance of Ideologi In The Globalization Era”, Putut Prabantoro menjelaskan, lockdown yang terjadi saat Covid-19 membuat dunia tidak terkoneksi dan tidak tergantung satu sama lain kecuali dalam dunia digital. Sebuah negara terputus dari negara lain. Masing-masing negara mengurus dirinya sendiri (desentralisasi global) untuk mampu bertahan hidup dalam Covid. Covid menguji ideologi masing-masing negara apakah mampu bertahan dalam krisis.

“American Dream yang merupakan nilai luhur dari sebuah kejayaan AS akhirnya harus hancur karena Covid dan jejak kehancuran ekonomi masih terasa di negara Paman Sam hingga saat ini. Inggris mengeluarkan keputusan tak terpuji yakni melakukan perilaku diskriminatif dan tidak fair kepada Indonesia dengan alasan Covid. Tim All England Indonesia dipaksa mundur dari turnamen karena dituduh terinfeksi Covid pada Maret 2021. Padahal Inggris tidak dapat menunjukan penumpang yang diduga terinfeksi Covid,” ujar Putut.

Ketika Covid,  demikian diurai, Indonesia meski tidak melakukan lockdown tetap terdampak karena banyak negara yang melarang warganya masuk ke Indonesia. Atau juga, negara tersebut melarang para warga negara asing yang terbang dari Indonesia masuk ke negaranya.

Meski demikian, Indonesia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang mampu keluar dari bencana nonalam ini. Gotong royong sebagai nilai luhur dan merupakan inti dari ideologi Pancasila merupakan faktor  kekuatan bagi masyarakat untuk bertahan dalam Covid-19.

“Terlepas dari apakah Covid itu merupakan senjata biologi atau bahkan merupakan perang itu sendiri, bertahan hidup dalam krisis harus bertumpu pada ideologi. Ideologi harus menjadi senjata yang nyata bagi keberlangsungan hidup negara, bangsa dan masyarakatnya,“ tegas Putut.

Perubahan iklim (climate change), kata Putut, juga menjadi faktor pengubah masa depan sebuah ideologi. Perubahan iklim ekstrim yang terjadi di jazirah Arab dan Afrika akan berdampak pada nilai-nilai luhur yang selama ini dipegang erat masyarakat di sana. Jazirah Arab yang sebelum ini tidak pernah hujan, banjir dan bersalju, sekarang masyarakatnya mengalami dan sekaligus menghadapi perubahan alam itu. Pilihan dari perubahan alam tersebut adalah,  bertahan hidup (survival) dengan cara menyesuaikan diri atau harus menghadapi kehancuran oleh alam karena tidak mampu menghadapi dan berpegang pada ideologi lama.

“Pertanyaannya adalah, apakah perubahan alam tersebut akan memengaruhi atau bahkan mengubah nilai-nilai luhur, budaya, kepercayaan, keyakinan yang menjadi dasar ideologi negara-negara di jazirah Arab? Apakah ini berarti, perubahan yang terjadi di Jazirah Arab akan memengaruhi masyarakat negara-negara lain  yang berkiblat ke Arab. Yang dihadapi adalah alam dan bukan politik buatan manusia ?“ urai Taprof Lemhannas tersebut.

 

Tak Cukup Hanya Menjadi Nilai Luhur

Selain kedua faktor itu, beberapa faktor lain yang memengaruhi perluasan makna dan menentukan masa depan makna ideologi antara lain adalah perang antara Rusia dan Ukraina yang memicu perlombaan senjata dunia, hegemoni China atas kekuatan keuangannya, peningkatan penganut atheis yang terjadi di beberapa negara Arab dalam satu dekade ini, dan juga ledakan penduduk dunia pada tahun 2050.

Menurut Putut, populasi dunia akan  mendekati 10 miliar orang pada tahun 2050. Ledakan penduduk ini akan memicu krisis hebat pangan, air dan energi seluruh dunia. Sebagai akibatnya, terjadi pencarian atau bahkan perebutan sumber pangan, air dan energi yang tanda-tandanya telah dimulai sejak sekarang. 

Ini masalah keberlangsung hidup suatu bangsa dari sebuah negara. Indonesia yang dikenal dengan tiga kekayaan itu akan menjadi destinasi dari negara hegemoni yang mencari sumber pangan, air dan engergi bagi bangsanya.

Ideologi juga akan dipengaruhi oleh perkembangan teknologi komunikasi dan informatika, internet of things (IOT) dan artificial intelligence (AI).

Putut pun mempertanyakan, apakah artificial intelligence memerlukan ideologi. Jika sebagaian dunia diganti oleh artificial intelligence yang tidak membutuhkan ideologi, lalu nilai-nilai luhur, keyakinan, kepercayaan, budaya, apakah akan dibuang atau ikut ditanamkan sesuai dengan ideologi si pembuatnya. Atau juga ditanam sesuai dengan kepentingan si pembuatnya tanpa peduli dengan ideologi. Apakah ini berarti ideologi akan menghilang seiring dengan berkembangnya artificial intelligence?

Untuk menghadapi perbagai ancaman yang gejalanya sekarang sudah nampak sekarang, ideologi tidak cukup hanya bernilai filosofis. Ideologi harus bernilai praksis dan pragmatis. Ideologi harus diwujudkan sebagai perisai bagi negara dan bangsa dalam menghadapi perubahan dan ancaman. Hal ini mengingat ancaman yang dihadapi oleh sebuah negara sifatnya juga praksis dan pragmatis tanpa mau mempertimbangkan ideologi dari sebuah negara.

“Ideologi tidak cukup menjadi nilai luhur secara philosophis. Di dunia nyata, ideologi harus berwujud, terlihat dan harus dapat disentuh. Mengingat dahsyatnya ancaman yang dihadapi sebuah negara terkait dengan keberlangsungan hidupnya di masa depan, ideologi harus mengikat seluruh nilai-nilai luhur dan keyakinan menjadi kekuatan yang berwujud. Atau dengan kata lain, ideologi harus menjadi roh  dan sekaligus kekuatan atau senjata nyata pada saat yang sama,” pungkas Putut. ***

Artikel Terkait