Nasional

Lawan Oligarki Perusahaan Sawit, Petani Gunakan "Strategi Perlawanan Atas Kehampaan Hak"

Oleh : very - Jum'at, 14/07/2023 17:02 WIB

Acara seminar sekaligus peluncuran buku tersebut mengambil tema “Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024” yang digelar secara daring, pada Kamis (13/7). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Prof. Ward Barenschott, dari KITLV Leiden/Universitas Amsterdam meneliti 150-an kasus konflik yang melibatkan perusahaan sawit dan rakyat. Hasil penelitian itu kemudian ditulisnya dalam sebuah buku.

Acara seminar sekaligus peluncuran buku tersebut mengambil tema “Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024”, pada Kamis (13/7).

Seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina, LP3ES, KITLV, Universitas Diponegoro itu menghadirkan pembicara yaitu Prof. Ward Barenschott, KITLV Leiden/Universitas Amsterdam; Prof Afrizal, Universitas Andalas; dan Dr. Bvitri Susanti, STIH Jentera.

Ada 3 argumentasi pokok hasil penelitian konflik tersebut yaitu pertama, konflik muncul karena adanya kehampaan hak warga masyarakat. Warga mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan hak-haknya.

Kedua, dalam situasi tersebut, warga cenderung memilih strategi berjuang yang disebut “Strategi Perlawanan atas Kehampaan Hak”. Warga lebih memilih kompensasi finansial ketimbang hukum dan perlawanan kehampaan hak.

Ketiga, mekanisme resolusi konflik tidak efektif, karena umumnya dari 150 kasus yang diteliti, 68% kasus tidak terselesaikan.

Menurut Ward, di atas kertas, warga negara memiliki beragam hak untuk melindungi kepentingannya. Oleh karena itu, perusahaan harus meminta persertujuan warga sebelum memasukkan tanah warga ke dalam sebuah perusahaan.

Namun, riset tersebut menemukan bahwa warga masyarakat amat sulit mendapatkan hak-haknya. Karena itu, perlindungan terhadap kepentingan warga desa menjadi tidak efektif.

Perusahaan juga harus memperoleh berbagai perizinan dan mematuhi segala aturan yang ada. Dalam banyak kasus, komunitas warga berhak atas skema bagi hasil yakni skema inti plasma atau kemitraan. Akhirnya, warga juga punya hak untuk mengorganisasi diri dan memprotes.

Dari berbagai macam hak yang dimiliki warga, yang menjadi masalah utama adalah realisasi hak-hak tersebut. “Itulah yang dimaksud dengan ‘kehampaan hak’. Secara resmi memang ada hak, tetapi isinya kosong. Dalam protes-protes warga, sering terjadi kriminalisasi dan represi/kekerasan,” ujar Ward.

Dia mengatakan, ada tiga sumber kehampaan hak. Pertama, hak tanah yang terbatas karena keterbatasan pengakuan hak individual atas “warisan kcolonial” yang muncul di domein velklaring 1870. Sampai saat ini masih ada lahan yang cukup luas dan warga masih tetap sulit untuk mendapatkan hak haknya akibat warisan kolonial tersebut.

Kedua, perlindungan hukum yang tersisa dirusak melalui aturan-aturan tingkat bawah yang diterapkan, backdooring of the law.

Ketiga, perlindungan ini selanjutnya diperlemah oleh kolusi bisnis dan negara yang meluas. Kolusi itu membuat aparat pemerintah cenderung berpihak ke perusahaan dengan melanggar UU yang melindungi hak hak warga

Prof Afrizal mengatakan, riset ini melihat awal mula dari kasus besar di mana warga Desa Olak-Olak bersama 9 warga desa lainnya di Kalimantan Barat menuntut PT Sintang Raya (Kelapa Sawit) agar membayar kompensasi atas tanah mereka yang diambil dan meminta mengembalikan sebagian tanah.

Dia mengatakan, berbagai aksi menuntut hak telah dilakukan oleh warga di depan bupati, perusahaan, pengadian negeri, pengadilan tinggi, hingga kasasi di Mahkamah Agung. Namun, kasus tersebut dimenangkan oleh perusahaan.

