Nasional

Cegah Oligarki, Rizal Ramli Usul Parpol Dibiayai Negara

Oleh : very - Jum'at, 07/07/2023 21:49 WIB

Tokoh Nasional, DR Rizal Ramli (tengah) dalam diskusi bertajuk “Oligarki Dalam Parpol dan Bahanya Bagi Demokrasi” yang digelar oleh Universitas Paramadina – Diskusi Twitter Space, pada Jumat malam (7/7). (Foto: tangkapan layar)

Jakarta, INDONEWS.ID - Sudah menjadi rahasia umum bahwa partai-partai politik di Indonesia kebanyakan dikelola seperti sebuah “CV” yang tergantung pada Ketua Umum Partai.

Jika menarik ke belakang yaitu ketika era orde baru jatuh, maka yang tampak adalah eforia para pejuang atau aktivis Reformasi 98. Mereka hanya berpikir untuk menjatuhkan Soeharto, tetapi tidak memikirkan bagaimana kelanjutannya pasca reformasi. Seperti antara lain, bagaimana berpikir terkait peran kelembagaan yang ada, termasuk peranan partai-partai politik.

“Memang saat itu banyak aktivis mahasiswa menuntut agar partai politik pendukung orba dibubarkan. Sempat terjadi demo ke kantor Golkar dan lain-lain. Tetapi pada titik itu kita anggap partai-partai akan menyesuaikan diri. Tetapi ternyata saran bahwa partai-partai pendukung orba dibubarkan mungkin jika dilihat pada hari ini, itu ada benarnya,” ujar Tokoh Nasional, DR Rizal Ramli dalam diskusi bertajuk “Oligarki Dalam Parpol dan Bahanya Bagi Demokrasi” yang digelar oleh Universitas Paramadina – Diskusi Twitter Space, pada Jumat malam (7/7).

Rizal Ramli hadir sebagai pembicara bersama Sekjen SEMA Universitas Paramadina, Afiq Naufal. Acara ini dibuka oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof Dr Didik J Rachbini.

Partai-partai tersebut, kata mantan Menko Perekonomian itu, ternyata makin hari semakin menunjukkan sifat yang tidak demokratis secara internal, dengan pengaruh ketua umum sangat dominan. Segala hal diatur, termasuk setoran-setoran yang banyak masuk ke kantong ketua umum parpol dan bukan ke organisasi.

Sebagaimana diketahui, parpol-parpol banyak mendapat pendanaan dari berbagai pihak dan mereka juga banyak “mengutip” dana dari APBN, APBD dan BUMN. “Tetapi kebanyakan dana-dana itu masuk ke kantong-kantong ketua umum Parpol dan tidak masuk ke pendapatan resmi partai,” ujarnya.

Menurut Rizal Ramli, hal-hal itu tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sesuai dengan konteks negara demokratis, menurut ekonom senior itu, kita memang wajib dan perlu memiliki partai-partai politik. Tetapi pengelolaannya harus demokratis. Tidak bisa semua kewenangan berasal atau diserahkan kepada ketua umum parpol.

Para ketua umum parpol saat ini, kata mantan Menko Kemaritiman itu, bisa memecat anggota-anggota DPR seenaknya. “Sehingga 575 anggota DPR seperti taman kanak-kanak yang hanya manut kepada 9 atau 10 ketua umum. Sementara ketua umumnya sendiri disenangkan oleh penguasa lewat proyek untuk ketua umum, kredit untuk ketua umum dan sebagainya,” katanya.

Bang RR – sapaan Rizal Ramli – mengatakan bahwa sistem politik seperti itu justru merusak demokrasi. Oleh karena itu setelah Presiden Jokowi harus ada pembenahan.

Pertama, parpol harus dibiayai oleh negara seperti di Eropa, Inggris, New Zealand, Australia dan negara-negara Arab. Biayanya setelah dihitung tidak mahal hanya Rp30 triliun satu tahun. “Toh praktiknya sekarang parpol ‘nyolong’ ramai-ramai itu lebih dari Rp75 triliun,” ujarnya.

Kedua, pembiayaan tersebut harus diikuti oleh kewajiban untuk mengubah AD/ART parpol. Hal itu dilakukan supaya terjadi demokratisasi internal partai politik. “Tidak bisa kita bicara demokrasi sementara di dalamnya sendiri tidak demokratis. Lalu, siapapun anggota parpol tidak perlu jadi mantunya, atau cucunya sendiri bisa menjadi ketua umum,” ucap Bang RR.

Ketiga, pengeluaran yang dibiayai oleh negara itu harus diaudit. Hanya boleh digunakan untuk kepentingan kaderisasi, kampanye dan organisasi partai politik dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi.Keempat, kata Rizal Ramli, setelah itu kita baru yakin, seandainya parpol itu bersih dan demokratis maka dia sudah pasti akan memperjuangkan keadilan, demokrasi dan good governance dalam pemerintahan.

“Tetapi jika seperti saat ini parpol suka terima uang sogokan dan tidak demokratis maka mereka tidak pernah perjuangkan keadilan, demokratisasi untuk rakyat, dan tidak pernah memperjuangkan kemakmuran untuk rakyat. Mereka sibuk untuk memperkaya dirinya sendiri dan kawan-kawannya,” ujarnya.

 

Kaum Muda Sudah Alergi Terhadap Politik

Sementara itu, Afiq Naufal mengatakan bahwa anak muda saat ini sudah gerah, karena melihat oligarki dalam partai politik berlangsung secara terang benderang. Padahal jumlah kaum muda adalah pemilih paling banyak dalam Pemilu 2024.

“Mereka sudah sangat tidak nyaman dan bahkan alergi terhadap diksi-diksi yang berbau politik,” ujarnya.

Terasa benar pendidikan politik bagi kaum muda amat kurang dan itu berbahaya bagi stabilitas demokrasi ke depan. Karena sebenarnya pada pengertian kaum muda, demokrasi itu adalah suara rakyat sebagai representasi dari pikiran-pikiran tersebut.

Naufal mengatakan, sorotan terbesar saat ini adalah apakah oligarki di masa depan akan hidup semakin subur, di tengah tradisi feodalisme di masyarakat kita.

Dia mengatakan, susahnya dalam politik, kita masih terjebak pada figur, ketika pada 2019 misalnya banyak orang yang bersedia mati karena figur tertentu dalam Pemilu.

“Hal itu tentu amat berbahaya bagi demokrasi, Karena alam demokrasi itu sebenarnya adalah setia dan mengedepankan gagasan, ide dan strategi masa depan Indonesia. Sementara di masyarakat kita terlihat masih setia kepada figure/kultus dan bukan ide dan gagasan,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait