Nasional

Munas ASPRINDO, Rizal Ramli: Sudah Saatnya Memperjuangkan Kebijakan yang Berpihak pada Pengusaha Pribumi

Oleh : very - Sabtu, 30/09/2023 21:45 WIB

Dewan Pembina Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (ASPRINDO) Rizal Ramli dalam acara Munas Asprindo di Hotel Milenium Sirih Tanah Abang, Jakarta, Jumat (29/9/2023). (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Dewan Pembina Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (ASPRINDO) Rizal Ramli mengatakan bahwa pengusaha pribumi atau bumiputera semakin lama semakin terpinggirkan.

Karena itu, para pengusaha pribumi harus berani memperjuangkan perubahan pola penyusunan kebijakan, sehingga kebijakan pemerintah tak hanya berpihak pada oligarki.

“Sudah saatnya kita berpikir ke depan dan memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada pribumi. Anggota ASPRINDO harus semangat, jangan nrimo aja. Alhamdulillah Ketua ASPRINDO sekarang Pak Jose, yang berani untuk melawan,” ujar Rizal Ramli dalam Munas Asprindo di Hotel Milenium Sirih Tanah Abang, Jakarta, Jumat (29/9/2023).

Tokoh Nasional ini mengatakan, Presiden BJ Habibie pernah meminta agar kosa kata pribumi tidak digunakan. Pasalnya, kata pribumi tersebut akan menyinggung perasaan sebagai warga negara.

“Dulu Habibie pernah meminta untuk jangan menggunakan kosa kata pribumi, karena takutnya akan menyinggung. Jadi digunakanlah terminologi bumiputera. Tapi, Pak Jose Rizal, jangan khawatir, di pemerintah baru nanti, kita akan ganti menjadi pribumi,” kata tokoh pergerakan itu seperti dikutip Kedaipena.com.

Ekonom senior itu menyatakan sudah saatnya pelaku usaha pribumi dan produk pribumi menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Mantan Menko Perekonomian itu menegaskan bahwa semuanya bergantung pada pengusaha pribumi untuk memastikan kebijakan yang berpihak pada dirinya sendiri.

“Karena para cukong oligarki sudah pasti membiayai para calon presiden. Dan nantinya pasti akan mencari gantinya. Sehingga pelaku usaha harus berupaya memperjuangkannya,” ujarnya.

 

 

Perbedaan Kepemimpinan Soeharto dan Jokowi

Mantan Menko Kemaritiman itu mengatakan ada perbedaan antara kepemimpinan Presiden Soeharto dengan Presiden Joko Widodo.

“Soeharto itu memang otoriter, saya saja sempat dipenjara di Sukamiskin. Tapi, saya harus angkat topi, karena beliau mencoba memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Seperti SD Inpres, Puskesmas, harga pangan terjangkau dan stabil. Bahkan kita bisa ekspor beras. Semuanya itu, dari ekspor migas,” kata Rizal Ramli.

Soeharto, lanjutnya, juga membesarkan konglomerat tapi sayangnya ia percaya dengan sistem mekanisme pasar, sehingga Soeharto tidak meminta para konglomerat itu untuk menggiatkan ekspor.

“Hasilnya, kalau kita keliling dunia, produk yang paling banyak ditemui di banyak negara, hanya indomie dan tolak angin. Tidak ada itu produk manufaktur. Konglomerat itu hanya mengambil keuntungan dari market domestik, tidak maju ke kancah internasional,” ujar mantan Kepala Bulog tersebut.

Dia mengatakan, hal tersebut beda dengan kasus Park Jung Hi, yang juga dikenal sebagai pemimpin otoriter dari Korea. Ia membesarkan konglomerat tapi ia mewajibkan konglomerat harus menggiatkan ekspor dan wajib melaporkannya setiap enam bulan. Sehingga, seperti yang bisa dilihat sekarang, produk Korea membanjiri market global.

“Dan yang perlu diingat, bahwa para konglomerat di era Soeharto, sangat takut kepada Soeharto. Sedikit saja mereka mencampuri ekonomi rakyat, habis mereka oleh Pak Harto,” ujarnya.

Menurut mantan penasihat ekonomi fraksi ABRI di DPR/MPR RI itu justru disinilah letak perbedaan kepemimpinan Soeharto dan Jokowi.

“Jokowi selama 9 tahun ini takut pada oligarki, takut pada konglomerat. Karena itu, kebijakannya pro oligarki, pro investor. Padahal dalam konstitusi kita, tak ada kewajiban presiden untuk membesarkan dan menyejahterakan konglomerat atau oligarki atau investor. Tugas presiden itu mencerdaskan dan meningkatkan kemakmuran rakyatnya,” ujar Bang RR – sapaan Rizal Ramli.

Karena itu, katanya, tidak perlu presiden mengundang investor datang ke Indonesia, seperti yang biasa dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.

“Naikkan saja pertumbuhan ekonomi Indonesia, minimal 7 persen, pasti para investor akan datang dengan sendirinya. Kalau sekarang, mereka lebih memilih Thailand dan Vietnam, ya wajar saja, pertumbuhan ekonomi mereka itu 8 persen,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait