Opini

Kontestasi Pilpres 2024, Demokrasi Sedang Berjalan Menuju Mobokrasi

Oleh : very - Jum'at, 12/01/2024 18:20 WIB


Sintia Rahayaan, penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sorong. (Foto: Ist)

Oleh : Sintia Rahayaan*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Negara kesatuan republik Indonesia sejak dideklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 diakui oleh Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai negara yang berhasil memutus tali penjajahan kolonialisme sejak berabad-abad lamanya.

Deklarasi kemerdekaan itu, sebagai tanda bahwa Indonesia berhasil memutuskan rantai penjajahan yang tidak terlepas dari peran kedua tokohnya, yakni Ir. Seokarno dan Drs, Mohammad Hatta yang merupakan figur pemimpin pertama di untuk membawa Indonesia memasuki dunia baru dengan konsep besar perbaikan baik secara infrastruktur maupun suprasrtruktur melalui  sepak terjang yang sedemikian besarnya.

Tahun-tahun berlalu, sistem pemerintahan berkembang mengalami perubahan. Indonesia bergandeng tangan dengan sebuah sistem pemerintahan diktator serta militeristik. Pemerintahan Seoharto, melalui sidang istimewa MPRS pada 1967, akhirnya dikenang dalam sejarah Indonesia sebagai zaman ORBA (orde baru).

Di zaman ini segala macam kebebasan dikekang, baik kebebasan berserikat, mengeluarkan pendapat, beragama, dan lain lain. Masih teringat jelas dalam memori bangsa ini, kritik dibungkam sedemikian hebatnya hingga tidak ada kebebasan yang dirasakan kala itu. Kekuasaan absolut dipegang oleh penguasa dengan kontrol penuh berdasarkan otoritasnya.

Pemerintahan yang berjalan atas arogansi Soeharto kala itu, membuat krisis di sektor ekonomi, politik dan hukum. Peradilan dibajak oleh Presiden dengan mengeluarkan kebijakan undang-undang, sehingga praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dilanggengkan sedemikian rupa dan pertumbuhan ekomoni tidak merata di setiap daerah.

Hukum yang seharusnya menjadi panglima, namun menjadi perisai untuk dapat melindugi penguasa, rentetan penyelewengan birokrasi, saat itu seperti menjadi anugrah yang diberikan dari sang pencipta kepada orang-orang tertentu.

 

Kontestasi Demokrasi

Kontestasi demokrasi adalah hajat nasional yang dinantikan oleh semua masyarakat. Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana terlampir dalam undan-undang pasal 1 ayat (3) bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tentunya, sebagai negara hukum maka kontestasi adalah upaya konkrit untuk memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih, dan dipilih, sebagaimana terlampir dalam UU Pemilu. Hal tersebut menjadi antsipasi untuk membatasi kekuasan dalam sebuah rezim tertentu.

Namun ironisnya terjadi “dramatisasi” berbagai segi kehidupan, khususnya politik, yang justru membuat publik muak. Contoh yang paling nyata dari dramatisasi itu adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat Gibran Rakabuming Raka dibentangkan “karpet merah” menjadi calon wakil presiden. Padahal, produk hukum tersebut dinilai oleh para ahli sebagai cacat hukum, sehingga menghasilkan “anak haram Konstitusi”. Namun, semua hal tersebut diterabas dan dibiarkan, sehingga  Gibran yang berpasangan dengan Prabowo Subianto itu, bertarung pada 14 Februari mendatang (baca: Pemilu).

Meski rentetan penolakan publik sedemikian kencang, namun penolakan tersebut tidak digubris. Dan pada tanggal 23 Oktober 2023, hasil produk hukum tersebut menjadi catatan tersendiri bagi publik, sebagai produk yang secara nyata menciderai konstitusi. Demikian pun, isu dinasti politik kemudian mengiringi putusan MK tersebut. Ada indikasi kuat terjadi intervensi kekuasaan dalam keputusan tersebut. Kekuasaan mempunyai andil yang cukup signifikan dalam memanipulasi produk hukum.

Masalah lainnya, yaitu korupsi merajalela di mana-mana, namun hukuman tidak sesuai ganjaran perbuatan. Hal demikian, semakin membuka gerbang bagi koruptor lain. Oleh karena itu, publik menilai rezim yang memimpin sekarang telah terjadi kebocoran yang cukup besar pada aspek hukum, degradasi politik dan demokrasi, maupun utang yang membengkak.

Karena itu, muncul kebutuhan akan kepemimpinan yang bisa membawa perubahan dalam semua segi kehidupan bangsa dan negara. Namun yang sangat mengherankan adalah munculknya ancaman, tindak kekerasan terhadap mereka yang menyuarakan perbaikan kehidupan bangsa dan negara tersebut.

Padahal, pemilu merupakan hajat nasional yang dinantikan oleh semua masyarakat Indonesia, sebagaimana negara hukum yang termaktub dalam UUD Pasal 1 ayat (3) pasal1ayat 3. Sebagai Negara Hukum, maka kontestasi adalah upaya konkret untuk memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih serta dipilih sebagaimana termaktub dalam UU pemilu pasal 43 ayat (1) dan (2) undang-undang nomor 39 tahun 1999, dan sebagai antsipasi untuk membatasi kekuasan dalam sebuah rezim tertentu.

Bangsa ini memiliki sejarah panjang ketika dikendalikan oleh pemerintahan yang tidak mempunyai kemampuan, dan memiliki ambisi pribadi mapun keluarga. Mereka menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Karena itu, demokrasi saat ini sedang berjalan menuju “mobokrasi”. Dan hal tersebut, menurut Plato, adalah seburuk-buruknya demokrasi. ***

*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sorong

Artikel Lainnya