Lalu warga melakukan Peninjauan Kembali (PK) sampai akhirnya MA memenangkan perkara tersebut dan perusahaan harus mengembalikan hak warga.

Tapi ternyata keputusan MA tidak diindahkan oleh perusahaan. Dari 11 ribu hektar tanah hanya 5 hektar yang diserahkan kepada warga. Hampir tidak ada kompensasi atas kehilangan tanah dan penolakan penyerahan plasma kepada warga desa.

Buku ini juga mengupas perkara di atas dan 150 kasus konflik lahan warga dengan perusahaan kelapa sawit lain di Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, dan Kalimantan Tengah.

“Buku ini ditulis karena masalah konflik kelapa sawit merupakan masalah besar dan mendesak diselesaikan. Tidak hanya untuk komunitas perdesaan tapi juga pemerintah dan perusahaan kelapa sawit. Konflik kelapa sawit juga menyediakan jendela untuk mengeksplorasi karakter kewarganegaraan dan hak warga negara di Indonesia,” ujarnya.

 

Direproduksi oleh Korporasi

Bvitri Sutanti mengatakan, buku yang ditulis oleh Ward Barenschott dan Afrizal ini merupakan yang pertama kali membahas terkait masalah kehampaan hak warga negara atas lahan-lahan milik mereka yang dirampas perusahaan kelapa sawit.

Dia mengatakan, para pegiat HAM dan keadilan hukum harus mampu memetakan masalah kehampaan hak agar bergerak lebih sistematis.

Masalahnya, menurutnya, ada relasi kuasa yang tidak seimbang antara pemerintah kolonial dengan pribumi namun setelah kemerdekaan relasi buruk tersebut tidak pernah dibedah setelah kolonialisme pergi.

“Dan ternyata pemerintah kolonial sekarang digantikan oleh oligarki. Jadi relasinya pada reproduksi. Kalau dulu kolonialisme, sekarang adalah korporasi. Lalu di mana pemerintah? Mestinya dia memediasi relasi yang tidak seimbang tersebut,” ujarnya.

Sementara aparat pemerintah hanya menjalankan fungsi-fungsi adminsitrasi belaka, dan tidak ada respek, penghormatan terhadap hak hak warga dan HAM. Karena itu, masalahnya terjadi reproduksi terhadap relasi yang tidak setara tersebut.

Dia mengatakan, masalah besar pertanahan saat ini terjadi karena terkait dengan hukum kolonial. Rata-rata negara eks kolonial tidak membongkar hukum kolonial karena dia ternyata menguntungkan orang yang punya kekuasaan.

“Itulah yang terjadi pada Haris Azhar dan Fatia. Pola hukum lama kembali digunakan. Juga pola hukum penghasutan warisan kolonial yang kembali digunakan,” ucapnya.

Jadi tidak ada yang berubah setelah lebih 70 tahun merdeka. Yang berbeda, munculnya pemain baru yakni civil society. Civil society yang tidak hanya mengganggu oligarki tapi juga berupaya melaksanakn edukasi hukum kritis terhadap hak hak warga.

“Kalau relasi-relasi kekuasaan tidak pernah dibongkar, maka kita tidak akan pernah bisa membongkar konflik-konflik yang ada, dan tidak hanya konflik agraria. Namun penyumbang masalah-masalah yang paling tinggi memang konflik agraria,” ujarnya.

 

Yang Harus Dilakukan Pemerintahan Jokowi

Ward mengatakan, untuk mengatasi masalah itu, pemerintahan Joko Widodo harus mengeluarkan beberapa kebijakan terkait lahan.

Pertama, mendirikan badan mediasi di tingkat propinsi dan kabupaten. Itu untuk mengatasi tidak adanya kompetensi SDM di bidang penyelesaian hukum di tingkat daerah.

Kedua, adanya transparansi terhadap izin HGU yang diberikan kepada perusahaan.

Ketiga, pemerintah harus tegas terhadap masalah kebun plasma dan mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang menolak kewajiban.

Keempat, pemerintah pusat dan daerah harus menindak tegas perusahaan yang menolak kewajiban dan menolak terlibat dalam menyelesaian konflik. ***

 

 

Artikel Terkait