Opini

KETIKA INDONESIA MENANGIS

Oleh : luska - Senin, 06/11/2023 21:43 WIB

oleh: IzHarry Agusjaya Moenzir 
(Wartawan Senior)

■■■ 
Airmata mengambang di kelopak mata Gunawan Muhammad. Airmata pula yang diisakkan Sri Mulyani. Dan mereka tidak sendiri dalam tangisan itu. Masih banyak lagi yang tersedu. Saat ini Indonesia memang sedang berduka karena Presiden yang tercintai -DINILAI- keluar dari rel demokrasi. Benarkah demikian adanya? 
Ya! Itu benar jika kita tidak melihat gambar dengan utuh. Betul, jika kita hanya melihat warna-warna dalam bingkai yang bercopotan, tak komplit sebagai pigura. Itu juga tak terbantah, ketika kita melihat Presiden dengan cara yang suudzon. Berburuk sangka mengatakan bahwa Beliau kini sedang membangun dinasti keluarga. 

Celakanya, hampir semua kita hanya melihat Jokowi yang hari ini, tanpa menoleh melihat sembilan tahun sebelumnya. Tidakkah sebelum saat ini kita punya beribu-ribu hari yang indah bersama Jokowi? 
Mengapa kita tidak menatapnya tanpa suudzon? Mengapa tidak mencoba menjelajah alam pikiran dan alam perasaannya, bertanya tentang itikadnya yang sebenar-benarnya? Apa sih sebenarnya yang terjadi padamu, Tuan Presiden? 

Mungkin Jokowi tidak akan menjawab secara jelas, karena suasana kebatinan Indonesia saat ini sedang bergejolak dengan persaingan dan antipati. Tetapi aku yakin, ada sesuatu niat yang tertanam di nurani Jokowi. Dia bukan orang bodoh, dia tidak akan menenggelamkan dirinya dalam kekonyolan. Dia hanya menunggu waktu yang tepat. 

Ya, begitu pendapatku yang bersandar pada pola pikir prasangka baik. Husnudzon. Dari sudut itulah sebenarnya kita harus melihat segala masalah. Termasuk melihat langkah-langkah catur Mister President. 

Apakah sulit untuk berprasangka baik? Sebenarnya tidak, jika kita berani berbeda dengan vocal majority yang sedang menguasai pola pikir publik. Husnudzon merupakan sikap mental dan cara pandang seseorang yang selalu melihat segala sesuatu dari sisi positif. 

Dengan husnudzon, kita dapat memiliki banyak keutamaan dan kemanfaatan. Dengan husnudzon, kita akan dapat melongok ke dalam pikiran dan perasaan seorang Jokowi. Dengan husnudzon, kita mungkin akan menyadari bahwa Jokowi tidak sedang menggalang dinasti keluarga. Dengan husnudzon, alam pikiran kita bisa jadi akan melihat gambar yang jelas, bahwa Jokowi tidak sedang membangun dinasti, tetapi semata-mata sedang berusaha menjaga keutuhan tindak lanjut eksistensi NKRI. 

Dengan husnudzon pula, kita akan memahami detail tentang Jokowi yang sedang berusaha menjaga konsistensi program pembangunan bangsa. Memelihara apa yang telah dirintis, dan merawat seluruh progress yang sudah dilakukan oleh administrasi kepresidenannya. 

Pemeliharaan pasca Jokowi harus diletakkan pada bahu yang tepat, yaitu bahu orang paling terpercaya yang mustahil mengkhianati dirinya. Adakah sosok yang begitu? 

Tentu ada! Dan itu adalah bahu para putra kandung. Manusia yang tidak akan menikam kita dari belakang adalah anak kandung kita sendiri. Bukan sahabat, bukan kolega, bukan partai, bukan pula capres/cawapres dan sebagainya. Mereka-mereka itu setiap detik bisa berubah menjadi Brutus.
Jadi pastilah, sosok manusia yang paling setia itu bukan sesiapa. Not anyone but your descendants. Bukankah itu juga yang dilakukan Megawati dan SBY secara gamblang? 

Ya, jika kita husnudzon, maka mahfumlah kita mengapa ada seorang Gibran di sana. For better or for worse, di bahu Gibran-lah  Jokowi menitipkan kepercayaan untuk memelihara NKRI. Dan itu bukan dinasti, melainkan terjemahan dari kecintaan luar biasa terhadap tanah air. 

Karena itu husnudzonlah, jangan suudzon. Selalulah berbaik sangka, jangan sekali-kali berburuk sangka. "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. (QS. Al-Hujurat: 12)

Artikel Terkait