Opini

Mencerahkan Kembali Langit Demokrasi Indonesia

Oleh : very - Minggu, 12/11/2023 18:48 WIB

Dr. Abdul Mukti Ro’uf, MA adalah dosen dan pemerhati dibidang filsafat, contemporary Islamic Thought, dan social-keagamaan. Banyak menulis buku dan artikel ilmiah yang tersebar di berbagai jurnal. (Foto: Ist)

Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Menyimak percakapan budayawan Goenawan Mohamad bersama Rossi di Kompas TV, saya ikut bersedih dan menangis. Gugatan seorang budayawan atas realitas biasanya bersumber dari kebeningan nurani dan ketajaman nalar. Substansi percakapannya jauh dari kalkulasi menang-kalah dalam sebuah pertandingan politik. Ia menembus nilai-nilai yang menaungi dan melingkupi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mas Gun—begitu biasa disapa—adalah aktor kebudayaan yang menyaksikan dan mengalami sejarah transisi kepemimpinan nasional sejak Sukarno hingga Jokowi. Kini ia bersedih menyaksikan Presiden yang ia dukung dan sayangi sedang merusak pilar-pilar kebudayaan. Sedih karena ujung jalan kepemimpinan Jokowi terjatuh pada ambisi untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara merusak nalar demokrasi.

Anak sulungnya, Gibran dipaksa menaiki tangga kekuasaan dengan fasilitas kekuasaan seorang Presiden. Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang merupakan adek ipar presiden “dipaksa” untuk menggelar karpet merah sebagai “jalan instan” untuk Gibran melaju sebagai cawapres Prabowo Subianto. Ia juga sedih karena karir politik Kaesang Pangarep dikarbit untuk menempati posisi politik yang mengingkari kaidah perjuangan yang telah ditempuh pemimpin-pemimpin besar dunia.

Tetapi yang membuat Mas Gun lebih bersedih karena Jokowi telah berbohong  atas janji dan ucapannya sendiri. Entah apa yang sedang merasuki pikiran Jokowi hingga dalam bulan-bulan terakhir ini menjadi asing bagi para pencintanya terutama bagi mereka yang secara genuin mendukungnya. Apakah karena negosiasinya dengan PDIP dan Megawati  bertepuk sebelah tangan atau telah terikat dengan kesepakatan bersama Prabowo Subianto yang menjadi rahasia antar keduanya, atau memang telah menjadi keputusan jalan hidupnya sendiri untuk menempuh “jalan terburuk” demi sesuatu yang hanya dia yang tahu. Argumentasi apapun yang tersimpan dalam benak Jokowi, publik membacanya sebagai anomaly. Entahlah!

 

Mendung Demokrasi

Di kalangan aktivis demokrasi dan pegiat partai PDIP, jalan politik yang ditempuh oleh Jokowi menjadikan langit demokrasi menjadi mendung. Perangkat kekuasaan politik dan hukum menjadi dipaksa untuk menjadi fasilitator dalam memuluskan aneka ambisi kekuasaannya.

Semula, dalam beberapa kesempatan, Jokowi menolak mencawapreskan Gibran karena alasan masih belum cukup umur dan pengalaman. Tetapi ucapannya tidak berbanding lurus dengan tindakannya. Wibawa Jokowi tiba-tiba merosot tajam karena secara terbuka memamerkan tindakan anomali yang menjauh dari keteladanan sebagai presiden.

Luka demokrasi sebenarnya bukan terletak pada hadirnya sosok Gibran dan Kaesang dalam panggung politik kekuasaan. Tetapi lebih karena menabrak dasar-dasar etis yang merupakan fondasi nilai dalam demokrasi dan kepantasan etis sebagai seorang pemimpin negara. Kehormatan Jokowi sebagai pemimpin dirusak oleh dirinya sendiri karena kekhawatiran yang berlebihan atas legacy yang sedang diperjuangkan dan segera akan diwariskan.

Seluruh capaian pembangunan yang diperjuangkan selama sembilan tahun terciderai oleh “faktor politis” yang berlumuran “darah kekuasaan”. Jokowi yang populis, sederhana, pekerja keras, kini sedang menjelma menjadi Jokowi yang ambigu, paradoks, dan menjauh dari komitmen ideologis partai yang membesarkannya. Ia tiba pada perkumpulan koalisi “politik gemuk” yang diduga akan menjamin menuntaskan legacynya. Juga menjamin meneruskan kekuasaannya lewat putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.

“Perselingkuhan” kekuasaan politik dan lembaga kehakiman menjadi fakta paling meyakinkan bagaimana demokrasi  dinodai justru oleh Presiden yang dilahirkan dari rahim demokrasi. Langit demokrasi dipenuhi awan hitam. Lantas, siapa yang hendak meniup awan hitam yang menyelimuti langit demokrasi Indonesia?

 

Civil Society, Dimana?

Para pencinta Jokowi banyak yang menangis karena ia dengan sadar telah berkontribusi menutup langit demokrasi dengan awan hitam lewat kekuasaan kehakiman. Para akademisi, intelektual, budayawan hingga orang biasa berduka atas peristiwa ini. Tidak ada kekuatan lain untuk mengusir awan hitam kecuali tiupan masyarakat sipil untuk atas nama rakyat dan masa depan Indonesia. Berharap pada kekuatan partai-partai menjadi harapan yang utopis.

Partai-partai justru sedang menikmati “duka demokrasi” ini untuk kepentingan politik elektoral yang parsial. Kekuatan etis tidak lagi menjadi panduan bagi partai-partai untuk menghilangkan noda demokrasi. Begitupun bagi PDIP yang merasa dikhianati dan dizalimi. Bagi partai-partai yang sedang diuntungkan, akan mudah menganggap PDIP tengah melakukan strategi politik playing fictim.

Tidak mudah bagi PDIP untuk memuluskan hak angket di DPR RI karena akan kalah suara dengan suara partai-partai yang berkumpul di koalisi Indonesis Maju. Lantas kepada siapa berharap untuk mencerahkan langit demokrasi.

Jawabannya adalah pada kekuatan civil society. Reformasi 1998 adalah peristiwa kekuatan civil society yang berhasil menumbangkan rezim otoriteriansme Suharto dan melahirkan orde reformasi.

Kini pemilu sudah di depan mata dalam awan gelap demokrasi. Energi terang masih tersimpan untuk menyalakan cahaya dari gelap noda demokrasi. Damai pemilu masih menjadi mimpi bersama.

Pak De Jokowi, kembalillah ke khittoh sebagai presiden merakyat, sederhana, dan pekerja keras. Kekuasaan cenderung menipu dan menggelapkan mata, Pak De! Janganlah menjadi buta karena kuasa.

*) Dr. Abdul Mukti Ro’uf, MA adalah dosen dan pemerhati dibidang filsafat, contemporary Islamic Thought, dan social-keagamaan. Banyak menulis buku dan artikel ilmiah yang tersebar di berbagai jurnal.

Artikel Terkait